Geger Foto Syur

Jumat, 30 Maret 2012

Seorang perempuan PNS diberitakan foto syur-nya nampang di facebook. Ini terjadi di sebuah kabupaten tempat Pak Presiden kita dilahirkan. Tak tanggung-tanggung fotonya nangkring di akun sebuah instansi resmi pemerintah daerah. Tak pelak masyarakat geger. Pejabat birokrat pun galau tak terkira. Memalukan, demikian mungkin yang ada dalam benak publik. Ancaman tindakan disiplin pun bakal dijeratkan kepada PNS tersebut.

Di lain pihak sang PNS melapor ke kepolisian. Memang ia mengakui itu adalah foto dirinya namun bukan dia yang mengunggah di internet. Bisa jadi ada orang lain sebagai pelaku karena beberapa saat sebelumnya telepon genggamnya hilang, padahal di sanalah tersimpan file-file gambar itu.
 
Saya masih mereka-reka apa yang akan menjadi landasan bagi pihak instansi setempat saat menyatakan akan memberikan hukuman disiplin bagi PNS yang fotonya terlanjur menyebar di dunia maya melalui jejaring sosial. Mungkin dianggap melanggar sumpah dan janji PNS, mungkin dianggap merendahkan martabat, mungkin dianggap tidak dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, mungkin dianggap mencemarkan nama baik pemerintah, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Sah-sah saja kalau ada pihak yang hendak melakuan pemeriksaaan dengan dugaan adanya indisipliner. Sah juga apabila instansinya memberikan hukuman.

Tapi tunggu sebentar, atur nafas pelan-pelan, fokuskan pikiran. Mari kita pelototi lekuk demi lekuk tubuh perempuan itu ah eh uh, sori maksudnya mari kita perhatikan kasus itu dengan cermat. Ada sesuatu yang mungkin luput dari perhatian masyarakat pada umumnya, dan terutama pada instansi yang berniat menghukum.

Tugas Belajar Khusus

Selasa, 27 Maret 2012

Tugas belajar dan izin belajar sebenarnya hampir sama. Keduanya sama-sama kesempatan yang diberikan kepada PNS untuk menempuh pendidikan formal tertentu. Yang membedakan yang satu tugas, yang satunya lagi adalah izin. Hehehe itu mah nggak memberikan jawaban atuh.

Plis deh. Namanya tugas berarti ada penugasan dari kantor, bisa jadi karena adanya kebutuhan. Sedangkan izin belajar berarti adanya keinginan dari pribadi PNS itu sendiri yang ingin menempuh pendidikan. Singkatnya tugas belajar karena adanya kebutuhan, sedangkan izin belajar karena adanya keinginan. Kebutuhan versus keinginan. Namun dalam prakteknya keduanya tidak berarti vis a vis. Dari keinginan pun lambat laun berubah jadi kebutuhan.

Titik poin dalam tugas belajar adalah adanya jaminan atau bantuan pendidikan (biasanya ditanggung penuh) dari pemerintah atau lembaga lain. Titik poin berikutnya adalah pendidikan itu dilaksanakan dengan meninggalkan tugas. Karena biasanya pula pendidikan diikuti di luar daerah bahkan di luar negeri.

Titik poin dalam izin belajar merupakan kebalikan dari tugas belajar, yakni biaya ditanggung sendiri dan pendidikan dilaksanakan di luar jam dinas. Yang jelas hak untuk memperoleh pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara, pun ketika ia berstatus PNS. Tak ada alasan dan mestinya tak boleh ada halangan, tantangan, ancaman, dan gangguan (istilah P4-nya: HTAG) untuk sekolah atau kuliah bagi PNS, apalagi ini uang sendiri.

Tak Cuma Tukang Ketik

Sabtu, 24 Maret 2012

Awal bekerja di kantor yang mengurusi kepegawaian/personalia saya tidak ingin sekedar menjadi tukang ketik belaka. Biasanya memang seperti itu. Cerita-cerita dari teman dari kantor lain mereka dipekerjakan layaknya usaha rental komputer. Jadi tukang ketik. Saya memang sering mengetik (di komputer) tapi ada yang lebih yang ingin saya lakukan.

