Belanja Birokrasi Menyandera Anggaran

Selasa, 12 Maret 2013

Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.

Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Banyak pihak yang membahas tentang pengalokasian belanja pegawai yang masih mendominasi dalam anggaran belanja pemerintah terutama di daerah. Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.

Pada tanggal 16 Agustus 2012 Presiden Republik Indonesia menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2013 kepada DPR RI. Salah satu poin dalam NK RAPBN 2013 adalah belanja negara direncanakan sebesar Rp 1.657,9 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.139 triliun (68,7 persen) dan transfer ke daerah Rp 518,9 triliun (31,2 persen). Menurut kajian Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan (2012) pertumbuhan anggaran lebih banyak dinikmati oleh birokrasi. Belanja pemerintah pusat pada RAPBN 2013 tumbuh sebesar 6 persen, sementara belanja pegawai tumbuh dua kali lipat yaitu 14 persen atau Rp 28 triliun. Selama 2007-2013 rata-rata belanja pusat tumbuh 15 persen, sementara belanja pegawai tumbuh sebesar 19 persen atau Rp 23 triliun setiap tahunnya.

Salah satu penyebab membengkaknya belanja pegawai adalah tidak konsistennya seluruh lembaga dalam mendorong agenda reformasi birokrasi. Pembentukan lembaga-lembaga non struktural akibat tidak berfungsinya kerja-kerja Kementerian/Lembaga yang ada. Ironisnya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya, bahkan cenderung menambah beban anggaran negara. Misalnya pada APBN 2011 dengan menghabiskan porsi anggaran sebesar Rp 8,3 triliun dan belanja pegawai Rp 100 miliar.

Selain itu, penyebab yang lain adalah ternyata alokasi belanja pegawai pada kementerian dan lembaga (pusat) masih cukup besar. Hal ini sebenarnya mengherankan karena semestinya di era otonomi daerah titik berat pelayanan birokrasi berada di pemerintah daerah. UU otonomi daerah pun telah menggariskan seluruh urusan pemerintah kecuali 5 bidang (keuangan dan moneter, agama, peradilan, luar negeri, keamanan dan ketertiban) telah didesentralisasikan menjadi urusan daerah. Kementerian (pusat) lebih bersifaf regulasi, koordinasi, dan supervisi. Pada kenyataannya belanja pegawai pada kementerian masih menghabiskan anggaran yang cukup besar.

Beberapa alasan lain menurut LSM Fitra (2011) adalah karena adanya pemberian remunerasi, kenaikan gaji pegawai, pemberian gaji ke-13, pemberian uang makan, kebijakan pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran, politisasi birokrasi, dan pemekaran daerah.

Berdasarkan data FITRA (dalam Farhan, 2012), pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai,  jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah  di antaranya menganggarkan belanja pegawai di atas 70%. Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai,  dalam bentuk DAU  Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8%) dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%). Praktis dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah  telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.


 Sebagai contoh besarnya belanja pegawai di daerah adalah apa yang terjadi di APBD Kabupaten Ngawi. Belanja Pemda Ngawi pada tahun 2011 berjumlah Rp 1.135 triliun yang terdiri dari belanja langsung (Rp 368 milyar) dan belanja tak langsung (Rp 766 milyar). Pada masing-masing belanja tersebut terdapat belanja pegawai. Belanja-belanja yang lain terdiri dari belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja tidak terduga, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Belanja pegawai mendapatkan alokasi terbesar yakni total Rp 731 milyar atau 64,38 persen.

Dari paparan di atas bisa dilihat bahwa anggaran belanja pemerintah masih didominasi untuk belanja pegawai. Untuk anggaran di pemerintah pusat (kementerian), meskipun banyak urusan yang telah didesentralisasikan ke daerah namun ternyata belanja pegawainya masih tetap besar. Belanja pegawai itu antara lain disebabkan karena adanya remunerasi, politisasi birokrasi, pendirian lembaga-lembaga baru, dan sebagainya.

Pada tataran pemerintah daerah, masih banyak daerah yang mengalokasikan belanja pegawai di atas 50 persen, bahkan beberapa di antaranya di atas 70 persen. Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena berarti kebutuhan untuk masyarakat luas dianggarkan lebih kecil. Namun demikian, besarnya belanja daerah bukan semata-mata kesalahan daerah. Sedikit banyak pemerintah (pusat) ikut menyumbang atas besarnya belanja pegawai daerah. Beberapa contoh di sini bisa disampaikan yakni rekrutmen pegawai, kenaikan gaji PNS, dan pembentukan organisasi perangkat daerah. Ketiga komponen tersebut yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan instrumen yang mesti dilaksanakan oleh daerah.

Dibutuhkan komitmen dan usaha keras dari kita semua agar anggaran negara (termasuk juga daerah) lebih memperhatikan kepentingan publik. Pemerintah harus benar-benar menghemat dan memprioritaskan kebutuhan yang lebih produktif untuk kepentingan yang lebih besar. Masyarakat juga janganlah hanya bersikap pasif saja. Diam, tidaklah menyelesaikan masalah.

Dari berbagai macam literatur tentang pedoman pengembangan rakyat, partisipasi merupakan kunci efektif dalam melakukan pemberdayaan rakyat. Dalam pemahaman pemberdayaan rakyat, partisipasi merupakan titik awal dalam peningkatan kemampuan rakyat agar bisa mandiri. Dari pemahaman tersebut partisipasi tidak bisa dilepaskan dari konsep pemberdayaan rakyat. Partisipasi diyakini sebagai ruh dalam meningkatkan kapasitas masyarakat (Puspitosari, 2006).

Dengan berperan aktif dalam penyusunan anggaran serta mengawasi pelaksanaan program pemerintah mudah-mudahan anggaran akan lebih bermanfaat untuk masyarakat juga. Toh, uang yang digunakan itu hakekatnya merupakan uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak dan lain-lain. Maka alangkah baiknya jika dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Demikian.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)