Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Ketiga)

Kamis, 31 Oktober 2013

Sistem Keuangan dan Pertanggungjawaban
Salah satu isu yang menarik dalam sistem keuangan adalah masalah kapasitas daya serap anggaran. Sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada. Hal ini ironis ketika anggaran yang begitu besar digunakan untuk belanja pegawai sedangkan sisanya yang mestinya bisa digunakan untuk investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung ternyata tidak terserap sepenuhnya.

Alasan penghematan sepertinya bukan faktor utama. Ada beberapa faktor penyebab masalah ini, yakni karena buruknya sistem perencanaan anggaran, rendahnya kualitas SDM, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit dengan menyimpan dana agar mendapatkan bunga simpanan SBI. Hal itu diperparah dengan ketakutan kalangan birokrat untuk menjadi pelaksana proyek karena ancaman tindak pidana korupsi, padahal mereka merasa hanya melakukan kesalahan prosedur. Resiko yang mesti ditanggung oleh pelaksana proyek tak sebanding dengan imbalan (honor) yang didapatkan. Apalagi jika aparat hukum sekadar mencari-cari kesalahan. Bukankah isu mafia hukum ternyata bukan isapan jempol belaka, bukan?

Terkait masalah pertanggungjawaban, sumber masalah utama adalah tidak efektifnya peran inspektorat di daerah. Padahal, keberadaan inspektorat mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, BPKP, Kejaksaan, Polri, KPK). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan, pelaksanaan, capaian, dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan lembaga berwenang.

Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Kedua)

Senin, 28 Oktober 2013

Kepentingan Politik di Daerah 
Kepala Daerah sebagai pejabat politik di daerah memiliki peranan sangat besar di dalam anggaran belanja daerah. Biaya politik yang cukup tinggi (terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung) membuat setiap orang berpikir dan berbuat untuk mendapatkan sumber daya pembiayaan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan pengusaha. Tentu saja ini tidak diperoleh secara gratis. Ada proses transaksi, yang celakanya menggunakan sumber daya publik (APBD). Di sinilah dua kepentingan bertemu. Politisi membutuhkan dana (yang dicukupi oleh pengusaha), sedangkan pengusaha membutuhkan laba (dengan proyek-proyek pemerintah yang disediakan aksesnya oleh politisi). Simbiosis mutualisme akhirnya menggerogoti anggaran yang mestinya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada pula modus kampanye terselubung yang menggunakan APBD, yakni dengan bantuan sosial. Kegiatan ini akan marak menjelang Pilkada dan berangsur-angsur mereda setelah Pilkada.

Selain dengan menggunakan pihak ketiga (pengusaha) untuk membiayai proses politik yang begitu tinggi, tak jarang para calon Kepala Daerah menggunakan dana pribadi, entah itu dari simpanan maupun pinjaman. Biaya yang dikeluarkan ternyata tak sebanding dengan pendapatan yang secara resmi diperoleh sebagai Kepala Daerah. Bahkan sampai habis periode kepemimpinan, bila hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, biaya politik tersebut tetap tidak terbayarkan. Bukankah Kepala Daerah juga memerlukan pemenuhan kebutuhan pokoknya, untuk menghidupi diri dan keluarganya? Maka, tak heran jika salah satu cara yang dipergunakan untuk mengganti biaya politik dalam Pilkada adalah dengan mengambil dana dari APBD. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah bisa dijadikan bukti. Menurut data dari Kemendagri ada 158 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.

Selain itu, di era otonomi daerah, Kepala Daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian yang memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan (termasuk promosi), dan memberhentikan PNS. Hal ini dimanfaatkan benar oleh Kepala Daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Misalnya, pengangkatan besar-besaran tenaga honorer menjadi PNS bisa dijadikan modal dukungan mereka terhadap Kepala Daerah apabila hendak maju lagi dalam Pilkada. Contoh lain adalah munculnya transaksi uang dalam sejumlah promosi jabatan. Hal ini bisa dijadikan sumber dana untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan maupun modal dalam Pilkada yang akan datang.

Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Pertama)

Kamis, 24 Oktober 2013

Pendahuluan
Implementasi hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini belum berjalan efektif. Tidak efektifnya politik dan sistem dana transfer daerah, atau penganggaran daerah merupakan indikasi tidak efektifnya hubungan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Masalah lain yang amat menonjol adalah dukungan politik pembangunan nasional yang belum berlangsung dalam satu rencana kegiatan. Masih terjadi program-program nasional yang belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari daerah, demikian halnya daerah mengembangkan sendiri-sendiri  konsep pembangunan, yang tidak selalu mengacu pada kebijakan pembangunan nasional (Rimi, 2011: 325).

Sementara itu, desentralisasi didefenisikan sebagai wewenang pembuatan keputusan, dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal. Dalam konteks kelembagaan, desentralisasi politik, termanifestasi dengan adanya badan legislatif daerah, namun hal ini ditemukan dua hal yang mendasar, yaitu desentralisasi administrasi dan politik. Permasalahan penting dan mendasar adalah kebijakan otonomi daerah bukan semata-mata tersedianya peraturan perundang-undangan mengenai berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah beserta segala sarana dan prasarana yang mendukungnya, tetapi lebih dari pada itu sejauh mana fungsi-fungsi dari kelembagaan dalam lingkup pemerintah daerah mampu menyusun dan melaksanakan mekanisme dalam menjalankan esensi dan politik otonomi daerah itu sendiri.

Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah, khususnya yang menyangkut masalah hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat kecenderungan bahwa kekuasaan di bidang keuangan ini, lebih besar di pusat dibandingkan dengan kekuasaan daerah dalam memungut sumber-sumber keuangan tersebut.

  1. Kecenderungan ini antara lain dipengaruhi oleh: Terdapat kekhawatiran mengenai persatuan nasional dan kekhawatiran mengenai kekuatan-kekuatan memecah yang timbul di daerah-daerah;
  2. Memelihara keseimbangan politik dan keadilan dalam pembagian sumber daya antar daerah, terutama antar Jawa yang dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan daerah luar Jawa yang banyak menghasilkan penerimaan dari ekspor dan memiliki bagian terbesar potensi ekonomi;
  3. Pemerintah pusat ingin memegang kendali yang erat atas kebijaksanaan pembangunan ekonomi;
  4. Penerimaan dari minyak bumi yang sangat penting bagi pemerintah pusat sebagai pendapatan negara yang terbesar (Sutedi, 2009: 28).

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)