Saat itu, atasan saya adalah seorang Kasubid pindahan dari Dinas Pendapatan. Sedangkan Kabidnya seorang ibu pindahan dari Dinas Koperasi. Saya sendiri pindahan dari kantor lain. Perubahan dari Bagian menjadi Badan menjadikan kantor saya membutuhkan tambahan pegawai. Alhasil saat itu di awal berdirinya mayoritas pejabat struktural BKD berasal dari pindahan kantor lain. Demikian juga staf, sebagian diambil dari kantor lain termasuk saya.

Beruntung Pak Kasubid dan Ibu Kabid memberikan kepercayaan kepada para staf untuk membantu tugas yang terhitung lebih ke analisis. Tahun pertama itu saya beberapa kali telah diberi kesempatan membuat telaah. Telaah boi, membuat konsep untuk dijadikan keputusan Kepala Daerah. So, tidak sekedar mengetik oret-oretan atasan menjadi bentuk print-print-an. Mau tak mau referensi harus tersedia. Kalau tidak ada, saya cari sendiri di internet atau beli buku. Kenyataan, di kantor belum tersedia banyak buku. Buku kumpulan peraturan pun terhitung terbitan jaman baheula.

Berbagai aturan terutama berkaitan dengan kepegawaian lahap saya baca. Tapi bacaan yang saya baca itu baru ibarat pedang yang masing terbungkus sarungnya. Saya hanya memiliki pedang yang masing bersarung. Bahkan pedang yang masih berupa aksesori. Tapi saya yakin pasti akan berguna. Suatu saat pedang itu akan menebas leher .... halah... kejam banget. Yo wis lah menebas leher nyamuk yang nakal menggigit bayi saya. Halah malah mubazir.

Mudah Sulitnya Belajar

Rabu, 21 Maret 2012

Seorang PNS yang ingin melanjutkan studi pada pendidikan formal tertentu ”biasanya” diharuskan mendapatkan izin kepada pejabat yang berwenang. Kenapa saya sebutkan ”biasanya”, karena ketentuan tentang hal ini (yakni keharusan izin belajar) bergantung pada masing-masing instansi. Bahkan ada pula instansi yang tak mengaturnya sama sekali.

Regulasi tentang kewajiban izin belajar mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, hingga Keputusan Presiden, sepengetahuan saya belum ada. Akibatnya tidak ada standar baku. Ditunjang dengan semangat otonomi daerah, masing-masing Pemda pun membuat aturan sendiri yang disesuaikan dengan kecocokan daerahnya.

Memang sih ada petunjuk dari pemerintah pusat yaitu berupa Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor SE/18/M.PAN/5/2004 tanggal 24 Mei 2004. Selain itu ada juga petunjuk dari Menteri Dalam Negeri berupa surat Nomor 802/303/SJ tanggal 9 Januari 1990. Surat dari Mendagri ini tentunya jauh sebelum diterapkannya otonomi daerah sebagai imbas reformasi tahun 1998. Pada masa itu Mendagri masih menjadi atasan dari Kepala Daerah sehingga aturannya pun melekat di daerah.

Proses Panjang Birokrasi

Minggu, 18 Maret 2012

PNS yang hendak bercerai diwajibkan memperoleh izin dari pejabat yang berwenang. Kalau di Ngawi pejabat yang berwenang itu adalah Bupati Ngawi dan belum ada pendelegasian wewenang kepada pejabat lain. Baik sebagai penggugat maupun tergugat harus mengantongi surat sebelum adanya putusan dari Pengadilan Agama. Jika PNS tersebut sebagai penggugat maka ia wajib mendapatkan SK izin perceraian. Jika ia sebagai tergugat maka ia wajib memperoleh surat keterangan.

