Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Pertama)

Kamis, 24 Oktober 2013

Pendahuluan
Implementasi hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini belum berjalan efektif. Tidak efektifnya politik dan sistem dana transfer daerah, atau penganggaran daerah merupakan indikasi tidak efektifnya hubungan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Masalah lain yang amat menonjol adalah dukungan politik pembangunan nasional yang belum berlangsung dalam satu rencana kegiatan. Masih terjadi program-program nasional yang belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari daerah, demikian halnya daerah mengembangkan sendiri-sendiri  konsep pembangunan, yang tidak selalu mengacu pada kebijakan pembangunan nasional (Rimi, 2011: 325).

Sementara itu, desentralisasi didefenisikan sebagai wewenang pembuatan keputusan, dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal. Dalam konteks kelembagaan, desentralisasi politik, termanifestasi dengan adanya badan legislatif daerah, namun hal ini ditemukan dua hal yang mendasar, yaitu desentralisasi administrasi dan politik. Permasalahan penting dan mendasar adalah kebijakan otonomi daerah bukan semata-mata tersedianya peraturan perundang-undangan mengenai berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah beserta segala sarana dan prasarana yang mendukungnya, tetapi lebih dari pada itu sejauh mana fungsi-fungsi dari kelembagaan dalam lingkup pemerintah daerah mampu menyusun dan melaksanakan mekanisme dalam menjalankan esensi dan politik otonomi daerah itu sendiri.

Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah, khususnya yang menyangkut masalah hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat kecenderungan bahwa kekuasaan di bidang keuangan ini, lebih besar di pusat dibandingkan dengan kekuasaan daerah dalam memungut sumber-sumber keuangan tersebut.

  1. Kecenderungan ini antara lain dipengaruhi oleh: Terdapat kekhawatiran mengenai persatuan nasional dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah yang timbul di daerah-daerah;
  2. Memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber daya antar daerah, terutama antar Jawa yang dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan daerah luar Jawa yang banyak menghasilkan penerimaan dari ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi;
  3. Pemerintah pusat ingin memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi;
  4. Penerimaan dari minyak bumi yang sangat penting bagi pemerintah pusat sebagai pendapatan negara yang terbesar (Sutedi, 2009: 28).

Sudah semestinya pemerintah menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sulit untuk menentukan berapa besar sebenarnya alokasi belanja publik yang ideal di dalam APBD mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda. Alam demokrasi pun turut membawa situasi serba dilematis. Antara pentingnya mesin birokrasi dan anggaran yang harus disediakan, antara percepatan penyerapan anggaran, dan kontrol hukum yang ketat

Dengan melihat fakta bahwa anggaran publik dan kebijakan keuangan daerah di Indonesia belum bisa menjadi pendorong bagi investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung maka memang ada permasalahan dalam anggaran kita. Permasalahan tersebut antara lain penentuan alokasi anggaran yang terlihat pro birokrasi (belanja pegawai), kepentingan politik di daerah, interaksi antar pemangku kepentingan, dan sistem keuangan dan pertanggungjawaban.

Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah, baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai terdiri dari gaji dan belanja pegawai lainnya.

Belanja pegawai lainnya adalah kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa honorarium, uang makan, uang lembur, vakasi, dan berbagai pembiayaan kepegawaian lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pegawai di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang dialihkan ke daerah dan kantor-kantor di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang dilikuidasi.

Berdasarkan data FITRA (dalam Farhan, 2012), pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai,  jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah  di antaranya menganggarkan belanja pegawai di atas 70%. Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai,  dalam bentuk DAU  Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8%), dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%). Praktis dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah  telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.

Berapa sebenarnya persentase ideal belanja pegawai dalam APBD? Belum ada angka yang pasti. Secara tersirat pemerintah menekankan di bawah 50 persen, yakni berdasarkan peraturan bersama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan pada tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Perber ini menegaskan adanya moratorium rekrutmen CPNS mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Namun ada pengecualian, misalnya untuk memenuhi tenaga pendidik, tenaga dokter, bidan, dan perawat asalkan belanja pegawai dalam APBD di bawah 50 persen. Dalam berbagai kesempatan beberapa pejabat pemerintah pusat juga melarang pengadaan rekrutmen CPNS di daerah apabila belanja pegawai dalam APBD-nya lebih dari 50 persen.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Anggaran ini di luar dana untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Selain itu berdasarkan Pasal 171 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan besarnya anggaran untuk kesehatan dalam APBD adalah minimal 10 persen di luar gaji. Dengan demikian APBD telah terkunci minimal 30 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Ini bisa lebih terutama untuk biaya-biaya selain pendidikan dan kesehatan, misalnya dana alokasi desa. Rancangan UU tentang Desa menyebutkan 10 persen anggaran dipergunakan untuk desa. RUU ini masih dibahas di kalangan wakil rakyat. Bila diasumsikan bahwa alokasi ideal untuk desa adalah 10 persen (sesuai dengan RUU) maka dengan demikian belanja untuk pendidikan, kesehatan, dan desa adalah minimal 40 persen.

Dana yang masih ada pada APBD, yakni 60 persen (selain pendidikan, kesehatan, dan desa) itulah yang digunakan untuk belanja lain, misalnya belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, subsidi, belanda tak terduga, dan lain-lain. Atau disederhanakan belanja pegawai dan belanja non pegawai. Bila dibagi dua secara seimbang maka masing-masing mendapat jatah 30 persen. Angka 30 persen inilah yang mungkin dianggap ideal sebagai belanja pegawai.

Adakah daerah yang hanya menganggarkan 30 persen dari APBD untuk belanja pegawainya? Berdasarkan data APBD 2010, anggaran untuk belanja pegawai rata-rata di daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mencapai 54 persen (Setagu, 2012). Angka ini termasuk tinggi karena berarti menekan alokasi belanja lain yang berkaitan dengan kepentingan khalayak misalnya untuk pembangunan infrastruktur.  Data yang ada menunjukkan jumlah pemerintah daerah sebanyak 524 terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Jumlah daerah yang persentase gajinya terhadap APBD di atas 50 persen sebanyak 340 Pemda. Berarti yang di bawah 50 persen sebanyak 151 daerah. Dari sebanyak itu yang di bawah 30 persen hanya 36 daerah. Artinya, mayoritas belanja pegawai di daerah masih jauh dari idealita.

Dengan belanja pegawai yang cukup besar di mayoritas daerah itu, sisa dana yang tersedia pun tersedot untuk kepentingan kantor atau pegawai juga. Misalnya belanja barang dan jasa yang habis pakai digunakan untuk keperluan kantor pemerintah. Atau sebut saja belanja makanan dan minuman rapat, bahan bakar minyak, servis kendaraan dinas, pembelian suku cadang, pelatihan pegawai, dan pemberian tali asih pensiunan. Selain itu ada juga biaya perjalanan dinas yang sebagian besar digunakan oleh pegawai. Sebagai catatan, BPK menyebutkan 30-40 persen biaya perjalanan dinas telah diselewengkan.

Ada pula belanja modal, yakni pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian atau pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah. Misalnya pembelian mobil dinas dan motor dinas, pengadaan mebel, dan komputer jinjing. Siapa yang memanfaatkannya? Tentu saja para pegawai juga.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)