Dilema Kekuasaan dan Kemanusiaan

Rabu, 31 Mei 2017

Matahari sedang bersinar cerah. Di sebuah rumah bercat putih bergaya kolonial. Pada halaman yang terhampar rerumputan, tanaman hias, dan beberapa pohon palem. Duduk di atas kursi taman, seorang ayah mendekap anak gadisnya, sembari menghadap telaga nan tenang. Dibelainya rambut sang buah hati yang masih berusia dua tahun itu.

“Ayah, ceritakanlah sebuah cerita,” pinta si kecil.

“Ayah akan ceritakan padamu tentang Burma. Saat itu disebut negara emas. Apa kau suka cerita ini?” tanya sang ayah yang berbalut seragam militer.

“Ya!”

“Itulah salah satu negara yang indah, Burma. Di mana-mana ada hutan jati dan kayu hitam. Pada saat itu harimau berkeliaran di hutan. Dan, kawanan gajah berkeliaran di hamparan luas. Di sana terdapat batu safir sebiru langit. Bahkan batu ruby lebih merah dari pipimu. Perhiasan yang bahkan putri sepertimu tidak pernah membayangkan. “

“Lalu?”

“Kenyataannya, ini menjadi cerita sedih. Tentara telah datang dari negeri yang jauh. Dan mengambil semua yang paling berharga. Membuat kita menjadi sangat miskin.”

Koin Keadilan

Rabu, 24 Mei 2017

“Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila Anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan titel internasional, karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan …”

Penggalan uraian di atas merupakan curahan hati seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih kecil. Hampir 2.000 kata ia tuliskan, lalu ia kirimkan melalui surat elektronik kepada beberapa teman. Ia merasa kesal dengan buruknya pelayanan sebuah rumah sakit swasta. Ia ceritakan kronologi kejadian, mulai saat dirawat, kesalahan diagnosis, dan kondisi kesehatan yang semakin buruk.  “Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan, malah mempermainkan, sungguh mengecewakan”, tulisnya.

Sontak, surat elektroniknya  menyebar luas tak terkendali, seperti  ke beberapa milis dan forum diskusi online. Cerita itu menjadi bahan perbincangan dan perhatian publik. Prita Mulyasari, ibu muda itu, tak menyangka jika keluhan dan curahan hatinya berujung ke ranah hukum. Merasa dicemarkan nama baiknya, pada 5 September 2008 pihak rumah sakit melaporkannya ke polisi. Berikutnya, pada 24 September 2008 ditambah dengan menggugat secara perdata. Berselang delapan bulan kemudian pengadilan memutus perkara perdata Prita. Dalam putusannya, Majelis Hakim memutus Prita terbukti melakukan tindakan melawan hukum dan menghukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp314.268.360,00

Atas putusan tersebut, Prita mengajukan banding. Sayang, upayanya pupus. Sekali lagi Prita kalah. Ia tetap diwajibkan membayar ganti rugi kepada rumah sakit. Putusan pengadilan ini memantik simpati masyarakat. Publik terheran-heran, kenapa hukum tak berpihak kepada seseorang yang mengeluh atas buruknya pelayanan sebuah lembaga. Kebebasan berpendapat menjadi (seolah-olah) terpasung. Maka, lahirlah gerakan Koin Peduli Prita, yang mengajak masyarakat khususnya para pengguna internet mengumpulkan uang koin untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari. Hasilnya, lebih dari 6 ton koin terkumpul.

Korban Jiwa

Rabu, 17 Mei 2017

Seorang pemerhati masalah sosial, Yulia Kusumaningrum dalam “Agenda Perempuan Atasi Kekerasan” mengatakan di antara jenis kekerasan terhadap perempuan, kasus seksual merupakan yang paling rumit dalam peta derita perempuan. Betapa sulitnya mengurai simpul akar permasalahan dan memecah kebisuan para perempuan korban kasus kekerasan seksual. Kasus seksual telah menjadi puncak dari berbagai kekerasan lain yang dialami wanita, yang korbannya juga mengalami tekanan fisik dan psikologis. Dalam berbagai kasus selalu diikuti trauma.

