Pilkada: Pilihan Langsung atau Tak Langsung?

Selasa, 19 November 2013

Setelah lama menjadi wacana, akhirnya pemerintah memastikan mengusulkan klausul, pemilihan gubernur tak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, tetapi oleh DPRD provinsi (Kompas, 17 Desember 2010). Ketentuan itu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU itu berada di urutan ke-42 daftar Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2011.

Menurut Mendagri Gamawan Fauzi (detik, 8 Juli 2012), seorang gubernur untuk dipilih langsung oleh rakyat menjadi tidak relevan, karena interaksi yang terjalin antara rakyat dan seorang gubernur juga tidak langsung. Oleh karena itu, mekanisme pemilihan yang paling kompatibel untuk diterapkan dalam pemilihan gubernur adalah dengan mekanisme perwakilan yang dalam hal ini dipilih melalui suara terbanyak oleh DPRD Provinsi yang bersangkutan.

Selanjutnya disampaikan bahwa kabupaten/kota dalam sistem pemerintahan di negara kita merupakan jenjang pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, kabupaten/kota merupakan unit yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat, di mana pelayanan langsung berakibat pada interaksi yang berbasis kepercayaan (trust) masyarakat secara langsung. Oleh karena itu, untuk mekanisme pemilihan bupati/walikota adalah dengan mekanisme pemilihan secara langsung (direct democracy) oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Mendagri juga menguraikan sejumlah alasan, mengapa gubernur tidak perlu dipilih langsung. Alasan tersebut yakni: pertama, untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat, di mana hal ini menjadi wajar apabila disimulasikan secara maksimal seorang yang telah memiliki hak pilih di Indonesia akan melakukan pemilihan sebanyak 7 (tujuh) kali dalam rentang waktu 5 (lima) tahun, di mana jumlah tersebut belum termasuk pelaksanaan pilkada ulang yang terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini pada gilirannya menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme di tengah masyarakat.

Fenomena Pemilihan Kepala Daerah

Senin, 11 November 2013

Diskusi tentang Pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Gubernur (pilgub) masih menjadi hal yang menarik, di mana terjadi wacana tentang keinginan dikembalikannya lagi proses pilgub di tangan DPRD. Pihak yang paling berkeinginan agar Gubernur dipilih oleh DPRD adalah Pemerintah, terutama dengan upaya merevisi UU terkait. Berbagai alasan disampaikan oleh Pemerintah, misalnya tingginya biaya dan terjadinya konflik sosial.

Pemilihan langsung Kepala Daerah (pilkada) menjadi konsensus politik nasional, yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Pilkada dilaksanakan secara langsung sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi, pilkada langsung tersebut merupakan sebuah terobosan baru yang bermakna bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Sistem ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elit politik, seperti  ketika berlaku sistem demokrasi perwakilan. Pilkada langsung juga memicu timbulnya figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena Kepala Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elit di DPRD (Prasojo, 2006).

Amanat konstitusi tentang otonomi daerah dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 18 ini juga diatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum, tetapi padal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Kepala Daerah Provinsi dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih secara demokratis. Di sini terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, DPRD dipilih melalui pemilihan umum sedangkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Perkataan “dipilih secara demokratis” ini sifatnya sangat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD sesuai  dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Lelang Jabatan Ala Jokowi

Kamis, 07 November 2013

SE Menpan yang mengatur tentang seleksi terbuka jabatan struktural ditetapkan pada tanggal 21 September 2012 dan diupayakan dilaksanakan oleh instansi pemerintah paling lambat tahun 2013. Namun kenyataannya belum banyak daerah yang meresponnya. Hingga akhirnya gebrakan Gubernur DKI, Jokowi pada tahun 2013 dengan melakukan lelang jabatan mendobrak pintu yang selama ini tidak pernah atau sulit untuk dibuka.  Lelang jabatan ini untuk mengisi 311 jabatan yang terdiri dari 44 jabatan camat dan 267 jabatan lurah se-DKI melalui website www.jakarta.go.id. Lelang jabatan membuka kesempatan kepada setiap pegawai yang memenuhi persyaratan untuk mendaftar dan mengikuti seleksi, serta bersaing dengan pegawai yang telah menduduki jabatan lurah dan camat itu. Dengan seleksi, Jokowi ingin memiliki jajaran yang kompeten dan memiliki kemampuan manajerial, baik administratif maupun lapangan. Tak pelak berita ini menjadi topik pembicaraan di beberapa media online dan jejaring sosial.

Jauh sebelumnya pada tahun 2003, Pemkab Jembrana di Bali telah melakukan gebrakan ini dengan melakukan lelang terbuka terhadap jabatan struktural. Hal ini dilaksanakan dengan menggandeng Universitas Udayana sebagai pihak ketiga yang independen dan profesional. Gebrakan seperti ini pun, yang diakui sebagai upaya reformasi birokrasi di tingkat daerah, diikuti oleh pemeritah daerah lain, misalnya seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur dan Kabupaten Sleman di DIY. Namun gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh beberapa daerah kurang bergema gaungnya dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Jokowi.

Ada beberapa alasan kenapa berita ini menjadi bahan perbincangan antara lain:

  • Sumber berita, yakni sosok Jokowi sendiri sebagai gubernur DKI yang terkenal dengan gayanya yang sederhana, suka blusukan, dan baju kotak-kotak sewaktu kampanye.
  • Lokasi berita, yakni Jakarta adalah ibukota negara dan pusat pemerintahan sehingga akses informasi lebih cepat.
  • Isi berita, yakni lelang jabatan camat dan lurah. Sudah pasti kita sendiri bingung, karena yang namanya lelang biasanya kita kenal dalam penjualan barang yang dilakukan secara terbuka di depan khalayak ramai dan pemenang lelang adalah yang memberikan penawaran tertinggi, sementara ini jabatan camat dan lurah akan dilelang sehingga menimbulkan animo masyarakat untuk mencari dan membaca informasinya.

Dari 3 kriteria ini dapat kita maklumi kenapa berita lelang jabatan di Provinsi DKI Jakarta lebih heboh dari lelang jabatan atau proses seleksi terbuka di daerah lain, misalnya lelang jabatan atau proses seleksi terbuka jabatan di Pemkot Samarinda. Pada saat Pemprov DKI Jakarta sedang dalam proses seleksi, Pemkot Samarinda bahkan telah selesai melakukan pelantikan pejabat hasil dari seleksi terbuka. Satu lagi kelebihan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah penggunaan sistem yang lebih banyak online.

Seleksi Jabatan Struktural

Senin, 04 November 2013

UU Kepegawaian (UU 43/1999 jo UU 8/1974) antara lain mengamanatkan bahwa setiap PNS diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu. Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilakukan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.

Menurut Pramusinto (2009: 325-327) terdapat beberapa alternatif proses rekrutmen SDM birokrasi untuk mengisi lowongan jabatan. Pertama, prosedur rekrutmen SDM birokrasi dengan “sistem ijon”. Secara proaktif pemerintah memberikan beasiswa kepada mahasiswa terbaik di universitas-universitas terbaik yang setelah lulus direkrut menjadi pegawai pemerintah. Dalam tugas akhir mereka sudah diarahkan untuk melakukan penelitian di tempat mereka akan bekerja sehingga mereka lebih paham dan siap untuk melakukan tugas setelah selesai belajar.

Kedua, rekrutmen secara terbuka dan kompetitif untuk jabatan strategis. Di sektor swasta, rekrutmen pegawai dilakukan melalui 2 jalur: jalur staf dan jalur manajemen. Untuk jalur pertama biasanya untuk kebutuhan staf. Sedangkan jalur manajemen direkrut untuk disiapkan menjadi pimpinan menengah yang terlibat dalam keputusan strategis.

Ketiga, rekrutmen SDM birokrasi berdasarkan position-based dengan jalur karir yang konsisten. Di Indonesia, hal ini sudah mulai dikenalkan dalam proses rekrutmen SDM birokrasi. Seseorang mendaftar sesuai kebutuhan formasi pemerintah yang ditentukan berdasarkan latar pendidikan dan posisi yang akan dipegangnya. Sayangnya sistem ini tidak berjalan dengan baik.

Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Ketiga)

Kamis, 31 Oktober 2013

Sistem Keuangan dan Pertanggungjawaban
Salah satu isu yang menarik dalam sistem keuangan adalah masalah kapasitas daya serap anggaran. Sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada. Hal ini ironis ketika anggaran yang begitu besar digunakan untuk belanja pegawai sedangkan sisanya yang mestinya bisa digunakan untuk investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung ternyata tidak terserap sepenuhnya.

Alasan penghematan sepertinya bukan faktor utama. Ada beberapa faktor penyebab masalah ini, yakni karena buruknya sistem perencanaan anggaran, rendahnya kualitas SDM, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit dengan menyimpan dana agar mendapatkan bunga simpanan SBI. Hal itu diperparah dengan ketakutan kalangan birokrat untuk menjadi pelaksana proyek karena ancaman tindak pidana korupsi, padahal mereka merasa hanya melakukan kesalahan prosedur. Resiko yang mesti ditanggung oleh pelaksana proyek tak sebanding dengan imbalan (honor) yang didapatkan. Apalagi jika aparat hukum sekadar mencari-cari kesalahan. Bukankah isu mafia hukum ternyata bukan isapan jempol belaka, bukan?

Terkait masalah pertanggungjawaban, sumber masalah utama adalah tidak efektifnya peran inspektorat di daerah. Padahal, keberadaan inspektorat mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, BPKP, Kejaksaan, Polri, KPK). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan, pelaksanaan, capaian, dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan lembaga berwenang.

Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Kedua)

Senin, 28 Oktober 2013

Kepentingan Politik di Daerah 
Kepala Daerah sebagai pejabat politik di daerah memiliki peranan sangat besar di dalam anggaran belanja daerah. Biaya politik yang cukup tinggi (terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung) membuat setiap orang berpikir dan berbuat untuk mendapatkan sumber daya pembiayaan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan pengusaha. Tentu saja ini tidak diperoleh secara gratis. Ada proses transaksi, yang celakanya menggunakan sumber daya publik (APBD). Di sinilah dua kepentingan bertemu. Politisi membutuhkan dana (yang dicukupi oleh pengusaha), sedangkan pengusaha membutuhkan laba (dengan proyek-proyek pemerintah yang disediakan aksesnya oleh politisi). Simbiosis mutualisme akhirnya menggerogoti anggaran yang mestinya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada pula modus kampanye terselubung yang menggunakan APBD, yakni dengan bantuan sosial. Kegiatan ini akan marak menjelang Pilkada dan berangsur-angsur mereda setelah Pilkada.

Selain dengan menggunakan pihak ketiga (pengusaha) untuk membiayai proses politik yang begitu tinggi, tak jarang para calon Kepala Daerah menggunakan dana pribadi, entah itu dari simpanan maupun pinjaman. Biaya yang dikeluarkan ternyata tak sebanding dengan pendapatan yang secara resmi diperoleh sebagai Kepala Daerah. Bahkan sampai habis periode kepemimpinan, bila hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, biaya politik tersebut tetap tidak terbayarkan. Bukankah Kepala Daerah juga memerlukan pemenuhan kebutuhan pokoknya, untuk menghidupi diri dan keluarganya? Maka, tak heran jika salah satu cara yang dipergunakan untuk mengganti biaya politik dalam Pilkada adalah dengan mengambil dana dari APBD. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah bisa dijadikan bukti. Menurut data dari Kemendagri ada 158 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.

Selain itu, di era otonomi daerah, Kepala Daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian yang memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan (termasuk promosi), dan memberhentikan PNS. Hal ini dimanfaatkan benar oleh Kepala Daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Misalnya, pengangkatan besar-besaran tenaga honorer menjadi PNS bisa dijadikan modal dukungan mereka terhadap Kepala Daerah apabila hendak maju lagi dalam Pilkada. Contoh lain adalah munculnya transaksi uang dalam sejumlah promosi jabatan. Hal ini bisa dijadikan sumber dana untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan maupun modal dalam Pilkada yang akan datang.

Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Pertama)

Kamis, 24 Oktober 2013

Pendahuluan
Implementasi hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini belum berjalan efektif. Tidak efektifnya politik dan sistem dana transfer daerah, atau penganggaran daerah merupakan indikasi tidak efektifnya hubungan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Masalah lain yang amat menonjol adalah dukungan politik pembangunan nasional yang belum berlangsung dalam satu rencana kegiatan. Masih terjadi program-program nasional yang belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari daerah, demikian halnya daerah mengembangkan sendiri-sendiri  konsep pembangunan, yang tidak selalu mengacu pada kebijakan pembangunan nasional (Rimi, 2011: 325).

Sementara itu, desentralisasi didefenisikan sebagai wewenang pembuatan keputusan, dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal. Dalam konteks kelembagaan, desentralisasi politik, termanifestasi dengan adanya badan legislatif daerah, namun hal ini ditemukan dua hal yang mendasar, yaitu desentralisasi administrasi dan politik. Permasalahan penting dan mendasar adalah kebijakan otonomi daerah bukan semata-mata tersedianya peraturan perundang-undangan mengenai berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah beserta segala sarana dan prasarana yang mendukungnya, tetapi lebih dari pada itu sejauh mana fungsi-fungsi dari kelembagaan dalam lingkup pemerintah daerah mampu menyusun dan melaksanakan mekanisme dalam menjalankan esensi dan politik otonomi daerah itu sendiri.

Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah, khususnya yang menyangkut masalah hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat kecenderungan bahwa kekuasaan di bidang keuangan ini, lebih besar di pusat dibandingkan dengan kekuasaan daerah dalam memungut sumber-sumber keuangan tersebut.

  1. Kecenderungan ini antara lain dipengaruhi oleh: Terdapat kekhawatiran mengenai persatuan nasional dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah yang timbul di daerah-daerah;
  2. Memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber daya antar daerah, terutama antar Jawa yang dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan daerah luar Jawa yang banyak menghasilkan penerimaan dari ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi;
  3. Pemerintah pusat ingin memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi;
  4. Penerimaan dari minyak bumi yang sangat penting bagi pemerintah pusat sebagai pendapatan negara yang terbesar (Sutedi, 2009: 28).

Desentralisasi Berkeseimbangan

Jumat, 14 Juni 2013

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara konseptual demokasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, yakni dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan oleh para pakar, demikian pula kriteria demokrasi. Meskipun cukup variatif, pada prinsipnya ada kesamaan pandangan mengenai nilai-nilai universal demokrasi yang menurut Zuhro (2009: 23) ada 9 kriteria yang salah satunya adalah  desentralisasi. Kajian tentang desentralisasi dewasa ini sedang memperoleh banyak peminat, termasuk di Indonesia.

Meskipun penilaian terhadap desentralisasi memperlihatkan catatan-catatan keberhasilan, namun pemerintah masih berhati-hati dalam bergerak ke arah desentralisasi yang lebih luas atau ke arah pendelegasian pelaksanaan pembangunan. Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa desentralisasi bukan merupakan langkah yang cepat untuk mengatasi masalah-masalah pemerintahan, politik, dan ekonomi. Namun demikian desentralisasi telah menciptakan hasil positif, misalnya meningkatnya partisipasi masyarakat dan meningkatnya kapasitas pemerintah daerah. Oleh karena itu desentralisasi harus dipandang secara realistis sebagai salah satu cara yang dapat meningkatkan efisiensi, efektitifitas, dan kepercayaan dari berbagai tingkat pemerintahan (Huda, 2007: 11-12).

Tulisan ini merupakan review terhadap artikel Sadu Wasistiono yang berjudul “Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Politik Edisi 21 Tahun 2010. Beberapa bagian akan disajikan di sini yakni landasan teoritik, analisis aspek desentralisasi, dan kesimpulan.

Landasan Teori
Menurut Bank Dunia, desentralisasi diartikan sebagai sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan, dan akuntabilitas mengenai fungsi-fungsi manajemen secara khusus ataupun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem, atau program. Menurut Litvack & Seddon, desentralisasi dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas, serta sektor swasta.