Landasan hukum izin perceraian bagi PNS adalah PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990. PP ini diperjelas lagi secara teknis oleh SE Kepala BAKN Nomor 08/SE/1980 dan 48/SE/1990. Apa sanksi jika PNS tersebut tidak mematuhi ketentuan tentang izin perceraian? Sanksinya adalah salah satu hukuman disiplin tingkat berat.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang PNS untuk mendapatkan izin perceraian dari Bupati? Cukup lama. Sejak ia memberitahukan kepada atasan langsungnya hingga memperoleh keputusan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Pintu birokrasinya memang banyak dan alurnya panjang. Di satu sisi memang terasa menghambat, namun di sisi yang lain ”hambatan” itu memang sengaja dipasang agar PNS tidak mudah bercerai. Allah saja membolehkan perceraian tapi Ia tidak menyukainya kan.
    
Saya gambarkan proses perceraian yang selama ini berjalan di daerah saya. Meskipun saya belum mengalami (dan saya tidak berharap untuk mengalaminya) tapi saya agak tahu. Awalnya PNS memberitahukan maksudnya untuk bercerai lewat instansinya masing-masing secara tertulis. Proses berikutnya adalah pembinaan yaitu upaya merukunkan kembali antara para pihak yakni PNS dengan suami/istrinya. Biasanya ini dimediasi oleh atasan. Proses ini berjalan paling tidak tiga kali dan masing-masing berjarak waktu seminggu. Jika selama tiga kali pembinaan itu tidak ada hasil maka proses berikutnya diserahkan ke BKD.

Standar Ideal PNS

Kamis, 15 Maret 2012

Berapa standar ideal jumlah PNS di negeri ini? Bisakah ditentukan bahwa sekian PNS harus melayani sekian masyarakat? Sulit memang menentukan, karena perhitungannya menggunakan banyak parameter. Selain itu karakteristik jenis jabatan, standar kerja, luas wilayah, jumlah penduduk dalam suatu daerah juga berbeda.

Menurut data BKN Bulan Mei 2011 jumlah PNS seluruh Indonesia adalah 4.708.330. Dengan jumlah itu mereka harus melayani kepentingan 220 juta rakyat. Kendala internal yang terjadi menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah distribusi pegawai belum sesuai dengan kebutuhan organisasi, penempatan pegawai dalam jabatan belum sepenuhnya berdasarkan kompetensi, kinerja PNS rendah dan tidak disiplin, penghasilan belum adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya

Otonomi daerah membawa konsekuensi penyerahan pegawai dari Pemerintah Pusat kepada Daerah termasuk dalam rekrutmen pegawai baru. Daerah juga berlomba-lomba merekrut tenaga honorer yang akhirnya mulai 2005 ratusan ribu di antaranya diangkat menjadi CPNS. Saat ini pun masih menyisakan ribuan lagi yang lain dalam istilah Kategori 1 dan Kategori 2 yang menunggu kebijakan diangkat CPNS. Bisa jadi masih ada ribuan yang non kategori juga berharap sama.

Para pakar berpendapat bahwa jumlah PNS sudah terlalu banyak, padahal pada sisi yang lain ditengarai banyak pegawai yang tidak berkinerja baik. Selain itu kebutuhan untuk pegawai banyak menyedot anggaran. Tercatat pada tahun 2011 ada 297 Daerah yang pos belanja untuk pegawai melebihi 50% dari APBD.

Kesaktian Izin Belajar

Selasa, 13 Maret 2012

Berita di REPUBLIKA tanggal 19 Desember 2011 berjudul “Ratusan Guru Diduga Gunakan Surat Izin Belajar Palsu”, menghentak. Ratusan guru PNS di Kabupaten Purwakarta diduga telah menggunakan surat izin belajar palsu. Surat izin belajar ini dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) setempat. Akan tetapi BKD tak merasa telah mengeluarkan surat tersebut. Surat ini menjadi keharusan bagi guru PNS yang telah melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Fungsinya untuk mempermudah kenaikan pangkat. Akan tetapi, ternyata di lapangan banyak yang mengantongi surat izin palsu tersebut.