Menurut data catatan tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dari empat jenis kekerasan di ranah komunitas, kekerasan seksual selalu menempati urutan teratas. Di tahun 2016, misalnya, jumlah kekerasan seksual mencapai 2.270 kasus (74%). Berikutnya secara berurutan adalah kekerasan fisik 490 kasus (16%), kekerasan khusus 229 kasus (7%), dan kekerasan psikis 83 kasus (3%). Di antara kekerasan seksual, perkosaan adalah yang tertinggi yaitu 1.036 kasus (46%), diikuti pencabulan 838 kasus (37%).

Bulan Mei 2016 terjadi peristiwa kekerasan seksual yang mengguncangkan nusantara. Peristiwa yang tragis. Sangat tragis malah. Seperti diberitakan dalam Harian Kompas, seorang perempuan berusia 18 tahun ditemukan tewas mengenaskan di dalam kamar karyawan Polyta Global Mandiri, di Jalan Raya Perancis Pergudangan 8 Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang.

Jenazah korban ditemukan kali pertama sekitar pukul 09.00 WIB. Korban hari itu tidak masuk kerja, sehingga oleh tiga temannya hendak disambangi. Rupanya pintu kamar korban dalam keadaan tergembok dari luar. Karena tidak ada kunci duplikat, tiga kawan korban pun memanggil salah seorang karyawan pria untuk mendobrak pintu. Saat pintu didobrak, mereka mendapati korban terkapar tak bernyawa. Tubuh korban ditutupi tumpukan bantal dan baju.

Martabat Bangsa

Rabu, 10 Mei 2017

“Mongol”, film besutan sutradara Sergei Bodrov dari Rusia ini berkisah tentang pemimpin bangsa Mongolia di abad 12, Jenghis Khan. Digambarkan, saat itu Mongol bukanlah kerajaan besar namun hanyalah kumpulan suku yang terpecah-pecah. Bukan hal yang mudah untuk mempersatukan ratusan suku yang cenderung saling bermusuhan. Temujin, nama muda Jenghis Khan, bercita-cita menyatukan mereka. Temujin adalah anak sulung Eisugei, kepala suku Kiyad. Namanya diberikan sang ayah dari nama musuh yang dibunuhnya.

Temujin masih bocah kecil saat bersama sang ayah menemui suku Merkit. Temujin disuruh memilih jodoh yang akan dinikahinya kelak di kemudian hari. Borte, si gadis kecil, menjadi pilihannya. Lalu pulanglah Temujin dan sang ayah. Dalam perjalanan pulang tersebut, Eisugei menemui ajalnya diracun musuh. Inilah titik balik kehidupan Temujin. Sepeninggal sang ayah, suku-suku musuh berani mengganggu hingga mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi Temujin dan keluarganya. Kehidupan yang keras ini menempa Temujin menjadi pribadi yang tangguh.

Suatu saat, Temujin kecil  hampir saja mati jika tidak ditolong oleh Jamukha, anak suku lain. Mereka berdua menjadi bersaudara. Kelak mereka berdua bahu-membahu dalam menghadapi musuh, namun pada akhirnya saling berhadapan dalam peperangan. Selama hidupnya Temujin terus dikejar musuh. Seringkali tertangkap, tapi selalu selamat berkat bantuan orang-orang yang pernah setia kepada ayahnya. Borte, yang ditemuinya di masa kanak-kanak alhasil menjadi istrinya. Bersamanya ia hadapi suka dan duka. Pelan namun pasti, Temujin membentuk tentara dan berhasil memperkuatnya. Di bawah naungannya bangsa Mongol digdaya.

Tentara Mongol merupakan salah satu kisah keberhasilan gemilang sejarah militer dunia, tulis Stephen Tumbull dalam “Mongol Warrior 1200-1350”. Di dalam buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Laskar Mongol” ini, dijelaskan bahwa di bawah kepemimpinan Jenghis Khan dan para penerusnya, tentara Mongol menaklukkan sebagian besar dunia. Mereka bertarung di padang rumput beku di Rusia, di padang belantara Palestina, di rimba pulau Jawa, dan sungai-sungai besar Tiongkok. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, baik Eropa maupun Asia terancam oleh musuh yang sama.