Dalam konteks negara dibedakan antara desentralisasi di negara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dbandingkan negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada di negara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam kontitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintah negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintah negara federalnya.

Dilema Rekrutmen Pegawai

Minggu, 26 Mei 2013

Pola manajemen SDM secara khusus telah banyak terkontaminasi praktek spoil, kemudian menjadikan manajemen SDM semakin terbelenggu dengan persoalan kompleks dan akut. Keadaan ini mengakibatkan birokrasi terdegradasi dan kehilangan kepercayaan publik. Sementara itu, baik pada level pusat maupun daerah tetap membutuhkan pejabat dan aparatur yang profesional. Sangat penting bagi pusat dan daerah dapat dengan leluasa mendapatkan tenaga-tenaga yang cukup loyal dan bermoral (Sulistiyani, 2010: 92).
Proses pengadaan CPNS merupakan proses yang paling kritis dan beresiko dalam keseluruhan proses manajemen PNS di Indonesia (Simanungkalit, 2007: 2). Disebut sebagai proses yang paling kritis mengingat proses tersebut sangat menentukan dalam membentuk profil PNS yang handal, berkualitas, dan relevan dengan kebutuhan organisasinya, atau justru sebaliknya, yakni PNS yang kontra produktif terhadap organisasi. Di samping itu, melalui proses pengadaan CPNS diketahui gambaran awal (umum) tentang CPNS yang akan diperoleh.
Selanjutnya proses pengadaan CPNS disebut beresiko artinya mengandung konsekuensi jangka panjang terhadap investasi aset ke depan, mengingat CPNS yang nantinya diangkat menjadi PNS tidak hanya sebagai aset penting organisasi, melainkan juga partner organisasi yang perlu dan harus dikelola dengan baik, karena sangat menentukan efektivitas organisasi. Di samping itu, proses pengadaan CPNS penuh resiko dari praktek-praktek KKN yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan masyarakat. Dengan kata lain, proses pengadaan CPNS sering menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, antara lain diatur pengadaan PNS yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Keterlambatan Penetapan APBD

Kamis, 23 Mei 2013


APBD  adalah  rencana  keuangan  tahunan pemerintahan  daerah  yang  dibahas  dan disetujui  bersama oleh pemerintah daerah (Pemda) dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan.
Dalam pengelolaan keuangan publik selalu terjadi kendala penganggaran, yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. DAU merupakan salah satu komponen penting sumber pendapatan bagi daerah sebagai dana perimbangan yang ditransfer pusat ke daerah. Sebagian besar daerah masih menggantungkan dana transfer ini sebagai sumber pendapatan. Rata-rata secara nasional, 68 persen sumber pendapatan daerah pada tahun 2011 berasal dari dana perimbangan. Ini meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2012.
Daerah-daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam besar pada akhirnya menggantungkan sepenuhnya pada “subsidi” dari pusat dalam bentuk DAU. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan lobby secara intensif dengan policy maker DAU di pusat khususnya Depkeu dan DPR. Para politisi sengaja membiarkan pembengkakan birokrasi karena mereka pun memperoleh keuntungan dari sistem organisasi dan personel yang membengkak, misalnya keuntungan dari proyek-proyek yang dikelola setiap lembaga (Hadna, 2010).
Bagi kebanyakan daerah, sebagaian besar dana dari komponen DAU tersedot untuk membayar gaji pegawai daerah yang jumlahnya membengkak karena adanya pemindahan pegawai dari pusat ke daerah. Lebih dari 75% dana yang diperoleh dari DAU di seluruh daerah di Indonesia ternyata harus dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sisanya harus dibagi-bagi untuk membiayai 20 sektor pembangunan daerah mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pembangunan dan renovasi infrastruktur, hingga pembangunan sarana ekonomi (Kumorotomo, 2005).

Politik Anggaran Daerah (Bagian Kedua)

Senin, 20 Mei 2013


Interaksi Antar Pemangku Kepentingan
Selain Kepala Daerah, wakil rakyat di daerah (DPRD) memiliki peran yang besar pula dalam pembahasan APBD. Dalam regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda) bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter). Senada dengan Kepala Daerah, anggota dewan memiliki kepentingan juga. Hakekatnya karena mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat, maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Namun, tidak selamanya seperti itu. Setidaknya ada 3 kepentingan di sini.
Kepentingan pertama adalah kepentingan politik. Kepentingan ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota dewan. Karena biaya politik yang tinggi maka sangat banyak sumber dana yang telanjur dikeluarkan sedangkan pendapatan sebagai wakil rakyat tidak cukup untuk mengembalikannya. Selain itu, karena anggota dewan merupakan jabatan politik, maka periode jabatan dibatasi oleh waktu (lima tahun). Diperlukan sumber dana lagi dalam kompetisi pemilu berikutnya. Biaya politik itu mereka dapatkan dengan memanfaatkan dana APBD. Modusnya sama dengan Kepala Daerah, yakni kolaborasi dengan pengusaha.
Kepentingan kedua adalah kepentingan pribadi. Kepentingan ini berkaitan dengan kerakusan manusia ketika memperoleh kesempatan untuk mendapatkan uang terutama dengan mengambil dana APBD. Maka tak heran, sanasib dengan Kepala Daerah, banyak anggota dewan (baik di pusat maupun daerah) yang terkena kasus korupsi. Jangan-jangan banyaknya korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan anggota dewan, memang karena mereka bekerja sama (istilahnya korupsi berjamaah). Begitulah akibatnya bila antara pelaku kebijakan dan pengontrol pelaksanaan kebijakan ber-kongkalikong.
Kepentingan ketiga adalah kepentingan konstituen. Kepentingan ini lebih mencerminkan aspirasi sebagian rakyat daripada kepentingan pribadi. Ketika berkompetisi, para wakil rakyat berjanji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya (konstituen), dengan syarat mereka harus memilih dirinya. Maka, ketika sungguh-sungguh terpilih, maka konstituen menagih janjinya. Tak ada yang keliru dalam logika seperti ini. Namun semestinya, begitu terpilih menjadi wakil rakyat maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan, bukan sekadar kepentingan konstituen. Belum tentu anggaran daerah yang dikeluarkan (karena jerih payah wakil rakyat dalam berjuang) untuk sebuah proyek yang diminati konstituennya, dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.

Politik Anggaran Daerah (Bagian Pertama)

Jumat, 17 Mei 2013


Sudah semestinya pemerintah menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sulit untuk menentukan berapa besar sebenarnya alokasi belanja publik yang ideal di dalam APBD mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda. Alam demokrasi pun turut membawa situasi serba dilematis. Antara pentingnya mesin birokrasi dan anggaran yang harus disediakan, antara percepatan penyerapan anggaran, dan kontrol hukum yang ketat
Dengan melihat fakta bahwa anggaran publik dan kebijakan keuangan daerah di Indonesia belum bisa menjadi pendorong bagi investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung maka memang ada permasalahan dalam anggaran kita. Permasalahan tersebut antara lain penentuan alokasi anggaran yang terlihat pro birokrasi (belanja pegawai), kepentingan politik di daerah, interaksi antar pemangku kepentingan, dan sistem keuangan dan pertanggungjawaban.

