Terpidana Malang

Selasa, 17 Januari 2017

Malang nian nasib pemuda yang satu ini. Hugjiltu alias Qoysiletu, telah dieksekusi mati dalam kasus pembunuhan dan perkosaan pada tahun 1996. Saat itu Hugjiltu berusia 18 tahun. Namun, pada tanggal 15 Desember 2014, Pengadilan Kota Hohhot, Wilayah Otonomi Mongolia Dalam di Tiongkok Utara, menyatakan pemuda itu terbukti tidak bersalah. Demikian diberitakan dalam media massa Jawa Pos.

Hugjiltu didakwa bersalah membunuh dan memerkosa seorang perempuan di toilet sebuah pabrik tekstil. Dia dieksekusi mati 61 hari setelah kematian sang perempuan. Kasus itu tak berhenti. Keluarga Hugjiltu yang yakin anaknya tak bersalah terus berjuang mengungkap keadilan. Apalagi, pada tahun 2005, seorang pria mengaku sebagai pembunuh yang sebenarnya. Pengadilan Tinggi pun kembali membuka kasus tersebut. Kepolisian setempat pun bersedia melakukan penyelidikan ulang.

Dari sana terungkaplah bahwa pengakuan Hugjiltu tidak klop dengan laporan autopsi. Bukti-bukti lainnya pun tidak bisa mengaitkan Hugjiltu secara langsung. Pengadilan Tinggi Mongolia menemukan bahwa vonis yang telah dijatuhkan terhadap Hugjiltu tidak sesuai dengan fakta-fakta. Bukti-bukti yang tersedia juga tidak cukup. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Hugjiltu tidak bersalah. Disebutkan juga, wakil ketua pengadilan setempat, Zhao Jianping memberikan kompensasi kepada orang tua Hugjiltu sebesar 30.000 yuan. Zhao mengatakan, uang tersebut adalah sumbangan pribadi ketua pengadilan, Hu Yifeng. Namun nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Nyawa Hugjiltu tak mungkin dikembalikan.

Kasus di Tiongkok tersebut terjadi juga di Amerika Serikat. Media asing, Brisbane Times terbitan 12 November 2010 pernah memberitakan kisah tragis seorang pria Amerika Serikat  terpidana mati. Claude Howard Jones, pria asal Texas dieksekusi mati di usianya yang ke-60 pada hari Kamis 7 Desember 2000. Jones yang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager dalam sebuah perampokan toko minuman keras. Namun Jones bersikukuh, pada saat kejadian ia menunggu di dalam mobil saat rekannya merampok dan menembak korban tiga kali di luar kota Point Blank. Ia dinyatakan bersalah dalam pembunuhan di tahun 1989 itu dan upaya bandingnya menemui kegagalan, atas dasar sehelai rambut yang ditemukan polisi di tempat kejadian perkara.


Sepuluh tahun kemudian, kasusnya kembali mengemuka gara-gara hasil tes DNA pada sehelai rambut. Tes yang dilakukan Mitotyping Technologies yang dipublikasikan majalah Observer Texas  membuktikan bahwa Claude Jones bukanlah pemilik rambut tersebut. Apa hubungan sehelai rambut dengan kasus Jones? Ilmu forensik saat itu terbatas, hanya bisa menyelidiki rambut itu di bawah mikroskop dan rambut itu memang terlihat seperti rambut Jones. Belakangan, analisis di bawah mikroskop dikesampingkan berkat perkembangan uji DNA. Saat menunggu hari-hari terakhirnya, Jones meminta dilakukan tes DNA dan meminta eksekusi ditunda sampai uji DNA dihasilkan. Namun, permintaannya ditolak Gubernur Texas saat itu, George W. Bush.

