Anggaran Untuk Kesehatan

Minggu, 24 Maret 2013

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (2013), kesehatan ibu menjadi salah satu isu strategis pemerintah. Pada dokumen tersebut disebutkan, masih rendahnya akses masyarakat terhdap fasilitas pelayanan kesehatan yang ditandai dengan masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak dan status gizi masyarakat” (Buku I RKP 2013, dalam Fitra, 2012). Dalam RKP tersebut, isu kesehatan ibu dan reproduksi menjadi prioritas 3 bidang kesehatan, dalam rangka peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkualitas bagi ibu dan anak.

Menurut keterangan Kementerian Kesehatan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab.    

Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.

Oleh karena itu, upaya pelaksanakan program kesehatan perlu dukungan dana. Dalam RAPBN 2013, alokasi anggaran untuk penurunan AKI di Kementerian Kesehatan setidaknya tercantum dalam program/kegiatan yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Bina Kesehatan Gizi dan Ibu dan Anak pada program Pembinaan serta Ditjen Bina Upaya Sehat.


Angka Kematian Ibu (AKI) hingga saat ini masih tinggi. Data terakhir menunjukkan bahwa rasio AKI per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008 mencapai 240 (UNESCAP). Angka tersebut memposisikan Indonesia sebagai negara dengan AKI terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Laos dan Timor Leste.

Dalam dokumen MDGs disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia harus mampu menurunkan AKI pada tahun 2015 hingga 102 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu dalam dokumen RPJMN 2009-2014 pemerintah menargetkan 118 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan kata lain rata-rata per tahun pemerintah harus menurunkan AKI sebesar 19,7.

Menurunkan AKI bukanlah perkara yang mudah. Data setiap bulan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan hal itu. Sebagai contoh per April 2012 ditemukan 1.493 kematian ibu dari 548.245 kelahiran hidup di Indonesia. Setidaknya terdapat 4 provinsi yang memiliki jumlah kematian ibu di atas 100 yaitu Jawa Timur sejumlah 761 dari 59.309 kelahiran hidup, Gorontalo sejumlah 172 dari 4.937 kelahiran hidup, Jawa Tengah sejumlah 167 dari 136.599 kelahiran hidup, dan Jawa Barat sejumlah 104 dari 107.559 kelahiran hidup. Hanya ada 9 provinsi yang jumlah kematian ibunya 0. Sisanya antara 1 hingga 42.

Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab langsung kematian ibu hampir 90 persen terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Sementara itu, risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya faktor keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. Ada tiga risiko keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk (termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan.

Terdapat tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi, dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (30 persen), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan.

Salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan. Perbandingan dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66 persen dalam SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand di mana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir mencapai 90 persen.

Sebagaimana dikemukakan di muka, alokasi anggaran untuk penurunan AKI di Kementerian Kesehatan setidaknya tercantum dalam program/kegiatan yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Bina Kesehatan Gizi dan Ibu dan Anak pada program Pembinaan serta Ditjen Bina Upaya Sehat. Meskipun terdapat kenaikan dalam 3 tahun terakhir namun sebenarnya isu kesehatan bukanlah prioritas. Pada APBN 2011 alokasi anggaran untuk kesehatan ibu hanya kurang lebih Rp 53,3 milyar. Kemudian tahun 2012 meningkat menjadi Rp 1.679,5 milyar dan pada RAPBN 2013 meningkat lagi menjadi Rp 1.683,6 milyar. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena adanya tambahan program Jaminan Persalinan (Jampersal) bagi warga miskin. Maka, jika dilihat dari proporsi alokasi anggaran program kesehatan ibu terhadap total anggaran di Kemenkes terdapat penurunan sebesar 0,1% pada RAPBN 2013.

Menurut Fitra (2012) pemerintah tidak pernah serius meyelenggarakan pelayanan kesehatan. Selama periode 2005-2015, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2,2 persen dari belanja pemerintah. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan anggaran kesehatan harus dialokasikan 5 persen dari belanja pemerintah. Anggaran kesehatan tahun 2013 direncanakan sebesar Rp 16,7 triliun. 77 persen atau Rp 12,8 triliun akan dibelanjakan oleh Kemenkes. Namun Kemenkes tidak mengelola anggaran yang terbatas secara efisien untuk pelayanan kesehatan rakyat. Beberapa belanja banyak dihabiskan untuk program yang tidak berdampak bagi pelayanan kesehatan masyarakat misalnya belanja untuk penyusunan laporan yang menelan Rp 1,1 triliun. Anggaran ini berarti meningkat dua kali dibandingkan tahun sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)