Proses Rekrutmen Jabatan Struktural

Selasa, 14 Mei 2013


Jabatan yang diemban oleh PNS dibedakan menjadi jabatan struktural dan jabatan fungsional tertentu. Selain itu ada pula jabatan fungsional umum yang seringkali disederhanakan dengan istilah staf. Saat ini baru ada sekitar 110 jabatan fungsional tertentu, misalnya guru, dosen, perawat, dokter, penyuluh, dan lain-lain. Jabatan struktural biasanya ditandai dengan predikat “Kepala”, misalnya Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Sub. Namun ada pula jabatan struktural yang tidak diawali dengan Kepala, seperti Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, Inspektur (dulu Kepala Banwasda), Direktur Rumah Sakit, Sekretaris, Camat, dan Lurah.
Di tingkat daerah jabatan struktural merupakan jabatan yang sangat diidamkan. Beberapa alasan bisa diungkapkan di sini, misalnya tunjangan jabatan yang lebih besar. Sebagai perbandingan, seorang PNS bergolongan III jika tidak berada dalam jalur struktural hanya akan mendapatkan tunjangan Rp 185.000 per bulan, namun bila ia menduduki jabatan struktural dengan eselon IV A maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 540.000 per bulan. Uang lembur dan Uang Harian Kembali (UHK) yang didapatkan jika melakukan perjalanan dinas pun lebih besar diperoleh pejabat struktural.
Dengan menduduki suatu jabatan struktural seorang pegawai mendapatkan akses kemudahan memperoleh fasilitas, misalnya kendaraan dinas, otoritas, kepanitiaan dalam kegiatan, memiliki bawahan, dan sebagainya. Selain itu di tengah masyarakat seseorang yang menyandang suatu jabatan masih mendapatkan tempat yang istimewa dan nama yang harum.
Pengangkatan dalam jabatan struktural diatur dalam PP Nomor 100 Tahun 2000, PP Nomor 13 Tahun 2002, dan Peraturan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2002. Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. Untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural seorang PNS harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Permasalahan Rekrutmen dalam Birokrasi

Sabtu, 11 Mei 2013


Menurut Prasojo (2006), akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting yakni persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang terdiri dari rekrutmen, penggajian dan reward, pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan. Selain persoalan internal, permasalahan yang lain lahir dari persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara, termasuk di antaranya isu politisasi birokrasi.
Amanat UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian khususnya Bab III Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa “Diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja”. Tetapi pada kenyataannya pola pembinaan karir PNS lebih didasarkan pada DUK (Daftar Urut Kepangkatan) dan senioritas. Hal ini terlihat masih berlakunya PP Nomor 15 Tahun 1979 tentang DUK, PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, dan PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat PNS yang belum mengakomodasi sistem prestasi kerja (Putranto, 2009: 135).
Proses rekrutmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-hubungan kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta kuatnya egoisme daerah (mengutamakan putra daerah tanpa memperhitungkan kualitas). Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekrutmen dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan, dan afiliasi. Budaya demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya tidak memadai (Prasojo, 2009: 84)
Rekrutmen tidak hanya dilakukan untuk mendapat pegawai yang akan menduduki suatu jabatan atau suatu posisi yang lowong. Tetapi rekrutmen dilakukan karena adanya kepentingan politik di balik itu. Dengan demikian profesionalisme kerja sangat jauh dari harapan, sedangkan profesionalisme kerja dapat mendorong terjadinya efisiensi birokrasi. Jika demikian halnya, maka birokrasi memang masih terbelenggu oleh pola-pola hubungan politik yang sulit untuk diputus. Akibat selanjutnya proses menuju good governance masih terhambat (Yuliani, 2004).

Rekrutmen Terbuka Jabatan Struktural

Jumat, 10 Mei 2013

Dalam banyak kasus sering ditemukan kesulitan untuk memilih orang yang tepat dalam menduduki jabatan tertentu. Di sinilah muncul peluang bagi terjadinya praktek KKN dalam rekrutmen jabatan-jabatan strategis yang ada di pemerintahan. Namun, seiring dengan terjadinya proses reformasi di Indonesia, keinginan untuk mewujudkan good governance di semua bidang menjadi keinginan banyak pihak. Oleh karenanya istilah Fit and Proper Test bagi suatu jabatan, baik dalam kaitannya untuk meningkatkan prestasi maupun sebagai bagian dari proses mutasi jabatan, begitu populer (Kusumasari, 2007: 338-339).
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, rekrutmen (promosi) jabatan yang tertuang dalam regulasi dan praktek selama ini lebih cenderung tertutup. Sistem yang ada membuat pegawai atau kandidat tidak bisa leluasa aktif berpartisipasi. Pada bagian ini penulis akan menawarkan sebuah alternatif rekrutmen jabatan struktural yang mirip dengan model Fit and Proper Test, yakni rekrutmen secara terbuka. Berikut ini mekanismenya.
Yang pertama, melakukan identifikasi jabatan yang perlu diisi. Sebagai tahap awal dengan mengutamakan jabatan yang ada pada eselon IV. Setiap tahun banyak jabatan pada eselon ini yang lowong karena adanya pegawai yang pensiun atau meninggal. Untuk menghindari resistensi dari pegawai yang sudah terlanjur mendapat jabatan struktural, biarlah untuk sementara jabatan mereka tidak diutak-atik. Identifikasi pada tahap ini lebih diprioritaskan pada pengisian jabatan yang lowong karena ditinggalkan pegawai yang pensiun. Pada waktu-waktu berikutnya, rekrutmen terbuka bisa menyasar pada semua jenis jabatan dan pada eselon yang lebih tinggi.
Yang kedua, membuat dan menyampaikan pengumuman terbuka tentang jabatan-jabatan yang lowong yang harus segera diisi. Semua pegawai bisa mendapatkan akses untuk informasi ini. Persyaratan minimal memang harus sesuai dengan peraturan kepegawaian misalnya berstatus PNS, memenuhi jenjang pangkat tertentu, memiliki prestasi kerja yang baik, sehat jasmani dan rohani, dan lain-lain. Kalau perlu ditambah dengan syarat pendidikan formal tertentu yang sesuai dengan jenis jabatan. Keahlian dalam pekerjaan dan pengalaman dalam kegiatan/kepanitiaan menjadikan poin tambahan. Namun yang tak kalah penting ia harus memiliki program tentang jabatan yang diincarnya.

Perlunya Alternatif Rekrutmen Jabatan

Rabu, 08 Mei 2013


UU Kepegawaian meyatakan bahwa pembinaan PNS dilakukan dengan berdasarkan pada perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi PNS yang berprestasi tinggi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetisi secara sehat. Dengan demikian pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada sistem prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi, dan pelatihan PNS.

Kompetensi jabatan merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS sebagai calon pejabat yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan struktural tertentu berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar para pejabat struktural dapat melaksanakan tugas secara profesional, efisien, dan efektif.
Namun sistem yang telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut dalam pelaksanaannya di daerah belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Meskipun kompetensi jabatan tetap menjadi hal yang masih dipertimbangkan sebagai persyaratan bagi calon pejabat struktural, namun ternyata pertimbangan-pertimbangan seperti kesamaan bahasa, adat istiadat, dan kesamaan agama tetap menjadi hal yang paling penting dalam pengangkatan pejabat struktural pada birokrasi.
Fenomena seperti itu diceritakan oleh Singal (2008) yang mengangkat kasus sebuah provinsi di Sulawesi. Dalam pengangkatan pejabat struktural, komitmen bahwa jabatan-jabatan tertentu merupakan milik atau tempat bagi pejabat yang berasal dari etnis tertentu masih sangat dirasakan. Perangkat kepegawaian daerah baik Baperjakat maupun BKD tidak dapat berbuat banyak ketika Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah menentukan calon yang dipilihnya sendiri, meskipun calon tersebut tidak memenuhi persyaratan yuridis formal. Hal yang harus dikerjakan oleh perangkat kepegawaian daerah adalah mencari celah dalam aturan formal, sehingga apa yang menjadi keinginan Pejabat Pembina Kepegawaian menjadi bukan sebuah pelanggaran atau penyimpangan dalam aturan kepegawaian.

Eksekusi Susno dan Jiwa Korsa Institusi

Minggu, 05 Mei 2013


Mantan Kabareskrim Susno Duadji kembali membuat berita. Susno merupakan jenderal polisi yang terlibat kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hukuman penjara tiga tahun dan enam bulan. Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Susno. Meski demikian, Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan alasan ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.
Setelah tiga kali mengabaikan panggilan eksekusi dari kejaksaan, maka pada 24 Maret 2013 ia membuat tindakan yang lebih spektakuler, yakni menggagalkan upaya paksa eksekusi atas dirinya. Tanpa sungkan, ia meminta perlindungan Polda Jawa Barat agar jaksa tidak bisa mengeksekusinya. Atas permintaan itu Polda Jabar pun mengirimkan sepasukan polisi ke rumah Susno. Alhasil, lagi-lagi kejaksaan pulang dengan sia-sia.