Salah satu indikator pemalsuannya, yaitu pada tanda tangan Kepala BKD. Pada surat izin palsu, tanda tangan kepala BKD ini melalu proses scanner. Bahkan, surat izin belajar ini diduga telah diperjualbelikan oleh pihak tertentu. Kabarnya, untuk mendapatkannya harus ditebus dengan uang antara Rp 500 sampai 600 ribu.

Guru, sekali lagi guru, yang mestinya digugu lan ditiru menjadi berita, menjadi bulan-bulanan (akibat ulah sendiri). Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru memalsukan proses pendidikannya, lalu apa hasil yang diperoleh anak didiknya. Jangan heran timbunan masalah tak henti-henti menggelayuti negeri ini. Salah siapa ini? Bukan salah bunda mengandung, salahkan bapak yang menaruh sarung, hehehe... Ulah segelintir oknum menyebabkan coreng moreng rekan-rekan lain yang tak tahu apa-apa. Inget ye kate-kate ane, itu pan hanya oknum. Biar aman, biar gue kagak disemprot ame gure eh guru.

Kembali ke kasus semula. Seberapa saktikah selembar surat izin belajar bagi pengembangan karir seorang PNS. Memang, lazimya PNS yang hendak dan sedang menempuh pendidikan formal tertentu mengajukan izin belajar kepada pejabat berwenang. Hal ini menjadi semacam kewajiban walaupun tak jelas apa sanksinya jika tak memiliki.

(Belum) Bosan Jadi Pegawai (Lho)

Sabtu, 10 Maret 2012

Ulama terkenal asal Mesir sekaligus pendiri gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, dalam buku Risalah Ta’alim berpesan kepada anggotanya, “Janganlah engkau terlalu berharap untuk menjadi pegawai negeri dan jadikanlah ia sebagai sesempit-sempit pintu rezeki”. Pegawai Negeri gajinya pas-pasan, tapi banyak yang berusaha memperebutkannya di tengah menggelembungnya angka pengangguran. Pegawai Negeri bisa diartikan orang yang bekerja pada instansi pemerintah dan digaji dengan uang negara. Pengertian ini luas yakni terdiri dari pegawai negeri sipil baik pusat maupun daerah, anggota TNI dan Polri, pegawai BUMN, pegawai BUMD. Namun secara sempit biasanya diartikan sebagai PNS saja.

Kata Mbah Hassan di atas itu sempitnya pintu rejeki barangkali karena gaji sebagai PNS yang cenderung tetap saban bulan. Lebih, cukup, atau kurang sebenarnya relatif bagi setiap orang. Pendapatan memang pas asalkan tidak dibelanjakan berlebihan, namun kalau tidak bermanuver tak ’kan kaya Pegawai Negeri itu. Singkatnya kalau ingin kaya raya jangan jadi PNS.

Saya yakin kalau hanya mengandalkan gaji dan beberapa tunjangan, hil yang mustahal seorang PNS bisa memiliki kekayaan milyaran rupiah, tabungan ribuan dolar, deposito selangit, mobil mewah, rumah megah. Lalu pertanyaannya tak bolehkan PNS kaya raya? Ya tentu saja boleh-boleh saja, wong istri Nabi saja kaya kok. Dengan cara apa? Jangan mengandalkan gaji. Wirausaha kek, punya usaha sampingan kek, tekek kek.

Menyitir ucapan Aa’ Gym, bahwa saya tidak ingin kaya, tapi saya harus kaya. Kaya biasanya identik dengan beruang. Maksudnya punya banyak uang, bukan layaknya bianatang liar yang hidup di hutan. Punya uang memang tidak menjamin kebahagiaan tapi paling tidak bisa memperbaiki hidup. Saya ingin naik haji, merenovasi rumah, melunasi hutang, membiayai pendidikan, membayar zakat, berderma. Dengan apa? Dengan uang ’kan. Kalau begitu musti cari jalalain alias jalan lain.