Olok-olok Orangutan

Rabu, 03 Mei 2017

Di tajuk hutan hujan Sumatra, tulis Mel White dalam National Geographic Indonesia, mawas jantan besar yang dinamai Sitogos melompat ke sebatang punggu, dan dengan menggunakan seluruh bobotnya yang 90 kilogram, mengoyang-goyangnya sampai pangkalnya berderak patah. Lalu Sitogos melompat ke dahan di dekatnya, sementara punggur itu berdebam keras.  Orangutan sering melakukan hal ini saat marah. Dengan merentangkan kedua tangan yang mencapai dua meter, Sitogos berayun di atas hutan.

Seekor betina muda, Tiur, mengikuti setiap gerakannya, mendekat setiap kali Sitogos berhenti. Betina yang lebih kecil dan lebih lemah itu terus mengekor ke sana kemari, kendati sang jantan tampaknya acuh tak acuh. Keduanya berbaring di satu dahan. Baru-baru ini, Sitogos mengalami perubahan luar biasa. Selama bertahun-tahun sebelumnya, perawakannya tidak jauh berbeda dengan Tiur. Kemudian, saat testosteron memenuhi tubuhnya, ototnya bertambah besar, bulunya bertambah panjang, dan tumbuh bantalan pipi serta kantong suara besar yang memperkuat teriakannya. Kini Sitogos menikmati kesenangan di atas tajuk hutan, karena adanya perhatian setia Tiur dan peluang untuk kawin.

Dari referensi Wikipedia disebutkan, orangutan adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau cokelat, yang hidup di hutan tropika. Mereka memiliki tubuh yang gemuk, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor. Hewan yang memiliki nama lain mawas ini memiliki tinggi badan sekitar 1,25-1,5 meter. Istilah orangutan sendiri diambil dari kata dalam bahasa Melayu, yaitu orang yang berarti manusia dan utan yang berarti hutan.

Yang unik adalah orangutan memiliki kekerabatan dekat dengan manusia, di mana orangutan memiliki tingkat kesamaan DNA sebesar 96.4%. Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai empat jari-jari panjang ditambah satu ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia.

Catatan Kelam Amerika

Rabu, 26 April 2017

Suatu hari yang mencekam. Para pengendara motor dihadang kerumunan massa, tak ayal tubuhnya pun dipukuli. Di bagian lain, mobil-mobil dibalik dan dibakar. Saat itu, kalender menunjuk akhir bulan. Tanggal 29 April 1992 tepatnya. Kota Los Angeles, Amerika Serikat, membara. Gubernur negara bagian California, Pete Wilson, menyatakan status keadaan darurat di wilayahnya. Dalam pernyataan singkat di televisi, Presiden AS meminta perusakan dan pembunuhan di jalanan kota harus dihentikan.

Cerita bermula pada setahun sebelumnya. Adalah seorang pemuda berkulit hitam, Rodney King. Kendaraannya dihentikan oleh polisi. Entah musabab apa, Rodney King dipukuli dan ditendang oleh para polisi. Fatalnya, ada kameramen amatir yang merekam adegan tadi. Rekaman berdurasi 81 detik ini pun kemudian jatuh di tangan jaringan televisi. Bisa ditebak, jutaan pasang mata menontonnya. Para polisi, yang berkulit putih itu, dicap melakukan kebrutalan rasis.

Sidang digelar. Empat polisi berdalih membela diri. Mereka mengklaim King agresif dan menolak penangkapan. Dan, inilah yang membuat warga kulit hitam mendidih: keputusan juri pengadilan membebaskan para polisi. Massa yang marah berteriak, "Bersalah! Bersalah!" dan mencoba menyerang kantor pusat kepolisian di kawasan bisnis, sebelum membakar pertokoan dan kendaraan. Sedikitnya lima orang ditembak mati. Kemarahan warga kulit hitam diakibatkan ketidakadilan yang sering mereka alami. Mereka mengalami diskriminasi. Peristiwa King hanyalah pemantik.

Perlakuan diskriminasi pernah dialami oleh Jesse Owens, pahlawan atletik Amerika Serikat dalam Olimpiade Berlin tahun 1936. Empat medali emas diraihnya, masing-masing dalam ajang lari 100 meter, lari 200 meter, lari estafet 4x100 meter, dan lompat jauh. Raihan itu seakan menampar tuan rumah, Jerman, yang mengagungkan kedigdayaan ras Arya. Apalagi Owens adalah atlet berkulit hitam. Di hadapan Adolf Hitler, dengan kekuatannya, ia sanggup berdiri setara bahkan mengalahkan ras Arya dan kulit putih. Konon, Hitler menolak menjabat tangannya.