Polisi Pengayom Masyarakat
Yang menarik dari kasus di atas adalah keterlibatan polisi dalam melindungi orang yang akan dieksekusi oleh kejaksaan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian orang tersebut telah berstatus terpidana. Lebih khusus lagi Susno merupakan terpidana kasus korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang menjadi perhatian besar masyarakat agar segera dituntaskan. Tentu saja, tindakan polisi yang melindungi terpidana kasus korupsi menjadi bahan perbincangan menarik.

Kapolda Jabar membantah bahwa perlindungan tersebut sebagai upaya menghalangi penegakan hukum. Menjadi kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan bila ada warga negara yang meminta perlindungan tersebut, demikian Kapolda Jabar. Hal ini tentu saja menjadi sangat aneh. Memang benar, tugas kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun jangan dilupakan bahwa kepolisian memiliki tugas pula untuk menegakkan hukum. Membantu aparat hukum lain dalam menegakkan hukum semestinya menjadi prioritas kepolisian daripada melindungi terpidana.

Kesan tentang Analisis Isi

Kamis, 02 Mei 2013

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya masih mahasiswa S1 tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Kebetulan saya memiliki seorang teman yang berasal dari jurusan ilmu komunikasi pada kampus yang sama dengan saya. Ia juga sedang melakukan tugas menyelesaikan skripsi. Saya tidak sempat bertanya metode apa yang ia gunakan. Yang saya tahu ia meneliti berita-berita yang muncul pada beberapa surat kabar (seingat saya waktu itu adalah Radar Yogya dan Bernas). Sepintas yang saya baca, ia mengukur frekuensi pemberitaan suatu peristiwa di masing-masing media tersebut, kemudian dibandingkan.

Kemudian sepuluh tahun berselang, ketika saya mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan studi S2 di kampus almamater (tapi beda jurusan, S1 saya di Fakultas Hukum, kini di S2 Fisipol/MAP UGM) saya mendapatkan kuliah Metode Penelitian Administrasi. Salah satu yang diajarkan dalam kuliah ini adalah Analisis Isi. Saat itulah saya merasa, barangkali apa yang dikerjakan oleh teman saya dulu itu adalah melakukan penelitian dengan metode analisis isi.

Saya jadi teringat pernah memiliki buku tentang hasil penelitian berdasarkan analisis isi. Benar saja, setelah dicari-cari ketemulah buku itu,”Pers, Negara, dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru” karya May Lan. Karya ini awalnya tesis yang kemudian dijadikan buku. Benar saja, penelitian pada tesis tersebut menggunakan analis isi, yakni berita-berita tentang perempuan yang termuat di dua media massa yaitu Jawa Pos dan Kompas selama bulan Juli 1996 hingga Juni 1998.

Jujur, penjelasan dosen tentang analisis isi bagi saya merupakan sesuatu yang baru di bangku perkuliahan, namun sekaligus mencerahkan. Analisis isi tidak sekadar menghitung frekuensi keluarnya berita atau munculnya kata-kata tertentu dalam media, namun juga mencoba memahami apa maksud di balik bunyi maupun teks berita.

Modal Sosial dalam Rukun Tetangga (Bagian Kedua)

Senin, 29 April 2013

Kerja Bhakti
Kerja bhakti meskipun tidak terjadwal rutin namun sering dilakukan oleh warga. Kegiatan ini lebih bersifat fisik sehingga terutama membutuhkan pelibatan bapak-bapak. Sedangkan ibu-ibu berkontribusi dengan menyediakan konsumsi. Masalah pembangunan dan kebersihan lingkungan biasanya menjadi alasan dilaksanakan kerja bhakti, misalnya pembersihan selokan, pembersihan tanah kosong yang tidak diurus pemiliknya, pemangkasan ranting pohon di pinggir jalan, pembuatan gapura, pemasangan lampu penerangan jalan, dan lain-lain.
Kerja bhakti juga sering dilakukan dalam lingkup yang lebih luas, yakni melibatkan seluruh warga di perumahan yang dikoordinasikan oleh RW. Misalnya perbaikan gapura masuk perumahan, pembersihan sampah sekitar jalan masuk menuju perumahan, pembangunan lapangan olahraga, renovasi masjid, dan lain-lain.
Sebagai perumahan yang relatif baru didirikan, banyak sekali fasilitas umum dan fasilitas khusus yang perlu dibangun. Namun sayangnya pihak pengembang perumahan kurang memiliki kepedulian. Misalnya untuk sarana peribadatan (masjid), pengembang hanya memberikan satu kapling tanah, sedangkan bangunannya diserahkan kepada warga. Akhirnya warga secara patungan mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Demikian juga sarana olahraga yang tidak disediakan. Warga juga secara patungan membeli tanah milik peduduk sekitar perumahan dan membangun lapangan voli. Memang, pada umumnya kepedulian warga untuk kepentingan umum sangat tinggi. 
Budaya sambatan seperti disinggung di awal ternyata pernah dipraktekkan oleh warga. Hal ini cukup unik karena warga tinggal di wilayah perkotaan, apalagi perumahan. Hanya saja budaya sambatan dimaksudkan untuk membantu warga yang secara ekonomis tidak mampu dan sudah berusia lanjut. Warga secara bergotong royong membangun rumah di lahan sebelah masjid (yang sudah dibeli oleh warga secara patungan dari pengembang untuk keperluan masjid) untuk tempat tinggal sepasang suami istri yang sudah tua. Sekaligus pula warga membangun warung sederhana di salah satu tanah kapling sebagai sarana berjualan mereka berdua.

Modal Sosial dalam Rukun Tetangga (Bagian Pertama)

Jumat, 26 April 2013


Rukun Tetangga (RT) merupakan sebuah institusi yang unik, yakni sebagai institusi formal sekaligus sebagai institusi warga. Dikatakan institusi formal karena dibentuk oleh pemerintah atau meskipun dibuat oleh warga sendiri namun memerlukan pengakuan (pengesahan) pemerintah. Di sisi lain RT merupakan institusi warga di tingkat lokal sebagai jembatan yang menghubungkan antara warga dengan pemerintah agar terjalin komunikasi yang timbal balik. Kepengurusan RT lebih bersifat sosial karena tanpa gaji atau honor, bahkan seringkali menjadi “ujung tombak” dan “ujung tombok”. 

Dalam tulisan ini gambaran RT sebagai basis sosial ditampilkan dalam komunitas RT 02 RW 13 Perumahan Bumi Karangasri, Dusun Sooko, Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Yang menarik dari RT ini adalah umurnya yang relatif masih muda, warganya heterogen, serta lahir bukan karena intervensi pemerintah desa melainkan kesadaran sendiri akan pentingnya kehadiran sebuah ikatan warga yang tetap. 

Perumahan Bumi Karangasri, sesuai namanya terletak di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, sebelah timur laut kota Ngawi. Lokasinya dekat dengan jalan raya Ngawi-Bojonegoro, namun dari jalan raya masih masuk ke dalam kurang dari setengah kilometer, melewati persawahan dan kebun tebu. Karena letaknya yang jauh dari jalan raya itulah banyak yang tidak mengira jika di dalamnya terdapat sebuah perumahan.

Awalnya perumahan dibangun sekitar tahun 2000, tapi perkembangannya tidak begitu cepat. Lokasinya yang dikelilingi oleh persawahan, jauh dari akses jalan raya, dan belum terpasangnya jaringan telepon menjadi faktor penyebabnya. Namun, seusai banjir besar yang melanda Kabupaten Ngawi di akhir tahun 2007, banyak orang yang berminat tinggal (baik karena membeli ataupun mengontrak) di Perumahan Bumi Karangasri, karena termasuk kawasan yang aman dari bencana banjir. Maka sejak itulah pembangunan rumah menjadi meningkat. Lahan yang semula kosong dan berupa tanah lapangan berisi ilalang kini terisi penuh dengan rumah. Apalagi pihak pengembang bekerjasama dengan Asabri sehingga memudahkan para anggota TNI dan Polri (yang asramanya terendam banjir) untuk melakukan proses biaya pembangunan.

