Idul Fitri

Senin, 27 Agustus 2012

Selamat Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin...
Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal yaa karim...
 

Kami yang Senantiasa Merindukanmu

Rabu, 15 Agustus 2012

Aku masih ingat betul pertemuan pertama itu, beliau berkata "anggaplah aku ibumu sendiri. Ibumu sudah ndak ada toh?"

Hari - hari berikutnya tak banyak waktuku untuk berinteraksi dengan beliau. Jarak dan waktu jadi alasan. Saat berkunjung pun, aku tak bisa lagi menuntunnya ke mana-mana karena sibuk mengurusi bayiku. Beliau sempat menyesal "Maaf ya Nak, Uti tak bisa gendong kamu...."

Setahun belakangan, beliau tak bisa lagi bangun dari tempat tidurnya karena osteoporosis. Sungguh, itu ujian kesabaran bagi kami anak-anaknya. Tak heran mengapa sampai Rasulullah menyampaikan bahwa ”rugi, masih punya orang tua yang renta tapi tak bisa masuk surga”. Saat kami lelah dan merasa repot, kami ingat kembali bahwa dulu pasti beliau lebih repot dan lelah mengurus kelima anaknya.

Ah, ibu... cepat sekali waktu berlalu rupanya. Tanggal 7 Juli 2012 pukul 06.00 aku resmi kehilangan seorang ibu lagi selain ibu kandungku. Yang ada adalah penyesalan. Penyesalan tak bisa menemanimu di ujung usiamu, tak bisa memberimu yang terbaik.Penyesalan tak sempat memohon maaf atas segala khilafku.

Pembangunan PNS, Antara Jepang dan Indonesia

Minggu, 12 Agustus 2012

Tasroh, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang menulis opini di MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012 dengan judul Strategi Membangun PNS ala Jepang. Disampaikannya bahwa birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor. Berbagai kasus yang mendera PNS kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat terpuruk.

Menurut Tasroh, Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978. Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.

Mengutip pendapat pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University, Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998), Tasroh menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.

Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur. Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.

Saya Merindukan

Kamis, 09 Agustus 2012

Saya merindukan sebuah negeri yang teduh. Sengat mentarinya hangat terasa selembut angin sutera. Iklim yang mengalir menyejukkan hati mendatangkan kedamaian. Manusianya tiada pernah bercaci maki apalagi saling membenci. Saya merindukan bibir ini berujar betapa ringannya tapak-tapak kaki melangkah maju beriring melaju ke timur ke barat tamannya semerbak bunga setaman, ke utara dan ke selatan telaganya cantik anggun nan jelita. Kumbang-kumbang tersenyum manis di sela-sela pepohonan tauhid menumbuhkan daun-daunan yang rindang.

Saya merindukan sebuah kampung yang aman sentausa. Panorama langit biru dan semburat awan bergerak menambah kharisma menaungi kehidupannya. Orang-orangnya suka bekerja keras mencari nafkah, pulang membawa rezeki yang bersih dan berkah, selamat dari percikan lumpur dan kotoran yang menodai zaman. Perempuannya jadi tidak suka bergunjing, hemat dengan kata-kata, tidak mendengki pada tetangga, bila bersedekah tanpa perhitungan apalagi berharap pengharapan, dan senyumnya sepanjang hari jadi hiasan. Anak-anak penghuninya senantiasa menyanyikan wahyu Tuhan sembari berlinangkan air mata, dengan referensi budi pekerti digali dari teladan kehidupan rasul kecintaan, dan mereka semua itu dalam sujud bersama tak putus-putus berdoa.

Saya merindukan sebuah rumah di mana pijar cahayanya berkilau berlapis-lapis bagai berkas sejajar turun meluncur, jelas arahannya dan sangat teratur dan masuk sanubari membawa rasa ikhlas dalam keseharian. Ensiklopedi di ruang tamunya adalah 30 jilid tafsir Al Qur’an, suara yang keluar dari bebunyian adalah alunan lembut kalam Ilahi. Rumah itu berpondasikan takwa, berlantaikan syariah, berdindingkan akidah, berpoleskan akhlakul karimah, berjendelakan bashirah, berpintukan Islam, berpendingin iman, beratapkan ihsan. Pekarangan rumahnya penuh ditumbuhi kembang-kembang tawadhu’ dipagari berkeliling jernih warna fikrah, kokoh sekali. Tumpukan tanah di dalamnya, bertinggi berendah, tempat bernaung binatang-binatang memuji berzikir di sela rerimbun rerumputan nan berbaris berumpun menantikan siraman kasih sayang setiap kala.

Saya merindukan sebuah keluarga yang menorehkan cahaya kebenaran Ilahi. Bisikan lembut suara syukur dan doa terpanjat memaknai hakekat amanah yang diemban. Qonaah dan berzuhud menjadi acuan gerak nafas dalam menapaki tilasan jalan agar tidak tergelincir ke lembah nista. Sang bunda bersahaja mengasuh si buah hati menjaga arti cinta kasih berbalutkan kesetiaan dan ketakwaan dengan senyum yang riang pancarkan binar harapan. Anak-anaknya di malam hari rajin terpekur mengkaji lautan ilmu sembari membelakangi televisi yang padam di tengah ruangan yang wangi semerbak bersih dari asap.