Dokumen yang diperoleh Observer Texas dan Proyek Innocence menunjukkan bahwa pengacara di kantor gubernur gagal untuk memberitahu Bush bahwa bukti DNA bisa membebaskan Jones. Sebab, Bush adalah pendukung dilakukannya tes DNA dalam kasus-kasus yang bermuara pada hukuman mati. Meski ini bukan bukti kuat untuk membuktikan Jones tak bersalah, “tapi rambut adalah satu-satunya bukti yang menghubungkan Jones di TKP. Ini menimbulkan keraguan serius tentang kesalahannya,” demikian ditulis Observer.

Pada artikel di portal Unisosdem yang saya baca menyebutkan, di dunia barat, kesalahan vonis mendapatkan sorotan kritis, bahkan sejak puluhan tahun lalu. Pada tahun 1970-an, misalnya, kesalahan pemenjaraan kadang begitu fatal sampai ada kesan bahwa faktor dominan atas kebenaran suatu keputusan adalah sikap penghargaan terhadap hukum dan penegak hukum sendiri. Ini dapat disimak dari berbagai kasus di Inggris dan di Amerika Serikat. Peradilan terhadap Stevie Morrison di Inggris tahun 1921 sering menjadi contoh klasik dari kesalahan keputusan. Morrison dituduh merampok dan membunuh hingga dijatuhi hukuman mati. Untung putusan itu sempat ditangguhkan. Pengacaranya kemudian bisa membuktikan bahwa pelakunya orang lain sehingga Morrison, yang kebetulan pernah menjadi pencopet, dibebaskan.

Di AS, kesalahan memenjarakan orang yang tidak bersalah (wrongful imprisonment) malah lebih parah. Dari studi yang dilakukan Edwin M. Borchard, Edward D. Radin, dan Jerome Frank pada tahun 1920 atas 200 vonis yang salah, ternyata hampir separuhnya fatal. Sebanyak 64 vonis di antaranya telah menghukum terdakwanya dengan penjara seumur hidup dan 18 lainnya dihukum penjara 20 tahun ke atas. Malah ada 16 orang yang sempat dijatuhi hukuman mati. Ternyata semuanya merupakan keputusan yang salah sehingga setelah diadili ulang hakim membebaskan terdakwa. Yang dihukum mati juga dibebaskan sebelum sempat dieksekusi.

Bagaimana di Indonesia? Dulu, saat saya masih kuliah di Fakultas Hukum ada cerita menarik namun sekaligus memilukan. Benar-benar terjadi. Sebuah kisah nyata anak manusia yang ada di muka bumi Pancasila ini. Ironis. Kejam. Tak berkemanusiaan. Saya dan kawan-kawan hanya bisa berguman, sebagian ada yang mengumpat. Sang dosen yang bercerita pun berharap kami para mahasiswanya, mahasiswa Fakultas Hukum di kampus tertua negeri ini, tetap menjaga moral. Ilmu dan pengetahuan barangkali telah berpunya, namun moral juga amatlah penting. Dunia hukum tidaklah lempang.

Cerita di bangku kuliah tersebut adalah tentang dua orang bersaudara, Sengkon dan Karta. Berulangkali, dalam mata kuliah Hukum Pidana, cerita ini disentil. Cerita tentang kesalahan tangkap dua orang yang tak melakukan perbuatan pidana. Polisi bergeming, jaksa bergeming, hakim pun bergeming. Kami, para mahasiswa saat itu berharap semoga kasus itu menjadi terakhir terjadi di Indonesia. Namun ternyata dunia ini berputar, pun dengan kisah-kisahnya, terulang lagi. Saat ini di jaman sekarang ini, di jaman reformasi, beberapa kali kasus serupa terulang lagi.

Tahun 1974 terjadi sebuah perampokan dan pembunuhan yang menimpa pasangan suami istri, Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Keduanya duduk di kursi pesakitan. Persidangan di pengadilan pun berjalan.

Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, sedangkan Karta kena hukuman 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti! Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.

Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara.

Demikian pula Sengkon. Ia harus dirawat di rumah sakit karena kondisinya makin parah, sedangkan tanah yang selama ini diandalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.

Sengkon dan Karta mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut. “Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi”, kata Sengkon. Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan Pemilik Keadilan.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)