Studi Kasus Anggaran Kesehatan di Daerah

Rabu, 27 Maret 2013

Secara nasional pemerintah menyediakan anggaran di bidang kesehatan yang lumayan besar. Namun jika dicermati angka-angka milyaran rupiah tersebut lebih banyak tersedot untuk laporan di atas kertas yang tidak berdampak langsung dengan kesehatan. Lalu, bagaimana kondisinya di daerah. Studi ringkas di bawah ini memberikan sedikit gambaran, yakni di salah satu Pemda di Pulau Jawa (sebut saja N) pada tahun anggaran 2011.

Dari enam Misi Kabupaten N, salah satunya adalah meningkatkan pelayanan dasar bidang kesehatan yang berkualitas dan berdaya saing. Kebijakan yang diambil adalah dengan peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan. Terwujudnya akses pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan ini dicapai dengan satu sasaran yakni meningkatnya akses dan mutu kesehatan ibu, bayi, anak remaja, dan lanjut usia, serta kesehatan reproduksi. Program kesehatan pemerintah daerah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah.

Program pada Dinas Kesehatan meliputi, pelayanan admininstrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur, peningkatan disiplin aparatur, Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, peningkatan  pengembangan  sistem  pelaporan capaian kinerja dan keuangan, obat dan perbekalan kesehatan, upaya kesehatan masyarakat, pengawasan obat dan makanan, promosi  kesehatan  dan  pemberdayaan masyarakat, pengembangan lindungan sehat, pencegahan  dan  penanggulangan  penyakit menular, standarisasi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan penduduk miskin, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya, peningkatan pelayanan kesehatan anak balita, peningkatan pelayanan kesehatan lansia, peningkatan  keselamatan  ibu  melahirkan dan anak.

Sedangkan program pada Rumah Sakit Umum Daerah adalah sebagai berikut pelayanan admininstrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur, Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur, peningkatan  pengembangan  sistem  pelaporan capaian kinerja dan keuangan, standarisasi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan penduduk miskin, pengadaan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit/rumah sakit jiwa/rumah sakit paru-paru.

Anggaran Untuk Kesehatan

Minggu, 24 Maret 2013

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (2013), kesehatan ibu menjadi salah satu isu strategis pemerintah. Pada dokumen tersebut disebutkan, masih rendahnya akses masyarakat terhdap fasilitas pelayanan kesehatan yang ditandai dengan masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak dan status gizi masyarakat” (Buku I RKP 2013, dalam Fitra, 2012). Dalam RKP tersebut, isu kesehatan ibu dan reproduksi menjadi prioritas 3 bidang kesehatan, dalam rangka peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkualitas bagi ibu dan anak.

Menurut keterangan Kementerian Kesehatan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab.    

Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.

Oleh karena itu, upaya pelaksanakan program kesehatan perlu dukungan dana. Dalam RAPBN 2013, alokasi anggaran untuk penurunan AKI di Kementerian Kesehatan setidaknya tercantum dalam program/kegiatan yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Bina Kesehatan Gizi dan Ibu dan Anak pada program Pembinaan serta Ditjen Bina Upaya Sehat.

Birokrasi yang Melayani Pasar

Kamis, 21 Maret 2013

Tiga unsur penting dalam good governance adalah pemerintah, rakyat, dan swasta. Kita juga mengenal reinventing government; menemukan/mengembalikan kembali pemerintah dalam bentuk aslinya. Selain dipuja dan dipuji sebagai konsep tata kelola pemerintahan yang baik, banyak kalangan (termasuk akademisi dan terlebih aktivis LSM) yang mengkritisinya. Terutama karena adanya unsur swasta di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa yang salah dengan konsep good governance yang menjadikan swasta sebagai salah satu dari trinitas tata kelola pemerintahan? Apa yang keliru dari model birokrasi baru dalam reinventing government yang pro pasar?

Di sinilah kita harus cermat dan hati-hati. Paling tidak, menurut Yustika (2009), ada dua hal yang perlu dikritisi mengenai peran swasta dalam kaitannya dengan pengelolaan pemerintahan.