Anak-anak Korban Perang

Rabu, 19 April 2017

Thomas Buergenthal belum genap berusia enam tahun ketika dipaksa masuk ke permukiman Yahudi di Polandia bersama kedua orang tuanya. Kakek dan neneknya, bersama mereka yang lanjut usia dan menderita sakit, telah ditembak mati tentara Jerman. Empat tahun berselang, Thomas dan orang tuanya dipindah ke Auschwitz.  “Usiaku sepuluh tahun di pagi bermatahari itu, di hari-hari pertama bulan Agustus 1944, ketika kereta kami semakin mendekati daerah pinggiran kamp konsentrasi di Auschwitz”, tuturnya dalam buku “A Lucky Child”.

“A Lucky Child” adalah memoar yang ditulis oleh Thomas. Ia menceritakan masa anak-anaknya saat berlangsung Perang Dunia Kedua. Ia merasakan sendiri pedih dan perihnya peperangan yang sangat kejam. Mundek Buergenthal, ayah Thomas, pindah dari Jerman ke Slovakia untuk membuka sebuah hotel kecil di Lubochna bersama rekan kerjanya. Sementara ibu Thomas adalah Gerda Silbergleit. Thomas memanggilnya Mutti. Pada akhir 1938 atau awal 1939 hotel milik ayahnya diambil alih secara paksa oleh Hlinka Guard, kelompok fasis Slovakia yang didukung oleh Nazi Jerman. Keluarga kecil ini pun berpindah-pindah tempat, bahkan negara, sampai akhirnya tertawan oleh tentara Jerman. 

Awalnya Thomas dipisahkan dari ibunya, dan akhirnya juga ayahnya. Setiap tahanan harus menjalani kerja paksa. Selain itu, para tahanan di Auschwitz menghadapi terornya sendiri setiap hari, mulai dari siksaan dari Kapo (sesama tahanan Yahudi yang berpihak pada Gestapo, polisi khusus Jerman), penghitungan harian yang dibarengi pemukulan dan hukuman gantung, hingga seleksi maut Dokter Mengele. Mereka yang tidak lolos seleksi akan dibawa ke kamar gas dan krematorium untuk dihabisi.

Thomas dibawa ke kamp rumah sakit Krankenlager. Thomas selalu terbangun dari tidurnya karena teriakan minta tolong dari para tahanan yang dibawa ke krematorium. Ia juga menjadi takut tidur karena selalu bermimpi dirinya dipukuli atau dihukum mati. Thomas lalu mengatasinya dengan meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi hanya mimpi buruk. Suatu ketika seluruh penghuni kamp dibawa untuk dibantai, tetapi Thomas selamat dari maut berkat pertolongan seorang dokter muda Polandia. Hingga akhir perang dan dibebaskan, ia tak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Sedangkan ibunya masih hidup. Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa lagi.

Gratifi Perempuan

Rabu, 12 April 2017

Karla Jacinto, baru berusia 12 tahun saat dia ditipu untuk menjadi pekerja prostitusi cilik di Meksiko. Dia mengaku telah diperkosa oleh lelaki hidung belang sebanyak 43.200 kali ketika empat tahun terjerembab di lembah hitam. Itu hitungan kasar Karla saat diwawancara CNN. Seingat dia, setiap hari ada sekitar 30 lelaki yang terpaksa harus dia layani, tujuh hari sepekan, selama empat tahun, maka keluarlah angka 43.200 kali.

Karla diambil dari Zacatelco, sebuah permukiman kecil di Tenancingo. Dia mengatakan, keluarganya bermasalah. Ibunya tidak memedulikannya, dan dia telah menjadi korban pelecehan seksual sejak usia lima tahun oleh kerabatnya sendiri. Saat dia berusia 12 tahun, dia termakan bujuk rayu seorang pria yang 10 tahun lebih dua dari dirinya. Saat itu, kata dia, pria itu mengiminginya dengan mobil besar dan kehidupan yang lebih baik.

