Antara Good Governance dan Neo Liberalisme

Jumat, 15 Maret 2013

Hampir dua windu reformasi berjalan di negeri ini. Awalnya gerakan yang dimotori oleh para mahasiswa itu berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi merupakan upaya koreksi terhadap rezim Orde Baru yang banyak melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Seiring dengan semangat reformasi di segala bidang, dalam tata kepemerintahan mulai familier istilah “good governance”. Tak hanya di kalangan birokrasi, kata-kata ini pun sering didengungkan oleh kalangan akademisi, pers, LSM, dan lain-lain, seolah mantra mujarab memperbaiki kondisi negeri Indonesia.

Sebagai sebuah istilah, good governance memang mengandung arti yang bagus yaitu pemerintahan yang baik atau bisa pula dimaknai cara mengelola pemerintahan dengan baik. Dengan pemerintahan yang baik maka diharapkan hasilnya juga membawa kebaikan bagi rakyatnya. Logika yang sederhana, kalau pihak yang memerintah (baca: pemerintah) baik, maka tentu yang diperintah (baca: rakyat) mestinya juga baik. Sebagai lawan dari good governance adalah bad governance, yakni pemerintahan yang buruk. Artinya, jika pemerintah tidak menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipegang dalam good governance maka ia termasuk pemerintah yang jelek, buruk, dan jahat. Hasilnya rakyatnya juga akan mendapatkan hasil yang jelek.

Namun, setelah bertahun-tahun sejak reformasi dijalankan dengan prinsip-prinsip good governance, ternyata rakyat tidak mendapatkan hasil yang baik juga. Bahkan pada tataran pengelolaan pemerintahan sendiri, berbagai data menunjukkan problem pemerintahan yang tidak baik. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, makelar kasus, praktek politik uang (money politic) masih banyak terjadi.

Menurut Transparency International (TI) (dalam Setagu, 2009) skor Indonesia untuk CPI adalah 3,0. CPI (Corruption Perception Index) adalah sebuah indeks gabungan yang dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun 2011 CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.


Lalu, apa yang salah dengan good governance? Bukankah ini merupakan resep baik (sesuai dengan namanya) dalam pengelolaan pemerintahan. Ini menjadi mirip dengan berbagai teori pembangunan yang disumpalkan kepada negara-negara miskin dan berkembang oleh lembaga donor sebagai syarat pengucuran dana. Pengalaman Indonesia, dalam masa Orde Baru bisa sedikit memberikan gambaran, yang pada akhirnya meskipun berbagai resep dilakukan ternyata tidak sesuai dengan harapan rakyat setempat. Pembangunan, pada akhirnya menciptakan kesenjangan.

Mirip dengan apa yang diherankan oleh Prof. Susetiawan (2007), kenapa proses pembangunan yang telah berjalan berpuluh tahun dengan bantuan hutang dari luar negeri, namun angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan berarti. Bila disandingkan dengan konteks good governance, keheranan ini menjadi relevan. Good governance merupakan instrumen syarat pengucuran hutang dan telah diterapkan dalam tata laksana pemerintahan sepanjang reformasi, namun pada sisi yang lain korupsi dalam birokrasi tidak juga beranjak turun. Bahkan dalam tataran yang lebih luas, penyimpangan birokrasi pun seperti tak menemui istilah tamat, misalnya masih maraknya pungli, mafia hukum, mafia pajak, penyuapan, dan lain-lain.

Good governance merupakan nilai-nilai yang harus dipenuhi oleh sebuah negara sebagai syarat dalam penerimaan bantuan dari lembaga donor. Yang perlu dipahami adalah bahwa lembaga-lembaga donor tersebut merupakan bagian dari neo liberalisme. Sedangkan neo liberalisme sendiri memerlukan perluasan pasar untuk mempertahankan eksistensinya. Maka, tidak heran jika nilai-nilai good governance sangat pro pasar, bahkan pasar (baca: swasta/koorporasi) menjadi instrumen utama dalam pengelolaan pemerintahan, selain instrumen negara dan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)