Birokrasi yang Melayani Pasar

Kamis, 21 Maret 2013

Tiga unsur penting dalam good governance adalah pemerintah, rakyat, dan swasta. Kita juga mengenal reinventing government; menemukan/mengembalikan kembali pemerintah dalam bentuk aslinya. Selain dipuja dan dipuji sebagai konsep tata kelola pemerintahan yang baik, banyak kalangan (termasuk akademisi dan terlebih aktivis LSM) yang mengkritisinya. Terutama karena adanya unsur swasta di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa yang salah dengan konsep good governance yang menjadikan swasta sebagai salah satu dari trinitas tata kelola pemerintahan? Apa yang keliru dari model birokrasi baru dalam reinventing government yang pro pasar?

Di sinilah kita harus cermat dan hati-hati. Paling tidak, menurut Yustika (2009), ada dua hal yang perlu dikritisi mengenai peran swasta dalam kaitannya dengan pengelolaan pemerintahan.

Pertama, terdapat efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam mempengaruhi seluruh lekuk kehidupan. Di negara berkembang pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi) dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga menentukan hidup matinya kepentingan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik. Dampaknya adalah, pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang untuk melakukan interaksi sosial. Dengan begitu, matinya pelaku ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.

Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk membeli kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung dipenggal di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan mengurangi profit mereka. Ini merupakan konsekuensi paling serius dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan  berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup mengawalnya. Modal bisa menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan hukum yang dimilikinya sendiri, yakni kekuatan yang besar akan memakan daya yang lebih kecil.


Sedangkan menurut Putra (2001), logika yang ditemukan dalam reinventing government adalah pasar. Rakyat yang tak berdaya secara ekonomi jelas tak mampu mengakses pasar yang bertuhankan kapital itu. Rakyat tentu hanya menjadi elemen komplementer yang dengan mudah direkayasa kebutuhannya demi kepentingan pasar. Ini ditunjukkan dengan “mem-pasar-kan” birokrasi. Birokrasi yang mewirausaha itu, dalam tataran konseptualnya saja sudah sangat terasa betapa warna borjuistiknya, di situ pasti akan sangat berkaitan dengan transaksi-transaksi ekonomik. Pelayanan yang diberikan oleh pejabat publik kepada rakyat diibaratkan sebagai sebuah produk dari perusahaan tertentu yang akan dipasarkan.

Sebagian kalangan kemudian mengaitkan dengan neo liberalisme. Lalu, apa yang berbahaya (bila tidak menyebut sebagai kekeliruan) neo liberalisme dari good governance itu sendiri? Neo liberalisme merupakan salah satu bagian dari proyek hegemoni yang mengkonsentrasikan kekuasaan dan kemakmuran pada sekelompok elit di dunia, terutama mereka yang mengambil keuntungan dan kepentingan secara finansial di dalam setiap negara. Neo liberalisme, oleh sebabnya, tidak terpisahkan dengan globalisasi dan imperialisme (Filho dan Johnston, 2005; dalam Wiratraman, 2007). Karakter paling mendasar dalam neo liberalisme adalah sistem penggunaan kekuasaan negara untuk mewajibkan kebijakan-kebijakan pasar dan keuangan di dalam sebuah proses domestik.

Data-data yang dikemukanan oleh Kafil Yamin (2012) membuat kita tersentak. Betapa luar biasanya dampak yang diderita oleh rakyat dan lingkungan akibat konstruksi neo liberalisme yang menancapkan pahamnya ke dalam sebuah negara. Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju. Penerimaan negara dari mineral dan batubara (minerba) hanya 3 persen (21 trilyun pada tahun 2006). Padahal kerusakan lingkungan dan hutan yang terjadi sangat dahsyat dan mengerikan! Bandingkan dengan devisa remittance dari para tenaga kerja Indonesia (TKI) saja bisa mencapai 30 trilyun pada tahun sama. Jadi kemanakah larinya hasil emas, tembaga, nikel, perak, batubara, hasil hutan lainnya, dan seterusnya, yang ribuan trilyun itu. Kemudian dengan iming-iming pinjaman US$ 400 juta dari World Bank, Undang-Undang Migas harus memuat ayat: Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25% hasil produksi gas-nya. Bayangkan, kita eksportir gas terbesar di Asia, tapi penggunaan gasnya diatur dari luar. Akibatnya, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer tutup karena kekurangan pasokan gas. Ini tikus mati di lumbung padi!

Selain itu, berdasarkan catatan Jusup (2010) sebesar 80 persen atau senilai 98 miliar dolar AS, uang yang dibelanjakan oleh konsumen rumah tangga beredar di pasar modern, terutama di hipermarket, yang jumlahnya hanya mencapai 500.000-an unit. Sementara, uang belanja konsumen rumah tangga sebanyak 24,5 miliar dolar AS per tahun harus diperebutkan oleh 1,7 juta unit pasar rakyat/tradisional. Tentunya perbandingan antara omzet pasar modern dan pasar rakyat/tradisional terasa jomplang. Uang 98 miliar dolar AS untuk 500.000-an unit pasar modern dibandingkan uang 24,5 miliar dolar AS untuk 1,7 juta unit pasar rakyat/tradisonal. Bila melihat tren saat ini, setiap pembukaan cabang 1 pasar modern skala hipermarket, maka akan bisa menyedot konsumen dari 3 pasar rakyat/tradisional.

Tulisan ini memang tidak memberikan solusi kepada pemerintah, apa yang bisa dilakukan dan bagaimana pemerintah menghadapi konstruksi neo liberalisme. Secara legal formal, pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2010 telah membuat grand desain reformasi birokrasi. Salah satu hasil yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam regulasi tersebut adalah terwujudnya tata laksana kepemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Dengan demikian, pemerintah secara langsung atau tak langsung, sadar atau terpaksa, masuk dalam bagian konstruksi neo liberalisme, sehingga bisa dipahami berbagai kebijakan (sebagaimana data-data di atas yang hanya menggambarkan sebagian saja) lebih mementingkan pihak asing daripada rakyatnya sendiri. Atau, meminjam istilah Prof. Susetiawan (2009) pemerintah telah menjadi komprador dari neo liberalisme itu sendiri. Meskipun demikian, paling tidak tulisan ini bermaksud menggugat dan menggugah sedikit alam pikir kita agar segera sadar apa yang sebenarnya terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)