Namun kebahagiaan itu ternyata semu. Karla dikirim ke Guadalajara, kota terbesar di Meksiko, untuk menjadi pelacur cilik bersama korban lainnya. Dia mulai bekerja pukul 10 pagi, selesai tengah malam. Seminggu dia berada di kota itu sebelum dipindahkan ke kota-kota lainnya di Meksiko. Karla berpindah ke beberapa kota. Dia ditempatkan di rumah-rumah bordil, motel pinggir jalan, dan menjadi pekerja seks panggilan yang biasa mangkal di trotoar.

Suatu hari, polisi pernah menggerebek hotel tempatnya bekerja. Karla berpikir ini adalah hari baik karena dia akan diselamatkan oleh petugas. Tapi pikiran itu salah. Polisi malah mengambil video anak-anak itu dengan posisi cabul, mengancam akan menyebarkannya ke keluarga mereka jika Karla dan kawan-kawannya tidak menurut. Padahal saat itu Karla baru berusia 13 tahun. Di usia 15 tahun, Karla hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Mucikarinya menjadikan bayi ini sebagai ancaman. Jika Karla berani berulah atau kabur, bayi itu akan dibunuh. Karla tidak bisa menemui bayinya hingga berusia satu tahun.

Perlukah Impor Hakim?

Rabu, 05 April 2017

Seorang perempuan diculik. Setelah dicari ke mana-mana, ia ditemukan oleh ayah dan saudaranya di sebuah bangunan kosong dalam keadaan tak bernyawa. Saat itu di dekatnya ada seorang tua. Kontan saja, sang ayah menuduh orang tua tersebut sebagai pembunuh anaknya. Dipenjaralah orang tua itu dan diajukan ke pengadilan. Si orang tua bukanlah pembunuh sebenarnya. Bahkan ia bermaksud menolong perempuan yang akan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda. Beruntunglah, sang hakim memutuskan perkara dengan adil.Sang hakim dalam persidangan tersebut tak lain adalah Bao Zheng.

Kisah di atas adalah salah satu episode dari film seri “Justice Bao”. Film tersebut pernah meraih kesuksesan di Asia. Pada tahun 1990-an stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan film ini. Pemirsa menyambut hangat apalagi film disalin suara ke dalam bahasa Indonesia. Meski hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Film ini sarat dengan nilai tradisional Tiongkok seperti sikap hormat kepada sesama manusia, rasa berbhakti kepada orang tua, dan kesetiaan kepada negara.

Sesungguhnya, sosok hakim Bao benar adanya. Bao Zheng lahir di Luzhou pada tahun 999 dan meninggal pada tahun 1062. Kehidupannya sederhana dan banyak bergaul dengan rakyat jelata. Ia membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui jabatan hakim. Selain sebagai hakim, ia juga negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap.

Sejarah mencatat bahwa selama tugasnya ia telah memecat atau menurunkan pangkat puluhan pejabat tinggi termasuk beberapa menteri atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Beruntung, Hakim Bao mendapatkan dukungan dari kaisar. Nama Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok. Kisah hidupnya melegenda.

Video Fauzan dan kawan-kawan

Sabtu, 11 Maret 2017

Mafia Hukum

Selasa, 07 Februari 2017

Pengunjung sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Jawa Timur menggeleng-gelengkan kepala saat mendengarkan cerita miris Abdul Manaf. Seperti dimuat dalam Jawa Pos, 7 Februari 2017, persidangan tersebut dihelat untuk mengungkap kasus penyuapan antara Manaf dan Ahmad Fauzi. Manaf menolak disebut sebagai penyuap, karena ia merasa sebagai korban dari Fauzi. Ia memberikan uang sejumlah Rp 1,5 miliar karena diperas. Malah awalnya Fauzi meminta Rp 2 miliar. Fauzi merupakan seorang jaksa yang bertugas di Kejati Jatim.

Cerita bermula saat Manaf menjadi saksi dalam kasus penjualan tanah kas desa Kalimook, Kalianget, Sumenep, di Kejati Jatim. Tersangkanya adalah Kades Kalimook Murhaimin dan Pejabat BPN Wahyu Sudjoko. Dalam pemeriksaan sebagai saksi, Jaksa Fauzi menanyakan adanya transfer Rp 100 juta kepada Wahyu Sudjoko. Manaf membenarkan adanya transfer itu dan menjelaskan bahwa uang tersebut digunakan untuk biaya pengurusan sertifikat tanah yang dibelinya.