Pertama, terdapat efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam mempengaruhi seluruh lekuk kehidupan. Di negara berkembang pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi) dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga menentukan hidup matinya kepentingan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik. Dampaknya adalah, pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang untuk melakukan interaksi sosial. Dengan begitu, matinya pelaku ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.

Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk membeli kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung dipenggal di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan mengurangi profit mereka. Ini merupakan konsekuensi paling serius dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan  berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup mengawalnya. Modal bisa menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan hukum yang dimilikinya sendiri, yakni kekuatan yang besar akan memakan daya yang lebih kecil.

Antara Globalisasi dan Neo Liberalisme

Senin, 18 Maret 2013

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode formasi sosial. Berikut ini penjelasannya dikutip dari Fakih (2002).

Fase pertama adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenab teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan selama ratusan tahun.

Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Pada fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara dunia ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka. Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi karena teori tersebut direkayasa menjad paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh Negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisme tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta “diskursus” yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.

Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Periode ketiga yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui structural adjustment program oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim GATT dan perdagangan bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization). Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya, dan dengan begitu dunia memasuki periode yang dikenal dengan globalisasi. Secara lebih tegas yang dimaksud dengan globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak jaman kolonialisme. Para teoritisi kritis sejak lama sudah meramalkan bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi ekonomi, politik, dan budaya berskala global setelah perjalanan panjang melalui era kolonialisme.

Antara Good Governance dan Neo Liberalisme

Jumat, 15 Maret 2013

Hampir dua windu reformasi berjalan di negeri ini. Awalnya gerakan yang dimotori oleh para mahasiswa itu berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi merupakan upaya koreksi terhadap rezim Orde Baru yang banyak melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Seiring dengan semangat reformasi di segala bidang, dalam tata kepemerintahan mulai familier istilah “good governance”. Tak hanya di kalangan birokrasi, kata-kata ini pun sering didengungkan oleh kalangan akademisi, pers, LSM, dan lain-lain, seolah mantra mujarab memperbaiki kondisi negeri Indonesia.

Sebagai sebuah istilah, good governance memang mengandung arti yang bagus yaitu pemerintahan yang baik atau bisa pula dimaknai cara mengelola pemerintahan dengan baik. Dengan pemerintahan yang baik maka diharapkan hasilnya juga membawa kebaikan bagi rakyatnya. Logika yang sederhana, kalau pihak yang memerintah (baca: pemerintah) baik, maka tentu yang diperintah (baca: rakyat) mestinya juga baik. Sebagai lawan dari good governance adalah bad governance, yakni pemerintahan yang buruk. Artinya, jika pemerintah tidak menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipegang dalam good governance maka ia termasuk pemerintah yang jelek, buruk, dan jahat. Hasilnya rakyatnya juga akan mendapatkan hasil yang jelek.

Namun, setelah bertahun-tahun sejak reformasi dijalankan dengan prinsip-prinsip good governance, ternyata rakyat tidak mendapatkan hasil yang baik juga. Bahkan pada tataran pengelolaan pemerintahan sendiri, berbagai data menunjukkan problem pemerintahan yang tidak baik. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, makelar kasus, praktek politik uang (money politic) masih banyak terjadi.

Menurut Transparency International (TI) (dalam Setagu, 2009) skor Indonesia untuk CPI adalah 3,0. CPI (Corruption Perception Index) adalah sebuah indeks gabungan yang dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun 2011 CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.

Belanja Birokrasi Menyandera Anggaran

Selasa, 12 Maret 2013

Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.

Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Banyak pihak yang membahas tentang pengalokasian belanja pegawai yang masih mendominasi dalam anggaran belanja pemerintah terutama di daerah. Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.

Sederet Konsep Good Governance

Sabtu, 09 Maret 2013

Menurut UNDP (dalam Sutiono, 2004) istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak hanya sekadar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya.

Sementara definisi good governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002).

Sedangkan UK/ODA (1993) menyatakan bahwa istilah good government dan good governance tidak ada bedanya, karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi.

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha, serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)