Cuma Langkah Kecil

Rabu, 07 Maret 2012

Percaya tidak, setiap minggu pasti ada pengemis yang menyambangi kantor saya. Orangnya sebenarnya ya masih itu-itu juga. Dan sesuai dengan namanya, kedatangannya hendak meminta upeti. Yah kondisi negeri ini yang terpuruk mengakibatkan sebagian rakyatnya musti menjadi peminta-minta. Tapi dengan intensitas waktu berkunjung yang sering (bahkan cenderung rutin) dan juga hasil yang didapat demikian besarnya sedangkan modal yang dipunyai hanya dengan menengadahkan tangan, maka mengemis menjadi semacam profesi.

Selain itu banyak juga orang-orang yang mengaku wartawan atau aktivis LSM yang datang berkunjung. Entah apa maksudnya. Husnuzon saja mereka sedang mencari berita atau informasi yang perlu diwartakan dalam medianya atau menglarifikasi permasalahan yang lagi hangat-hangatnya di masyarakat. Tapi tetap saja ada sebagian pegawai yang sulit untuk tidak menaruh kecurigaan. Layaknya the beggar, harus ada upeti yang musti diserahkan. Sekali lagi, itu hanya oknum. Bagus juga sebenarnya bila ada kerjasama antara lembaga pemerintah dengan media massa dan organisasi non pemerintah. Yang penting tidak main uang.

Itu hanya satu dari sekian yang terjadi di kantor. Belum ada prosedur baku bagi orang-orang yang berkepentingan di kantor. Kantor saya layaknya tempat umum. Semua orang bisa lalu-lalang di dalamnya. Bisa seenaknya keluar masuk ke dalam ruangan. Padahal begitu banyak berkas dan dokumen penting di dalamnya. Belum lagi barang-barang berharga yang bisa mengundang tangan-tangan jahil untuk mengambilnya.

Memang sih ada satu petugas khusus yang menjaga di depan ruangan kepala kantor. Tapi itu hanya mengatur kedatangan tamu yang ingin menghadap kepala kantor. Masih mending, soalnya dulu malah tidak ada petugasnya sama sekali. Blas-blus para tamu keluar masuk ruangan kepala kantor. Untung saja kepala kantornya sabar.

Punya Ijazah Tak Naik Pangkat

Senin, 05 Maret 2012

Katakanlah Bejo, seorang PNS yang mempunyai jabatan Kepala Sub Bidang pada sebuah instansi pemerintah. Pangkatnya Penata Tingkat I (Golongan III/d). Jabatan Kasubid yang ia sandang itu termasuk jenis jabatan struktural dengan tingkatan eselon IVa. Sesuai aturan pangkat tertinggi PNS yang menduduki eselon IVa adalah Penata Tingkat I. Dengan demikian Bejo telah berada dalam batas maksimal pangkat tertinggi yang bisa ia dapatkan.

Selain itu Bejo ternyata pernah mengikuti program pendidikan S2 yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri. Meskipun sejatinya lokasi perguruan tinggi itu berada di luar kota tapi kegiatan kuliah diadakan di salah satu ruang kantor dengan mengambil waktu Jumat sore dan Sabtu pagi. Saat itu kegiatan dinas sudah tidak ada atau libur kantor. Tak sampai 2 tahun gelar Master pun melekat di belakang nama Bejo.

Tahun 2009 adalah tepat empat tahun Bejo berada dalam Pangkat Penata Tingkat I. Ia pun mencoba mengusulkan kenaikan pangkat ke Pangkat Pembina (Golongan IV/a). Ia mengambil jalur reguler, yakni kenaikan pangkat setiap empat tahun. Alasannya daftar penilaian kerjanya baik, tidak melampaui pangkat atasan langsungnya (kebetulan atasannya yang menjadi Kabid berpangkat Pembina Tingkat I, dua tingkat di atas pangkatnya sekarang), dan yang terakhir tentu saja karena ia berijazah S2. Pangkat tertinggi bagi PNS yang memiliki gelar S2 memang sampai Pembina.