Jaksa Fauzi meminta bukti transfer itu dibawa ke Kejati Jatim. Manaf pun menuruti keinginan Jaksa Fauzi dengan harapan permasalahan klir. Tetapi, harapannya tidak menjadi kenyataan. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika memberikan bukti itu kepada Jaksa Fauzi, Manaf malah dituduh telah membantu kejahatan Kades Kalimook Murhaimin. Manaf diancam dan ditakut-takuti akan dijadikan tersangka pula.

Manaf memberikan penjelasan sembari menunjukkan bukti kuitansi resmi yang berstempel Kantor BPN Sumenep. Dalam selembar kertas itu, tertulis bahwa duit tersebut memang digunakan untuk memproses sertifikat. Namun, bukti itu tetap diabaikan dan Jaksa Fauzi menyatakan bahwa jaksa penyidiklah yang paling benar. Manaf tidak menyangka bukti yang diberikan malah digunakan untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan memeras dirinya. “Saya sangat takut enggak karu-karuan. Stres, nangis. Istri saya juga ikut menangis dan stres. Saya tidak bisa tidur beberapa hari karena takut masuk penjara,” terangnya.

Pelajar Lalu, Pelajar Kini

Kamis, 02 Februari 2017

Usianya sudah senja. Rambut memutih di sekujur kepala. Tertatih-tatih bila melangkah. Namun semangat baja tak pernah padam jikalau lidah bercerita. Ingatan tentang masa lalu, saat muda usia, tak lekang oleh jaman. Wasono, lebih dari pantas jika disebut eyang. Cerita heroiknya bisa kita saksikan di media youtube, juga dibaca di blog. Kisah yang tak tercatat dalam buku sejarah. Saat ibu pertiwi berusaha mempertahankan kemerdekaan dari agresi penjajah, segenab rakyat di mana-mana turut berkorban, ia salah satunya. Wasono muda saat itu baru berusia 15 tahun. Jika sekarang mungkin sepantaran dengan remaja yang baru duduk di bangku SMP kelas 3. Merasa terpanggil, ia bergabung dengan Tentara Pelajar. Ditinggalkannya bangku sekolah, memanggul senjata, bertaruh nyawa.

Meskipun bukan pasukan reguler atau profesional, Tentara Pelajar menyusun organisasinya dengan rapi. Ada komandan. Ada pangkat militer. Ada wilayah operasi. Jika tidak sedang berperang, mereka kembali menekuni pelajaran. Wasono, bergabung dalam Seksi 2 Kompi 3 di bawah pimpinan Jungkung Murdiyo. Nama terakhir ini berpangkat Letnan. Setelah penyerbuan tentara Belanda ke kota Solo, Wasono dan kawan-kawan menyingkir ke luar kota. Perjuangannya mewujud dalam perang gerilya.

Salah satu petualangan Jungkung Murdiyo, Wasono, dan kawan-kawannya adalah penyerbuan pos Belanda di dekat jembatan Kali Cungkring untuk merebut senjata. Dengan menyamar sebagai petani dan menaiki andong (kendaraan tradisional yang ditarik dengan kuda) mereka berhasil menuntaskan misi. Satu regu jaga tentara Belanda berhasil dilumpuhkan kecuali seorang yang berhasil lolos dari maut, sinyo yang juga sama-sama belia. Konon kabarnya sinyo yang berhasil kabur tersebut akhirnya terkena gangguan jiwa berat. Ia pun dipulangkan ke negeri asalnya, Belanda.

Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja”, sedikit menceritakan petualangan lain dari pasukan Jungkung Murdiyo. Saat membuat kubu pertahanan kota Solo dari serbuan tentara Belanda, ternyata pasukan Murdiyo salah kira. Jalan masuk ke kota terdiri dari 2 jalan besar, baru dan lama. Anggapan anak-anak muda itu musuh menyerang melalui jalan baru saja. Justru kedua jalan menjadi pilihan pintu masuk tentara Belanda. Alhasil pasukan Murdiyo dihajar habis-habisan dari dua sisi. Apalagi dari udara, pesawat memuntahkan peluru mencari sasaran. Tentara pelajar pun memilih mundur.