Modal Sosial Bangsa Kita

Selasa, 23 April 2013

Bangsa Indonesia memiliki tradisi asli yang diturunkan sejak nenek moyang, yakni gotong royong dan musyawarah. Dengan tradisi ini bangsa Indonesia mengembangkan kehidupannya dalam nuansa kolektivitas (kebersamaan) dan harmoni (damai dalam keanekaragaman). Untuk menyebut contoh gotong royong, dalam kebiasaan masyarakat Jawa ada tradisi sambatan. Jika ada warga yang hendak membangun rumah, maka biasanya para tetangga akan membantu dan terlibat dalam pembangunan. Biasanya tidak ada bayaran bagi tetangga yang membantu, namun tuan rumah akan menyediakan keperluan makan bagi mereka.
   
Selain tradisi gotong rotong royong, tradisi musyawarah memiliki akar kuat dalam masyarakat Indonesia. Musyawarah, bahkan dimasukkan dalam sila keempat Dasar Negara Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam kehidupan masyarakat, terutama di desa, musyawarah (melalui mekanisme rembug desa) dijadikan arena pemecahan permasalahan bersama. Inilah sejatinya nilai demokrasi asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak dahulu kala. Pengalaman penulis saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) tahun 2003 di Desa Barukan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, setiap malam Jumat masing-masing RT di desa tersebut mengadakan forum bersama membahas permasalahan lingkungan, mulai pembangunan jalan makadam, rencana panen, kerja bhakti, dan lain-lain. Semua laki-laki dewasa pasti hadir di situ. Ini berbeda dengan wilayah kota yang biasanya pertemuan RT dilaksanakan setiap bulan sekali, yang kadang-kadang pesertanya minim.
   
Seiring perkembangan jaman, tradisi gotong royong dan musyawarah mulai tergerus. Munculnya konflik sosial bisa jadi karena mulai lunturnya tradisi musyawarah. Kehidupan harmoni untuk menciptakan kedamaian di tengah keragaman, dirusak oleh perilaku yang hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Disintegrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan mengurangi bahkan menyebabkan kemerosotan modal sosial yang telah lama hadir dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena, pada dasarnya, nilai-nilai seperti kepercayaan, kerja sama, solidaritas, toleransi, kebersamaan, kemitraan, gotong royong, dan musyawarah adalah bagian dari modal sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia.   
   
Gotong royong sebagai bentuk resiprositas mengalami perubahan yaitu mengarah pada semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan praktek gotong royong dan berkurangnya jenis-jenis gotong royong dalam masyarakat. Salah satu penyebab berkurangnya praktek gotong royong adalah semakin besarnya pengaruh ekonomi uang. Ketergantungan masyarakat pada uang untuk memenuhi kebutuhan harian menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang (Kutanegara, 2006: 201).

Pengadaan CPNS, Antara Demokrasi dan Meritokrasi

Sabtu, 20 April 2013

Setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintah memerlukan proses rekrutmen. Setiap saat pegawai dalam organisasi menjadi berkurang sehingga diperlukan penambahan agar aktivitas organisasi tetap berjalan. Selain itu adanya perkembangan organisasi juga turut mempengaruhi kebutuhan akan pegawai. Tulisan ini mendiskusikan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau pengadaan CPNS (terminologi yang digunakan oleh Peraturan Pemerintah) yang berasal dari tenaga honorer. Selain rekrutmen yang dilaksanakan secara umum, pemerintah sejak tahun 2005 mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS. Landasan hukum yang dipakai adalah PP Nomor 48 Tahun 2005.

Menurut Sulistiyani (2003: 134) rekrutmen adalah proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi tertentu. Selanjutnya rekrutmen juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Diselenggarakannya rekrutmen mengemban keinginan-keinginan tertentu yang harus dipenuhi, supaya organisasi dapat eksis. Menurut SP Siagian sebagaimana dikutip oleh Sulistiyani (2003: 135), diadakannya rekrutmen adalah untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pilihan terhadap calon pegawai yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.


Menurut Sulistyo (2010: 84-85) rekrutmen PNS merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem inilah baik buruknya organisasi organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga pengelolaan pegawai ke depan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya dalam pengembangan pegawai, penerapan sistem karir, pemberian reward yang memadai bagi pegawai, dan lain sebagainya.

    
Pola rekrutmen yang terjadi di birokrasi Indonesia selama ini tidak berpedoman kepada analisis kebutuhan. Di lingkungan birokrasi publik belum ada perencanaan kebutuhan pegawai yang matang, kebijakan rekrutmen bersifat inkremental saja, dengan demikian rekrutmen dari tahun ke tahun tidak dapat dikendalikan, berlangsung secara parsial. Proses rekrutmen yang kurang terencana ini dapat menghasilkan para pegawai yang kurang memenuhi standar kualifikasi minimal (Yuliani, 2004: 155).

Teori Penelitian Analisis Isi

Rabu, 17 April 2013

Definisi   
Menurut Krippendorff (1991: 15; dalam Retnoningsih, 2012: 35) analisis isi adalah suatu teknik untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (repicable) dan sahih, dengan memperhatikan konteksnya. Model analisis isi bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan hingga bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
  
Lan (2002: 42-43) menyebutkan bahwa teknik penelitian yang menggunakan analisis isi berangkat dari tiga sifat yang melekat padanya yakni objektif, sistematis, dan generalitas. Sifat objektif pada teknik analisis isi menyiratkan adanya kesamaan hasil yang akan diperoleh apabila penelitian ini dilakukan oleh orang lain. Sistematis merupakan sifat yang menandai bahwa kategorisasi yang ada dalam penelitian ini mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara konsisten. Persyaratan semacam ini menjamin penyeleksian dan pengkodingan data tidak mengalami bias. Sedangkan sifat generalitas dari teknik analisis isi ini mengarahkan bahwa hasil temuan dalam penelitian harus memiliki relevansi teoritis.
  
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa analisis isi adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi yang terdokumentasi misalnya dalam bentuk buku, surat kabar, peraturan, rekaman, film, manuskrip, dan lain-lain.

Studi Kasus Anggaran Kesehatan di Daerah

Rabu, 27 Maret 2013

Secara nasional pemerintah menyediakan anggaran di bidang kesehatan yang lumayan besar. Namun jika dicermati angka-angka milyaran rupiah tersebut lebih banyak tersedot untuk laporan di atas kertas yang tidak berdampak langsung dengan kesehatan. Lalu, bagaimana kondisinya di daerah. Studi ringkas di bawah ini memberikan sedikit gambaran, yakni di salah satu Pemda di Pulau Jawa (sebut saja N) pada tahun anggaran 2011.

Dari enam Misi Kabupaten N, salah satunya adalah meningkatkan pelayanan dasar bidang kesehatan yang berkualitas dan berdaya saing. Kebijakan yang diambil adalah dengan peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan. Terwujudnya akses pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan ini dicapai dengan satu sasaran yakni meningkatnya akses dan mutu kesehatan ibu, bayi, anak remaja, dan lanjut usia, serta kesehatan reproduksi. Program kesehatan pemerintah daerah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah.

Program pada Dinas Kesehatan meliputi, pelayanan admininstrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur, peningkatan disiplin aparatur, Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, peningkatan  pengembangan  sistem  pelaporan capaian kinerja dan keuangan, obat dan perbekalan kesehatan, upaya kesehatan masyarakat, pengawasan obat dan makanan, promosi  kesehatan  dan  pemberdayaan masyarakat, pengembangan lindungan sehat, pencegahan  dan  penanggulangan  penyakit menular, standarisasi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan penduduk miskin, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya, peningkatan pelayanan kesehatan anak balita, peningkatan pelayanan kesehatan lansia, peningkatan  keselamatan  ibu  melahirkan dan anak.

Sedangkan program pada Rumah Sakit Umum Daerah adalah sebagai berikut pelayanan admininstrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur, Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, peningkatan  pengembangan  sistem  pelaporan capaian kinerja dan keuangan, standarisasi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan penduduk miskin, pengadaan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit/rumah sakit jiwa/rumah sakit paru-paru.