Namun ternyata proses kenaikan pangkat Bejo terganjal di institusi pengelola kepegawaian nasional yang kantornya ada di tingkat regional, meskipun ia telah memiliki ijazah S2. Institusi menolak untuk memberikan nota pertimbangan untuk kenaikan pangkat. Tak jelas apa alasannya. Alhasil Bejo pun masih dalam pangkat semula.

Kerja Serabutan

Kamis, 01 Maret 2012

Bagi saya, masa paling berat selama meniti karir sebagai pegawai adalah saat menjadi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Saya kasih informasi dulu. Namanya calontentunya tidak penuh 100% diangkat sebagai pegawai tetap. Pangkat tidak punya, gaji dipotong 20%, kemana-mana dan di mana-mana disorot mata banyak pegawai. Keliru sedikit, orang pasti bilang, dasar masih CPNS. Tapi sejujurnya bukan masalah itu yang sempat saya risaukan. Sebenarnya bukan terletak pada masalah statusnya, wong saya lulus tes CPNS saja sudah merupakan anugerah terindah yang pernah saya miliki (hehehe...nyadur So7), namun lebih pada beban kerja. Eit...jangan nuduh saya nggak mau kerja keras, nggak mau menerima perintah atasan, atau nggak mau mengerjakan tugas. Justru yang menjadi kerisauan adalah saya tak mendapatkan job alias tak mempunyai pekerjaan.

Aneh bukan? Secara formal status saya pegawai atau pekerja, tapi prakteknya tidak bekerja. Ya, sehari-hari tidak ada atau hampir tidak ada yang dikerjakan. Kenapa bisa begitu? Pertama, tidak ada pembagian tugas secara jelas. Kedua, personel kantor amat banyak sedangkan beban kerja tidaklah banyak. Jadi ya tidak seimbang. Ketiga, pimpinan kurang punya kepedulian, padahal sebagai kepala kantor mestinya beliaulah yang memanajemen alias menjadi manajer. Jangan heran kalau selama hampir setahun di kantor itu, mungkin kehadiran kepala kantor bisa dihitung dengan jari. Selebihnya nggak tahu kelayapan ke mana. Mohon maaf, beliau sekarang telah tiada.

Terus terang saya merasa tak enak. Dengan pemerintah yang telah menggaji saya. Dengan rakyat yang telah membayar saya (dengan pajaknya). Dengan lembar ijazah sarjana yang mengantarkan saya di kursi pegawai. Dengan pesaing yang saya singkirkan sewaktu tes pegawai hehehe... Eman-eman, pemda mengeluarkan anggaran untuk merekrut pegawai namun tidak dimanfaatkan secara maksimal. Saya tak ingin disalahkan begitu saja. Di awal kerja saya pun pernah menanyakan apa tugas saya. Yah, pokoknya bantu-bantu saja di kantor, tiap hari masuk kantor, nanti kalau ada perintah baru dilaksanakan, demikan kata pejabat di tata usaha yang beliau sekarang telah pensiun. Waduh apa ya pekerjaan saya, masih ngambang di udara. Ini yang menurut saya masa paling berat selama menjadi pegawai. Alhasil untuk mengisi waktu biasanya saya baca buku, menulis artikel, dan membuat kajian mingguan di masjid samping kantor. Jadi lebih jelasnya gini, resminya saya pegawai, prakteknya tidak diberi pekerjaan, dan akhirnya di kantor cari-cari kerjaan.

Beruntung ’penderitaan’ saya berakhir seiring saya diangkat menjadi pegawai penuh alias PNS. Karena sekaligus waktu itu saya dipindah ke kantor lain. Di sini saya sudah jelas masuk dalam sebuah sub bidang, mempunyai atasan kepala sub bidang. Pembagian tugasnya sudah lebih jelas. Namun demikian atasan saya yang menjadi Kabid (Kepala Bidang) masih bilang kerja kita masih serabutan. Waktu itu saya nggak nanya lebih lanjut apa maksudnya.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)