Sepuluh Tahun Pernikahan

Jumat, 25 September 2015

4 September 1972, kelompok perlawanan Palestina melancarkan aksi penculikan bersandi operasi Berim Ikrit. Sasarannya perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich, Jerman Barat. Saat itu Jerman masih dipisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Setelah menawan atlet, mereka menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan 2 pemimpin kelompok kiri Baader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat dan rute aman menuju Mesir. Untuk pembebasan tahanan Palestina, pemerintah Israel menolak, sedangkan untuk rute aman tujuan Kairo disanggupi pihak Jerman. Drama penyanderaan 21 jam itu berakhir dengan aksi baku tembak di Bandara Furstenfeldbruck dan peledakan helikopter hingga mengakibatkan kematian semua sandera.

Kelompok perlawanan tersebut dikenal dengan nama Black September, kelompok yang didiskualifikasi dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Peristiwa heroik ini diangkat oleh Steven Spielberg dalam film Munich yang dibintangi oleh Eric Bana. 33 tahun kemudian, pada bulan yang sama lewat beberapa hari menjadi hari yang heroik dalam hidup saya. Sejarah yang manis. Bolehlah disebut White September. Atau Pink September. Atau apalah terserah. Bukan, saya tidak mengukir sejarah dengan aksi culik-menculik. Ini hari, sebenarnya biasa saja bagi sebagian besar orang. Namun tidak untuk saya. Dan dia.

Bergotong royong. Bekerja sama. Bersatu padu. Bersekutu tambah mutu, kata cik gu. Ya, hari ini, tepat sepuluh tahun yang lalu kami berdua berkolaborasi. Bukan membuat album lagu layaknya penyanyi Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora. Atau merilis film percintaan ala aktor Sophan Sopian dan Widyawati. Bukan pula menyandingkan emas olimpiade seperti pasangan atlit tepok bulu Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Apalagi kolaborasi pasangan pendekar Gotawa dan Mantili yang menjaga kedaulatan Kerajaan Madangkara di sandiwara radio Saur Sepuh.

Sepultura, sepuluh tahun lalu yang tak terasa. Kolaborasi kami berdua mewujud dalam bentuk buku. Cukup 2 eksemplar, tak lebih. Tak ada niat untuk cetak ulang. Meski saya bukan orang penting, buku tersebut bertandatangan orang penting di negeri ini, kelasnya menteri. Jangan tanya rasa nasionalisme kami, sampul mukanya saja burung garuda mengepakkan kedua sayapnya.

Ternak Relawan

Kamis, 17 September 2015

Lelaki setengah baya itu, kini rambutnya dominan memutih. Tak lagi gondrong sebahu. Kumis hitam tebal yang dulu menghias atas bibirnya, tak lagi nampak. Dicukur habis. Suaranya sedikit serak, sama seperti dulu, namun enak didengar bila berdendang. Sebingkai kacamata menemani kedua matanya di usia senja. Lagu-lagu yang diciptakannya pernah menjadi ikon gerakan melawan kemapanan. Syair-syair yang dibuatnya telah menjadi kritik sosial. Tak heran, kuping penguasa terutama di era Orde Baru kerap memerah mendengarnya.

Lebih dasa warsa silam lantang dia menyuarakan lagu untuk presiden baru. Suara yang keluar dari dalam goa penuh lumut kebosanan. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami pekerjaan. Tegakan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu. Bila itu terwujud akan kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa, katanya.

Berselang lama kemudian, presiden baru itu pun berganti presiden baru yang lain. Lelaki setengah baya itu pun semakin menua. Entahlah, apakah dia masih sanggup berteriak seperti dulu mengkritik penguasa sebagaimana lagu-lagunya. Karena tampaknya dia mulai menemukan sosok manusia setengah dewa. 

Seusai perebutan singgasana presiden yang menguras banyak energi, lelaki itu pun didaulat sebagai duta desa. Harga yang setimpal, mengingat pengorbanannya yang luar biasa di masa kampanye. Hebatnya, ia tak sendiri. Berduyun-duyun relawan maupun politisi pendukung tuan presiden mendapatkan jatah layaknya. Anggota kabinet sebagian diisi oleh orang-orang partai. Lingkar istana diisi oleh eks tim sukses. Posisi terhormat di BUMN diberikan kepada orang-orang yang dulu berjerih payah. Memang, relawan sedang naik daun, kayak ulat bulu.

Mencintai Bahasa Indonesia

Rabu, 09 September 2015

Sekolah Pascasarjana Universita Indonesia pernah kedatangan tamu beberapa orang profesor dari Universitas Leiden, Belanda. Setelah ngobrol ngalor-ngidul (dalam bahasa Inggris, tentunya) bertukar visi, misi, dan informasi antara kedua pihak, tiba-tiba ada salah satu anggota delegasi Belanda yang bertanya, ”Apakah di sini digunakan bahasa Inggris sebagai pengantar?” Para doktor dan profesor UI bengong semua.

Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor minimum 550?” tanya dia lagi.

Beberapa orang dari UI mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris. Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti. Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif cukup skor 300 sampai dengan 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer tidak perlu bisa bahasa Inggris sama sekali.

Kisah di atas diceritakan oleh Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah sia-sia. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)