Anggaran Untuk Kesehatan

Minggu, 24 Maret 2013

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (2013), kesehatan ibu menjadi salah satu isu strategis pemerintah. Pada dokumen tersebut disebutkan, masih rendahnya akses masyarakat terhdap fasilitas pelayanan kesehatan yang ditandai dengan masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak dan status gizi masyarakat” (Buku I RKP 2013, dalam Fitra, 2012). Dalam RKP tersebut, isu kesehatan ibu dan reproduksi menjadi prioritas 3 bidang kesehatan, dalam rangka peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkualitas bagi ibu dan anak.

Menurut keterangan Kementerian Kesehatan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab.    

Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.

Oleh karena itu, upaya pelaksanakan program kesehatan perlu dukungan dana. Dalam RAPBN 2013, alokasi anggaran untuk penurunan AKI di Kementerian Kesehatan setidaknya tercantum dalam program/kegiatan yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Bina Kesehatan Gizi dan Ibu dan Anak pada program Pembinaan serta Ditjen Bina Upaya Sehat.

Birokrasi yang Melayani Pasar

Kamis, 21 Maret 2013

Tiga unsur penting dalam good governance adalah pemerintah, rakyat, dan swasta. Kita juga mengenal reinventing government; menemukan/mengembalikan kembali pemerintah dalam bentuk aslinya. Selain dipuja dan dipuji sebagai konsep tata kelola pemerintahan yang baik, banyak kalangan (termasuk akademisi dan terlebih aktivis LSM) yang mengkritisinya. Terutama karena adanya unsur swasta di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa yang salah dengan konsep good governance yang menjadikan swasta sebagai salah satu dari trinitas tata kelola pemerintahan? Apa yang keliru dari model birokrasi baru dalam reinventing government yang pro pasar?

Di sinilah kita harus cermat dan hati-hati. Paling tidak, menurut Yustika (2009), ada dua hal yang perlu dikritisi mengenai peran swasta dalam kaitannya dengan pengelolaan pemerintahan.

Pertama, terdapat efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam mempengaruhi seluruh lekuk kehidupan. Di negara berkembang pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi) dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga menentukan hidup matinya kepentingan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik. Dampaknya adalah, pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang untuk melakukan interaksi sosial. Dengan begitu, matinya pelaku ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.

Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk membeli kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung dipenggal di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan mengurangi profit mereka. Ini merupakan konsekuensi paling serius dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan  berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup mengawalnya. Modal bisa menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan hukum yang dimilikinya sendiri, yakni kekuatan yang besar akan memakan daya yang lebih kecil.

Antara Globalisasi dan Neo Liberalisme

Senin, 18 Maret 2013

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode formasi sosial. Berikut ini penjelasannya dikutip dari Fakih (2002).

Fase pertama adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenab teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan selama ratusan tahun.

Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Pada fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara dunia ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka. Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi karena teori tersebut direkayasa menjad paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh Negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisme tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta “diskursus” yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.

Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Periode ketiga yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui structural adjustment program oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim GATT dan perdagangan bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization). Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya, dan dengan begitu dunia memasuki periode yang dikenal dengan globalisasi. Secara lebih tegas yang dimaksud dengan globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak jaman kolonialisme. Para teoritisi kritis sejak lama sudah meramalkan bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi ekonomi, politik, dan budaya berskala global setelah perjalanan panjang melalui era kolonialisme.

Antara Good Governance dan Neo Liberalisme

Jumat, 15 Maret 2013

Hampir dua windu reformasi berjalan di negeri ini. Awalnya gerakan yang dimotori oleh para mahasiswa itu berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi merupakan upaya koreksi terhadap rezim Orde Baru yang banyak melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Seiring dengan semangat reformasi di segala bidang, dalam tata kepemerintahan mulai familier istilah “good governance”. Tak hanya di kalangan birokrasi, kata-kata ini pun sering didengungkan oleh kalangan akademisi, pers, LSM, dan lain-lain, seolah mantra mujarab memperbaiki kondisi negeri Indonesia.

Sebagai sebuah istilah, good governance memang mengandung arti yang bagus yaitu pemerintahan yang baik atau bisa pula dimaknai cara mengelola pemerintahan dengan baik. Dengan pemerintahan yang baik maka diharapkan hasilnya juga membawa kebaikan bagi rakyatnya. Logika yang sederhana, kalau pihak yang memerintah (baca: pemerintah) baik, maka tentu yang diperintah (baca: rakyat) mestinya juga baik. Sebagai lawan dari good governance adalah bad governance, yakni pemerintahan yang buruk. Artinya, jika pemerintah tidak menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipegang dalam good governance maka ia termasuk pemerintah yang jelek, buruk, dan jahat. Hasilnya rakyatnya juga akan mendapatkan hasil yang jelek.

Namun, setelah bertahun-tahun sejak reformasi dijalankan dengan prinsip-prinsip good governance, ternyata rakyat tidak mendapatkan hasil yang baik juga. Bahkan pada tataran pengelolaan pemerintahan sendiri, berbagai data menunjukkan problem pemerintahan yang tidak baik. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, makelar kasus, praktek politik uang (money politic) masih banyak terjadi.

Menurut Transparency International (TI) (dalam Setagu, 2009) skor Indonesia untuk CPI adalah 3,0. CPI (Corruption Perception Index) adalah sebuah indeks gabungan yang dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun 2011 CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.

Belanja Birokrasi Menyandera Anggaran

Selasa, 12 Maret 2013

Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.

Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Banyak pihak yang membahas tentang pengalokasian belanja pegawai yang masih mendominasi dalam anggaran belanja pemerintah terutama di daerah. Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.

Sederet Konsep Good Governance

Sabtu, 09 Maret 2013

Menurut UNDP (dalam Sutiono, 2004) istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak hanya sekadar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya.

Sementara definisi good governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002).

Sedangkan UK/ODA (1993) menyatakan bahwa istilah good government dan good governance tidak ada bedanya, karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi.

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha, serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.

Globalisasi Birokrasi (Bagian 2)

Selasa, 26 Februari 2013

Salah satu pilar globalisasi adalah perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs). Argumentasi tersebut berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandaskan pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan pemberian kebebasan individu sebagai pilar utama dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar sekaligus globalisasi. Upaya tersebut memperlihatkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara-negara lain sebagai pecundang. 

Hal itu bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan transnasional mayoritas menghuni negara-negara maju, sehingga setiap terjadi peningkatan laba korporasi raksasa tersebut akan menaikkan pendapatan negara (baik dalam bentuk setoran fiskal maupun penambahan devisa). Sedangkan bagi negara-negara lain (terutama berkembang dan miskin), justru hanya dijadikan pasar atau sumber mendapatkan bahan baku dengan harga yang relatif rendah.

Dalam perkembangan ekonomi politik pasca reformasi, peran negara dalam menguasai hajat hidup orang banyak cenderung sudah berpindah di tangan swasta. Pendekatan neo liberalisme dengan tiga prinsip utamanya yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi telah membawa pemerintah kepada berbagai kebijakan yang tidak populis di mata rakyat. Ketidakmampuan pemerintah sudah menunjukkan kelemahan negara yang telah memasuki era state denial. Fenomena penghindaran negara atau state denial dalam urusan ekonomi telah dituliskan oleh Linda Weiss (1998) dikutip oleh Nurdin (2009) yang ditunjukkan dengan hilangnya otonomi nasional, lemahnya pemerintah dalam mengahadapi modal transnasional, dan kurangnya nasionalisme sebagai prinsip kenegaraan.

Lahirnya sejumlah Undang-undang (UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU BUMN, UU SDA, UU PM, dan lain-lain) yang menjadi paket dari pinjaman utang, telah melegalisasi praktek neokolonialisme di Indonesia. Bahkan, praktek ini dilakukan oleh hampir seluruh rezim komprador yang menjadi kaki tangan kekuatan imperialis untuk menjalankan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme di negeri ini (Hakim, 2011). Menurut Susetiawan (2009) dalam posisi ini, para pihak (stakeholders) terasa tak berdaya melawan konstruksi neoliberal yang semakin menguasai dunia.

Globalisasi Birokrasi (Bagian 1)

Jumat, 22 Februari 2013

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode formasi sosial. Berikut ini penjelasannya dikutip dari Fakih (2002).

Fase pertama adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenab teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan selama ratusan tahun.

Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Pada fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara dunia ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka.

Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi karena teori tersebut direkayasa menjad paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh Negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisme tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta “diskursus” yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.

Administrasi Publik dan Definisinya

Senin, 18 Februari 2013

Definisi dan cakupan administrasi publik bisa diidentifikasi melalui dua makna publik yakni: 1. Lembaga; dan 2. Publik. Sejarah perkembangan ilmu administrasi publik dan konteks kelembagaan bisa dimaknai bahwa administrasi publik sebagai bagian dari ilmu ketatausahaan negara, administrasi publik sebagai organisasi dan manajemen, serta administrasi publik sebagai administrasi pemerintahan. Publik dalam administrasi publik diartikan dalam konteks kelembagaan (institusi), sebagai lembaga negara/pemerintah, dalam oganisasi pemerintah. Dengan demikian, ilmu administrasi negara (publik) adalah studi tentang proses administrasi yang terjadi dalam institusi penyelenggara negara, di semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Dalam perjalanannya ilmu administrasi publik (negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktik yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Wacana di kalangan akademisi yang prihatin dengan perkembangan teori-teori administrasi publik yang lebih mementingkan efisiensi dan efektivitas dan kurang peduli dengan keadilan sosial, demokrasi, dan kebebasan mendorong munculnya New Public Administration. Selanjutnya perkembangan praktik tersebut menuntut lembaga/institusi publik harus bertindak seperti dan berkompetisi dengan institusi bisnis, yang mendorong adanya nilai-nilai baru seperti cost-effectiveness, inovasi, kepedulian kepada pengguna, dan kewirausahaan. Nilai-nilai itu melahirkan gerakan New Public Management (NPM), reinventing government, dan lain-lain. Perubahan lain juga muncul karena interpretasi yang diberikan oleh para ilmuwan, akademisi, dan praktisi terhadap makna yang terkandung konsep administrasi dan publik (yang mengalami pergeseran).

Secara garis besar terdapat 4 relevansi perlunya perubahan makna (redefinisi) administrasi publik:

  1. Adanya fenomena globalisasi sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional,
  2. Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi sehingga perlu pengurangan peran pemerintah,
  3. Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi, dan debirokratisasi,
  4. Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik.

Konsep administrasi tidak lagi diartikan sebagai organisasi dan manajemen, implementasi kebijakan, tetapi mencakup keseluruhan proses kebijakan, yaitu formulasi dan implementasi kebijakan. Konsep publik tidak lagi dipahami sebagai institusi pemerintah atau institusi penyelenggara negara tetapi sebagai kolektivitas, yang seringkali diekspresikan melalui public values, public affairs, dan public interest. Jadi administrasi publik bisa diartikan sebagai masalah-masalah publik (public affairs) dan kepentingan publik (public interest) dalam domain publik (public domain), dan mengandung nilai-nilai kepublikan (public values) serta untuk kemanfaatan publik (public beneficiaries). Administrasi publik membahas tentang bagaimana masalah dan kepentingan publik direspon dan diselenggarakan oleh pemerintah. Publik dipahami sebagai kolektivitas bukan lembaga pemerintah. Kolektivitas dicirikan oleh kepentingan dan tujuan bersama, masalah bersama, dan nilai-nilai bersama.

Paradigma Governance dan Implikasinya

Kamis, 14 Februari 2013

Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya “The Study of Administration” pada tahun 1883.

Dalam perjalanannya ilmu Administrasi Publik (Negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktek yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Administrasi publik pun mengalami perubahan makna (redefinisi) dengan beberapa sebab:

  1. Adanya fenomena globalisasi, sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional
  2. Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi, sehingga perlu pengurangan peran pemerintah
  3. Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi dan debirokratisasi
  4. Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik

Selain itu, ada “perubahan paradigma”:

  1. Dari orientasi serba negara ke pasar
  2. Dari otorisasi ke demokrasi
  3. Dari sentralisasi ke desentralisasi
  4. Dari publik yang menekankan kekuasaan negara/pemerintah (state centred) ke publik yang menekankan peranan pasar dan warga negara (governance).

Perkembangan administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Menurut Nicholas Henry (1995) dalam Mariana (2010) terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik:

Mencegah Intervensi Politik

Senin, 28 Januari 2013

Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia diwarnai oleh kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan keberpihakan pada partai politik menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingan-kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemanan politik (Prasojo, 2006).

Ketika PNS telah ditegaskan untuk netral terhadap setiap kepentingan politik, maka seharusnya ada ketegasan pula terhadap jabatan politik agar tidak mempolitisasi birokrasi untuk kepentingan politik sesaat. Menurut Thoha (2009), seharusnya jabatan politik yang berasal dari kekuatan politik itu jika terpilih menjadi pejabat negara tidak lagi menjabat struktural dalam kepengurusan partai politiknya. Dengan demikian jabatan negara yang memimpin birokrasi bersama-sama tidak ada kaitannya dengan aspirasi politik dari partai politiknya. Jabatan rangkap seperti yang selama ini dilaksanakan akan membuat lembaga birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari dari penyalahgunaan wewenang.

Yang terjadi dalam praktek selama malah berseberangan. Masih jarang terjadi seseorang yang diangkat maupun terpilih menjadi pejabat negara yang memimpin instansi pemerintahan ia melepaskan ikatan struktural dengan partai politiknya. Dalam tataran nasional, di era reformasi seluruh Presiden mulai Gur Dur, Megawati, hingga SBY tetap dalam lingkup struktural partai politik masing-masing. Pada tingkat daerah hal inipun tidak jauh berbeda. Bahkan ada Kepala Daerah yang awalnya berasal dari kalangan non politisi, ketika terpilih mereka masuk dalam struktur kepengurusan partai politik. Beberapa di antaranya malah menjadi ketua partai di daerah masing-masing, misalnya Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Tengah.

Upaya lain yang bisa dilakukan untuk menghilangkan intervensi politik dalam birokrasi adalah dengan menjadikan jabatan karir birokrasi tertinggi pada masing-masing institusi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka Sekretaris Daerah merupakan puncak karir tertinggi dalam birokrasi, artinya Sekretaris Daerah dijadikan sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Dengan demikian, apabila Kepala Daerah terpilih tidak bersedia melepaskan ikatan struktural dengan partai politik, ia tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi birokrasi.

Inkonsistensi Regulasi Kepegawaian

Jumat, 25 Januari 2013

Di era Orde Baru PNS sebagai unsur utama dalam birokrasi terkooptasi oleh kekuatan politik. Regulasi kepegawaian saat itu yakni UU 8/1974 memang tidak secara tegas mengatur netralitas PNS, dengan kata lain PNS memang diharapkan menjadi kekuatan penyokong kekuasaan. Hal ini terbukti dengan dukungan formal Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) terhadap Golkar dalam setiap pemilu.

Baru setelah reformasi 1998 penataan birokrasi dilakukan dengan mewujudkan netralitas PNS. UU 8/1974 yang pro rezim Orde Baru dirubah dengan UU 43/1999. Pasal 3 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam  penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat.

Dalam UU itu pula ditentukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri yakni oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut dalam hal ini diatur dalam PP 9/2003. Dalam PP 9/2003 dikenal istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang sebenarnya tidak diatur dalam UU 43/1999. Dalam lingkup daerah PPK ini adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. PPK mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS yang berada di lingkungan masing-masing.

Demikian luas kewenangan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dalam mengurusi manajemen birokrasi. Padahal Kepala Daerah itu sendiri merupakan sebuah jabatan politik yang tak lepas dari kepentingan politik. Peran besar Kepala Daerah dalam urusan birokrasi itu tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Tidak ada sanksi bagi Kepala Daerah ketika mereka memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pemenang pemilu. Ini menjadi kontradiktif ketika PNS diatur agar tidak berpolitik praktis, sedangkan Kepala Daerah yang notabene Pejabat Pembina Kepegawaian malah mempolitisasi birokrasi. Kelahiran PP 9/2003 menjadi hal yang kontra produktif dengan cita-cita netralitas birokrasi seperti yang didambakan dalam UU 43/1999.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)