Kado Awal Tahun

Selasa, 31 Januari 2017

Di awal tahun, adakah hal yang lebih istimewa bagi rakyat Indonesia selain mendapatkan kado dari pemerintah? Kado istimewa tersebut adalah penurunan harga. Mulai harga BBM, tarif listrik, biaya mengurus STNK dan BPKB, hingga harga cabai. Semua turun bertubi-tubi, seperti air yang turun dari langit saat hujan deras. Pada sisi yang lain, tingkat pendapatan masyarakat secara nyata menunjukkan kenaikan. Beban yang dipikul masyarakat pun menjadi kian ringan. Apalagi ditopang dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang semakin kuat.

Pemerintah yang benar-benar pro rakyat, seperti yang selama ini didengung-dengungkan di berbagai media dan pidato pejabat. Masyarakat pun senang dan bersyukur. Sebab, penurunan tarif listrik, biaya STNK, dan harga BBM tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah. Misalnya tarif listrik. Biaya setrum yang biasanya naik untuk sebagian masyarakat yang dinilai tidak layak menerima subsidi, kini turun untuk semua golongan. Lalu, biaya STNK dan BPKB yang menjadi salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak (PNPB), ikut diturunkan.

Yang super fantastis adalah soal harga cabai, yang selama ini sering menjadi persoalan di negeri yang dikenal subur ini. Dulu seringkali kenaikan harga cabai terjadi secara fantastis. Biasanya jajaran pemerintah menjadikan faktor cuaca dan distribusi sebagai penyebab kenaikan harga cabai. Kini tak lagi. Musim hujan ternyata tidak membuat panen cabai di sejumlah daerah gagal. Suplai pun tidak lagi berkurang. Faktor cuaca juga tidak menghambat distribusi cabai dari sentra produksi ke daerah lain. Pemerintah sekarang memang hebat dengan kebijakannya, sehingga tidak ada lagi kenaikan harga cabai secara gila-gilaan.

Pemerintah berhasil mengatasi persoalan, hal yang selalu menjadi problem kenaikan harga di era sebelumnya secara berulang-ulang. Pemerintah kini memiliki solusi yang komprehensif sehingga problem yang sama tidak terjadi setiap tahun. Nah, di sinilah begitu hebatnya leadership sang pemimpin dalam menyelesaikan problem pasokan pangan yang kerap terjadi di masa lalu. Masa lalu yang suram, kini berubah ke arah yang gilang-gemilang.

Terpidana Malang

Selasa, 17 Januari 2017

Malang nian nasib pemuda yang satu ini. Hugjiltu alias Qoysiletu, telah dieksekusi mati dalam kasus pembunuhan dan perkosaan pada tahun 1996. Saat itu Hugjiltu berusia 18 tahun. Namun, pada tanggal 15 Desember 2014, Pengadilan Kota Hohhot, Wilayah Otonomi Mongolia Dalam di Tiongkok Utara, menyatakan pemuda itu terbukti tidak bersalah. Demikian diberitakan dalam media massa Jawa Pos.

Hugjiltu didakwa bersalah membunuh dan memerkosa seorang perempuan di toilet sebuah pabrik tekstil. Dia dieksekusi mati 61 hari setelah kematian sang perempuan. Kasus itu tak berhenti. Keluarga Hugjiltu yang yakin anaknya tak bersalah terus berjuang mengungkap keadilan. Apalagi, pada tahun 2005, seorang pria mengaku sebagai pembunuh yang sebenarnya. Pengadilan Tinggi pun kembali membuka kasus tersebut. Kepolisian setempat pun bersedia melakukan penyelidikan ulang.

Dari sana terungkaplah bahwa pengakuan Hugjiltu tidak klop dengan laporan autopsi. Bukti-bukti lainnya pun tidak bisa mengaitkan Hugjiltu secara langsung. Pengadilan Tinggi Mongolia menemukan bahwa vonis yang telah dijatuhkan terhadap Hugjiltu tidak sesuai dengan fakta-fakta. Bukti-bukti yang tersedia juga tidak cukup. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Hugjiltu tidak bersalah. Disebutkan juga, wakil ketua pengadilan setempat, Zhao Jianping memberikan kompensasi kepada orang tua Hugjiltu sebesar 30.000 yuan. Zhao mengatakan, uang tersebut adalah sumbangan pribadi ketua pengadilan, Hu Yifeng. Namun nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Nyawa Hugjiltu tak mungkin dikembalikan.

