Rakyat Jogja marah. Marahnya tak tanggung-tanggung menular pada rakyat daerah lain di Pulau Jawa. Menurut saya rakyat daerah lain itu elit politik di Jakarta. Gara-garanya Bapak Presiden SBY berencana mengutak-atik keistimewaan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Rakyat Jogja tidak senang jika sultan yang selama ini sekaligus menjadi gubernur dipaksa tidak menjadi gubernur lagi. Sultan itu gubernur, gubernur itu ya sultan. Tidak bisa diubah lagi, ora isa diowahi. Itu sudah pakemnya di Jogja. Bisa kualat nanti.
Sebenarnya berita ini sudah lama, basi. Namun hasil finalnya belum tahu, masih dibahas oleh para elit politik. Tak apalah mengungkit lagi hal ini, meniru para tokoh yang pandai berbicara di depan kamera. Karena sepertinya ada yang janggal di sistem negeri ini yang katanya demokrasi.
Di bangku kuliah atau di buku-buku referensi politik, salah satu ciri demokrasi adalah adanya pembatasan kekuasaan, maksudnya ada periodeisasi jabatan. Artinya siapa pun yang menjadi pimpinan dalam jabatan publik dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Kekuasaan tidak boleh terlalu lama dipegang oleh satu orang apalagi kalau selamanya. Kata orang yang paham politik, bahasa kerennya adalah : "power tends to corrupct". Karena itulah diperlukan pembatasan kekuasaan. Kekuasaan itu cenderung menjadi korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung menjadikan orang korupsi absolut juga.
Di Jogja sultan otomatis menjadi gubernur DIY dan pakualam menjadi wakilnya. Sampai kapan ia berhenti menjadi gubernur? Ya sampai ia sudah tidak menjadi sultan lagi. Padahal jabatan sultan disandang sepanjang hayatnya. Sebelum meninggal ia masih menjadi sultan dan sekaligus menjadi gubernur. Sederhananya menjadi gubernur seumur hidup.
Saya jadi teringat buku-buku sejarah yang membahas tentang jaman Orde Lama. MPRS mengangkat Soekarno menjadi presiden seumur hidup. Saat itu sistem kita dinamakan demokrasi terpimpin. Beberapa tahun kemudian beliau dilengserkan. Rakyat tidak puas. Demonstrasi marak di mana-mana.
Orde Baru yang menjadi pengganti Orde Lama pun setali tiga uang. Soeharto menjadi presiden hingga 32 tahun. Hal ini dilegitimasi melalui MPR, berulang-ulang setiap lima tahun sekali. Rakyat hanya menjadi penonton. Kalau saja tidak ada gelombang reformasi bisa jadi beliau akan menjadi presiden sepanjang hayatnya. Saat itu kita mengenalnya sebagai demokrasi pancasila.
Kembali ke laptop eh maksudnya ke masalah gubernur DIY. Sepertinya mirip ya dengan kondisi Orla dan Orba. Maksudnya kekuasaan harus dipegang seumur hidup. Para wakil rakyat yang duduk di dewan setempat pun mengamini. Persis dengan MPRS dan MPR jaman dulu. Ditambah lagi perangkat desa, abdi dalem, walikota bupati, beberapa organisasi berdemo seia sekata pokoknya sultan otomatis menjadi gubernur. Wah betul-betul demokrasi langsung nih seperti di jaman Socrates.
Demokrasi kan kehendak rakyat. Kalau rakyat memang menghendaki seperti itu berarti kan tidak masalah. Jika rakyat Jogja berdemo besar-besaran hingga ribuan orang menuntut sultan otomatis menjadi gubernur berarti itu sudah menjadi kehendak seluruh rakyat Jogja kan.
Seluruh rakyat? Tunggu dulu. Benarkah yang demo itu mewujudkan representasi seluruh rakyat. Belum tentu. Apa yang tidak demo otomatis juga mendukung yang demo? Belum tentu. Tentunya ada mekanisme tersendiri untuk menyerap aspirasi seluruh rakyat. Bisa jadi lho ribuan orang yang lebih besar selain pendemo itu tidak sepakat dengan apa yang disuarakan oleh para pendemo. Salah satu hasil survey sebuah lembaga bahkan memaparkan hasil yang bertolak belakang. Sebagian besar rakyat Jogja malah menghendaki jabatan gubernur dipilih. Nah lho? Lalu bagaimana? Tanya saja satu persatu warga Jogja. Pilih yang mana. Gitu aja kok repot.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya