Jabatan Struktural Dalam Birokrasi

Senin, 11 Mei 2015

kppnpalembang.net
Jabatan yang diemban oleh PNS dibedakan menjadi jabatan struktural dan jabatan fungsional tertentu. Selain itu ada pula jabatan fungsional umum yang seringkali disederhanakan dengan istilah staf. Saat ini baru ada sekitar 110 jabatan fungsional tertentu, misalnya guru, dosen, perawat, dokter, penyuluh, dan lain-lain. Sedangkan jabatan struktural biasanya ditandai dengan predikat “kepala”, misalnya kepala dinas, kepala badan, kepala kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, kepala sub. Namun ada pula jabatan struktural yang tidak diawali dengan kepala, seperti sekretaris daerah, sekretaris DPRD, sekretaris KPU, inspektur (dulu bernama Kepala Badan Pengawasan Daerah), direktur rumah sakit, sekretaris, camat, dan lurah.

Jabatan struktural dalam birokrasi diartikan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam rangka memimpin suatu organisasi negara. Jabatan tersebut disusun dalam bentuk eselon atau hirarki jabatan yang menunjukkan tingkatan tanggung jawab, wewenang, dan hak.

Menurut Burhanuddin A. Tayibnapis (dalam Muslim, 2007: 53) jabatan struktural merupakan jabatan pimpinan seperti yang terlihat dalam struktur organisasi. Jabatan struktural merupakan jabatan yang ditujukan bagi pegawai yang diarahkan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi (Martoyo dalam Muslim, 2007: 53). Dalam jabatan struktural, pengembangan karir diarahkan menjadi pimpinan dalam suatu organisasi berdasarkan tingkat eselon mulai dari eselon Va sampai dengan eselon Ia.
 

Di tingkat daerah jabatan struktural merupakan jabatan yang sangat diidamkan. Beberapa alasan bisa diungkapkan di sini, misalnya tunjangan jabatan yang lebih besar. Sebagai perbandingan, seorang PNS bergolongan III jika tidak berada dalam jalur struktural hanya akan mendapatkan tunjangan Rp 185.000,00 per bulan, namun bila PNS menduduki jabatan struktural dengan eselon IIIb maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 980.000,00 per bulan. Uang lembur dan Uang Harian Kembali (UHK) yang didapatkan jika melakukan perjalanan dinas pun lebih besar diperoleh pejabat struktural.


Dengan menduduki suatu jabatan struktural seorang pegawai mendapatkan akses kemudahan memperoleh fasilitas, misalnya kendaraan dinas, otoritas, kepanitiaan dalam kegiatan, memiliki bawahan, dan sebagainya. Selain itu di tengah masyarakat seseorang yang menyandang suatu jabatan masih mendapatkan tempat yang istimewa dan nama yang harum. Secara sosial budaya penghargaan masyarakat lebih tinggi kepada status seseorang dalam struktur pemerintahan daripada status-status formal lainnya.

Menurut pendapat Muslim (2007: 52) ada beberapa alasan kenapa PNS cenderung ingin menjadi pejabat struktural, yakni:

  1. Eselonering dalam jabatan struktural sangat menarik;
  2. Jabatan struktural menawarkan seseorang untuk menjadi pejabat pimpinan;
  3. Evaluasi pekerjaan dalam jabatan struktural tidak seketat jabatan fungsional;
  4. Tunjangan jabatan struktural jauh lebih tinggi;
  5. Proyek-proyek dapat meningkatkan penghasilan lain yang cukup besar;
  6. Beban kerja ringan.

Namun demikian Muslim (2007: 54-56) menggarisbawahi pula beberapa kelemahan dalam jabatan struktural, antara lain:

  1. Tanggung jawab dibentuk atas dasar loyalitas personal (atasan), bukan atas dasar keahlian;
  2. Hubungan kerja atasan dan bawahan yang terbentuk cenderung bersifat top-down dan patron-client;
  3. Tidak mendukung kreativitas kerja pegawai;
  4. Kecenderungan terjadinya praktek-praktek primordialisme;
  5. Kinerja pegawai tidak dapat diukur secara tepat.

Dalam ilmu manajemen, pejabat adalah manajer dari suatu organisasi. Manajer atau jabatan tersebut kemudian dibagi dalam beberapa jenis yang berdasarkan level otoritas, kewenangan, dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing jabatan yang diemban oleh para manajer atau para pejabat tersebut. Stoner, Freeman, dan Gilbert (dalam Azhari, 2011: 80) membagi pejabat berdasarkan tanggung jawab yang diemban dalam organisasi sebagai berikut:

  1. First Line (First Level) Managers (pejabat/manajer pada level terdepan), yakni manajer/pejabat yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan karyawan/pegawai operasional saja dan tidak memiliki bawahan manajer atau pejabat lain di bawahnya;
  2. Middle Managers (pejabat menengah), yakni mereka yang bertanggungjawab manajer/pejabat di atasnya dan membawahi beberapa manajer/pejabat lini depan;
  3. Top Managers (pejabat pada level puncak), yakni pejabat yang bertanggungjawab pada keseluruhan aktivitas organisasi yang dipimpinnya. Mereka menetapkan kebijakan operasional dan pedoman interaksi organisasi dengan lingkungannya.
   
Berdasarkan karakteristik tersebut maka pembagian pejabat struktural pada pemerintah daerah (kabupaten/kota) adalah sebagai berikut:

  1. Pejabat struktural eselon IV (misalnya kepala sub bagian pada sekretariat daerah, kepala sub bidang pada badan, atau kepala seksi pada dinas) merupakan pejabat level terdepan;
  2. Pejabat struktural eselon III (misalnya kepala bagian pada sekretariat daerah, kepala bidang pada badan atau dinas) merupakan pejabat level menengah;
  3. Pejabat struktural eselon II (misalnya sekretaris daerah, kepala badan, atau kepala dinas) merupakan pejabat pada level puncak.

Dengan demikian dalam tataran daerah (kabupaten/kota), jabatan struktural eselon II merupakan jabatan yang paling strategis karena merupakan puncak karir tertinggi dalam pemerintah daerah maupun pimpinan teratas dalam satker. Jabatan ini terdiri dari eselon IIa yakni sekretaris daerah dan eselon IIb yakni kepala satker (kepala badan, kepala dinas, sekretaris DPRD, direktur RSUD, inspektur) termasuk pula staf ahli dan asisten sekda.

Pemimpin sebagai top manager memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan merupakan pekerjaan manajerial yang berarti memutuskan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukan, siapa yang akan melakukan, dan bilamana akan dilakukan. Dalam hal ini menetapkan sasaran, prioritas, strategi, struktur formal, alokasi sumber daya, penunjukkan tanggung jawab dan pengaturan kegiatan. Tujuannya adalah untuk memastikan pengorganisasian unit kerja yang efisien, koordinasi kegiatan, penggunaan sumber daya secara efisien, serta adaptasi kepada lingkungan yang berubah. Aspek yang paling penting dari kebanyakan bentuk pengambilan keputusan adalah memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber daya di antara berbagai kegiatan sesuai kepentingannya (Sartono, 2004: 97).

Namun dalam prakteknya peran pimpinan dalam birokrasi belum bisa diandalkan. Sartono (2004: 90-92) mencatat terdapat beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi publik pada umumnya, antara lain:

Pertama, pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senantiasa digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan potensi organisasi serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam hal ini kebutuhan masyarakat.

Kedua, pemimpin birokrasi publik senantiasa mengandalkan kewenangan formal yang dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan bawahan. Mereka kurang memahami bawahan yang memiliki perbedaan karakteristik. Dalam kaitan ini, bilamana seorang atasan mengenal karakter bawahannya, maka akan lebih mudah menggerakkan atau memberikan motivasi yang tepat bagi karyawan. Dan dampaknya akan dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja pegawai.

Ketiga, rendahnya kompetensi pemimpin birokrasi publik. Hal ini tidak terlepas dari pola promosi yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang akan diangkat. Dalam birokrasi publik, promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan, dan hasil penilaian kinerja melalui DP3. Sementara dengan indikator-indikator tersebut tidak mampu menginformasikan kinerja pemimpin secara objektif. Hal ini telah menghasilkan mekanisme pengangkatan pimpinan yang kurang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Kompetensi pemimpin tetap rendah sekalipun eselon dan pangkatnya tinggi.

Keempat, rendahnya kemampuan manajerial dalam mengolah sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Kemampuan manajerial sangat diperlukan oleh seorang pemimpin terkait dengan perannya dalam melaksanakan fungsi manajemen.

Kelima, lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi karena tidak adanya transparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh birokrasi. Padahal akuntabilitas ini penting dilakukan agar warga masyarakat dapat memberikan kontrol dan koreksi kepada birokrasi. Sistem akuntabilitas yang dilakukan hanyalah terbatas pada akuntabilitas administratif belaka.




0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)