Stigma Teroris

Senin, 06 Agustus 2012

"Banyak orang berpendapat bahwa perang antara komunisme dengan Barat akan segera digantikan oleh perang antara Barat dengan Muslim." (William Pfaff)

Benarkah ramalan bahwa Islam dan Barat suatu saat akan mengalami perbenturan? Apakah Islam sebagai suatu keyakinan yang dipeluk oleh banyak manusia akan menjadi ancaman peradaban dan kepentingan bagi Barat? Inilah pertanyaan kritis saat ini.

Jauh sebelumnya pada tahun 1993, guru besar studi strategis pada Havard University, Samuel Huntington telah mengemukakan tesisnya yang sangat kontroversial, the Clash of Civilization. Ia memprediksikan akan terjadi ketegangan yang semakin parah antara peradaban Islam dan Barat pasca perang dingin.

Huntington mengemukakan lima alasan mengapa benturan peradaban menjadi sumber konflik. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya real, tapi juga mendasar. Kedua, dunia kini sudah kian menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban akan semakin meningkat. Ketiga, peran Barat yang begitu dominan menimbulkan reaksi. Keempat, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan ekonomi dan politik. Kelima, kesadaran peradaban bukanlah raison d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi.

Tesis ini segera menimbulkan perdebatan di antara ilmuwan, bahkan sebagian kalangan menganggap tesis ini sebagai fantasi belaka. Orang-orang pun menganggap teori ini secara faktual maupun ilmiah lemah. Apalagi di dalam teori tersebut, dalam menghadapi Barat, Islam akan berkolaborasi dengan Konfusionisme. Namun terlepas dari krtitik-kritik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh lain terhadap tesis Huntington, kita perlu menyadari bahwa ternyata Dunia Barat tampaknya was-was juga akan kebangkitan Islam.

Untukmu Ukhti

Kamis, 02 Agustus 2012

komiocykid.wordpress.com
Ukhti...
Teriring hembusan lembut angin yang menerpa wajah, terasa segar. Melambaikan dedaunan bergemisik dan tak luput berguguran di bumi, sebagian. Rintik air itu pun hampir usai menangis. Tanah ini masih basah, meninggalkan genangan-genangan air yang tampak keruh kecoklatan. Dan terkadang memantulkan kembali sinar sang surya yang tampak malu-malu tersenyum. Wajahnya bersemu merah timbul tenggelam di balik awan nan berarak-arak. Sebentar lagi kembali ke peraduannya. Purna sudah tugasnya di belahan bumi ini. Sesaat lagi sang rembulan akan menampakkan pijar penerangan. Bertemankan kerlap-kerlip bintang di langit bak lentera beribu-ribu. Tak jemu-jemu. Kan kutuliskan memori alam itu untuk mengukir kenangan tentang kaummu wahai wanita. Ukhti, jangan pernah jemu. Jadilah melati yang menebarkan aroma lembut keharuman. Di mana pun berada. Apa pun namanya, melati kan tetap wangi. Dan kalianlah melati itu.

Ukhti...
Sesekali suara kelepak sayap burung yang hinggap di pucuk pepohonan itu terdengar. Setelah itu hening kembali. Senyap. Kesunyian yang datang tiba-tiba menyergap melahirkan kembali jalinan kisah yang telah lalu. Usang memang, tapi tetap terpatri di dalam angan. Terkenang kembali masa lalu. Teringat kembali sosok-sosok yang dulu terlihat asing dalam pandangan. Ada keanehan dan kejanggalan terasa tatkala langkah-langkah itu begitu tegar berpijak di negeri ini. Kenapa Ukhti? Kenapa kalian begitu kuatnya menutupi apa yang biasa ditampakkan oleh sebagian kaummu. Tidakkah itu keterbelakangan. Tidakkah itu kemunduran. Apa yang kalian banggakan dengan busana yang hanya menyisakan muka dan telapak tangan. Kadang mereka yang kebanyakan itu mengatakanmu dengan nada sinis, bahwa itu kuno, kolot, ekstrem, dan ketinggalan jaman. Aku takjup. Kalian membalasnya hanya dengan senyuman tulus kedamaian dan memahamkannya dengan lemah lembut. Aku heran, aku heran. Dan aku masih terus mencari jawaban demi jawaban. Tapi itu dulu. Sampai kemudian berlabuhlah hati ini ke pantai kedamaian. Telah tertambat perasaan memenuhi kalbu syiar agama Islam. Dan sekaligus memahami kalian. Terjawablah sudah.

Ukhti...
Rerumputan di hadapan ini masih tetap menyegarkan, hijau menyala. Basah memang, tapi menyejukkan tatapan. Kadang kerontang diterpa terik mentari yang teramat sangat ketika siang. Bunga-bunga pun gerah kepanasan, luruh menunduk. Entahlah, apa yang kupikirkan sesaat ini pernah jua kalian pikirkan. Tidakkah kalian rasakan betapa tidak nyamannya berpakaian lebar sedangkan matahari begitu semangat membakar. Peluhku saja bercucuran bahka rambutku pun sampai kemerahan. Duhai, apa yang kalian rasakan. Kecintaan kepada Rabbmu lebih dirasakan daripada sekadar panas terik menggelegar. Kalian tebarkan keindahan di tengah kekeringan. Dan kalian teduhkan panas menjadi sejuk membeku. Keteguhan yang kuat sedahsyat karang berbatu.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)