Kasus di Tiongkok tersebut terjadi juga di Amerika Serikat. Media asing, Brisbane Times terbitan 12 November 2010 pernah memberitakan kisah tragis seorang pria Amerika Serikat  terpidana mati. Claude Howard Jones, pria asal Texas dieksekusi mati di usianya yang ke-60 pada hari Kamis 7 Desember 2000. Jones yang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager dalam sebuah perampokan toko minuman keras. Namun Jones bersikukuh, pada saat kejadian ia menunggu di dalam mobil saat rekannya merampok dan menembak korban tiga kali di luar kota Point Blank. Ia dinyatakan bersalah dalam pembunuhan di tahun 1989 itu dan upaya bandingnya menemui kegagalan, atas dasar sehelai rambut yang ditemukan polisi di tempat kejadian perkara.

Vonis Salah

Selasa, 10 Januari 2017

Serupa dengan pertunjukan ketoprak, ludruk, wayang, dan lain-lain kesenian tradisional. Atau paduan suara, band, sirkus, dan lain-lain pertunjukan yang muncul dan marak kemudian. Film adalah salah satu jenis pertunjukan populer di tengah-tengah masyarakat. Sifatnya menghibur. Jaman dulu film hanya diputar di sebuah gedung tertutup dengan layar lebar di hadapan penonton. Orang menamakannya bioskop. Hanya kalangan tertentu yang bisa menikmatinya. Selanjutnya film pun diputar tak hanya di gedung bioskop, namun di lapangan. Makanya kita mengenalnya dengan Bioskop Misbar, jika gerimis filmnya bubar, karena penonton beratapkan langit. Keunggulan misbar adalah sifatnya yang mobile. Ia bisa pindah ke lain tempat. Pindah ke lain lapangan. Juga pindah ke lain hati. Eh …

Era kejayaan bioskop mulai redup dengan bermunculnya persewaan kaset. Orang cukup menyewa kaset di tempat rental lalu menontonnya di rumah bersama keluarga dengan alat pemutar elektronik. Era itu pun juga redup dengan bermunculnya stasiun televisi yang menayangkan beragam film. Tak perlu mengeluarkan uang. Namun kita tak bisa memilih film apa yang hendak kita tonton. Karena harus menyesuaikan dengan jadwal siaran televisi. Namun era kekinian, dengan internet, menonton film menjadi lebih mudah. Juga murah. Dan bisa di mana saja. Kita bisa memilih jenis film yang kita sukai. Ada genre komedi, perang, horor, kartun, misteri. Juga film dengan latar belakang dari berbagai negara.

Beberapa waktu lalu saya menonton film yang menyangkut mistaken conviction. Film yang mengisahkan seseorang yang divonis bersalah melakukan kejahatan. Padahal orang tersebut bukanlah pelaku sebenarnya. Dan tragisnya, hukuman yang diterimanya adalah hukuman mati. Yang pertama adalah “True Crime”, dirilis tahun 1999 dan dibintangi oleh Clint Eastwood. Eastwood selain sebagai pemain juga sekaligus sutradaranya. “True Crime” bercerita tentang Steve Everett, wartawan media cetak yang kecanduan dengan alkohol. Sebagai seorang alkoholik, Everett yang sebenarnya berbakat sulit mendapatkan kepercayaan dari atasannya, karena dikhawatirkan tulisannya tidak obyektif.

Namun lama-kelamaan ia pun sadar bahwa hidup harus terus berjalan. Kebiasaan minum-minuman keras pun ia tinggalkan. Berpaling dari alkohol buah manis yang didapatkan. Everett mendapatkan kepercayaan untuk menulis sebuah kasus pembunuhan yang melibatkan Frank Beechum. Sebenarnya tugas menulis kasus tersebut diberikan kepada rekan perempuan Everett namun sebuah kecelakaan mobil membuat rekannya mati. Kesempatan besar pun dimanfaatkan sekali oleh Everett untuk melanjutkan investigasi jurnalistik.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)