Profesor Mohammad Mahfud MD, seorang guru besar Fakultas Hukum, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dan kini menjadi salah satu menteri di Kabinet Pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa Jepang rasanya lebih pas disebut sebagai negara yang mengamalkan Pancasila. Apa sebabnya? Jepang, yang dulu menjajah Indonesia, pernah mengalami keterpurukan pasca Perang Dunia II, dan sekarang menjadi salah satu dari tujuh negara termaju di dunia, budaya hukumnya sangat indah. Peraturan sesederhana apa pun ditaati. Penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukumnya (legal culture) bagus.
Siang, tanggal 16 Januari 2018 Profesor Mahfud berada di sebuah restoran di Nagoya atas undangan ASEAN Nagoya Club (ANC), sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya Jepang. Tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Profesor Shimada. Lahirlah percakapan ringan yang membuat Profesor Mahfud terperangah dan takjub.
“Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim terjadi di Jepang?” tanya Profesor Mahfud.
Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu, lantas menjawab bahwa sepanjang kariernya ia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. Bahkan terpikir pun tidak pernah. Masyarakat juga percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di Jepang hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. Semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim pun, paling jauh kami hanya mengira bahwa hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kami yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.
Sebelum Haruna bertanya balik tentang kondisi hakim di Indonesia, Profesor Mahfud segera mengalihkan ke tema pembicaraan lain. Beliau merasa malu bila harus berbicara keadaan Indonesia dengan tema yang sama. Tentang para hakim di Indonesia yang bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar divonis pidana penjara karena penyuapan.
Sang profesor akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin juga beliau bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang. Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
Catatan Antikorupsi yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch menyebutkan bahwa penegakan hukum di tahun 2022 masih dibayangi korupsi oleh aparat penegak hukum. Sebagai contoh Hakim Agung Gazalba Saleh bersama dua stafnya ditetapkan sebagai tersangka suap untuk penanganan perkara di Mahkamah Agung. Sebelumnya, Hakim Agung Sudrajad Dimyati tertangkap basah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Ia menjadi tersangka dugaan suap dan pungutan liar pengurusan perkara di MA. Dimyati diduga menerima Rp 800 juta dalam kasus suap ini. Skandal korupsi penegak hukum, terlebih seorang hakim agung, jelas meruntuhkan marwah penegakan hukum dan mengikis kepercayaan publik.
Hal tersebut diperparah dengan penjatuhan hukuman yang ringan kepada pelaku korupsi. Kasus Pinangki menjadi contoh aparat penegak hukum menerima suap saat menangani kasus korupsi. Pinangki saat itu merupakan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung. Setelah divonis 4 tahun penjara di tingkat pengadilan tinggi pada 2021, Pinangki bebas bersyarat pada 6 September 2022. Pinangki yang terbukti menjadi makelar kasus dalam pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra terhitung hanya dipenjara 2 tahun 1 bulan. Hukuman ringan Pinangki menjadikan penegakan hukum berakhir antiklimaks.
Profesor Mahfud benar. Kasus penyuapan di Indonesia dan juga kasus korupsi dengan jenis yang lain membuat kita merasa malu sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila. Selain di kalangan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara, panitera), korupsi juga merambah di kalangan swasta dan pemerintahan (menteri, anggota dewan, gubernur, bupati, walikota, duta besar, pegawai negeri, pegawai BUMN/BUMD, hingga kepala desa dan perangkat desa). Berkali-kali kali kita disuguhi pemberitaan para pejabat yang ditangkap oleh lembaga anti rasuah, KPK.
Tanggal 6 April 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan pelaku korupsi. Pada Kamis malam itu, KPK mengamankan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil bersama 27 orang lainnya, yang notabene sebagian besar merupakan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Setelah melakukan pendalaman dan menggelar ekspose, KPK menetapkan tiga orang tersangka, yaitu Bupati Kepulauan Meranti, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kepulauan Meranti, dan Pemeriksa Muda Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau.
Dalam perkara itu, Bupati Kepulauan Meranti diduga melakukan tiga klaster korupsi. Pertama, pemotongan sebesar lima sampai dengan sepuluh persen realisasi anggaran setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kedua, penyuapan dalam pengadaan jasa travel umroh. Ketiga, penyuapan kepada Ketua Tim BPK Perwakilan Riau agar Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Sebelum kasus ini terjadi, nama Bupati Kepulauan Meranti tersebut pernah viral saat ia menyatakan pegawai Kementerian Keuangan sebagai iblis atau setan dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru, 8 Desember 2022. Ia menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah yang dipimpinnya.
Kembali ke kasus korupsi, Bupati Kepulauan Meranti diduga menerima uang sekitar Rp26,1 miliar dari berbagai pihak, termasuk dari potongan anggaran. Pemotongan anggaran oleh kepala daerah sebagaimana yang dilakukan oleh Bupati Kepulauan Meranti menjadi salah satu modus korupsi yang rentan terjadi di daerah. Modus ini menjadi perhatian KPK karena rantai korupsinya saling terkait sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban keuangan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi keuangan negara.
Beberapa hari kemudian, KPK kembali menangkap dan menahan seorang kepala daerah. Tanggal 16 April 2023, Walikota Bandung, Yana Mulyana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyuapan dan penerimaan gratifikasi pengadaan CCTV dan penyedia jasa internet untuk proyek Bandung Smart City. Selain Walikota Bandung, KPK menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka yaitu Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung, dan tiga orang dari pihak swasta.
Pihak swasta diduga memberikan uang suap kepada Walikota Bandung dan fasilitas (gratifikasi) berupa liburan ke luar negeri (Thailand) karena memenangkan lelang proyek Bandung Smart City. Masyarakat yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi kemudian melaporkannya kepada KPK dan ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan. KPK juga menyita barang bukti berupa uang tunai dalam bentuk mata uang rupiah, dolar Singapura, dolar AS, ringgit, yen, dan bath. Selain itu juga disita beberapa sepatu dengan total nilai sekitar Rp 924,6 juta.
Ironisnya, saat menjadi Plt Walikota Bandung pada tahun 2021, Yana Mulyana pernah terpilih menjadi pemimpin perubahan dan menerima penghargaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dan ironisnya lagi, pagi hari sebelum malamnya tertangkap KPK, Walikota Bandung tersebut melakukan pelantikan pejabat lingkup Pemerintah Kota Bandung dan berpidato mengingatkan kepada para pejabat yang dilantiknya untuk memaknai jabatan sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan baik.
Tertangkapnya kepala daerah di tahun 2023 tersebut menambah deretan panjang kasus korupsi di Indonesia. Berdasarkan data di portal kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 2022 terdapat 178 kepala daerah yang telah ditindak oleh KPK, yang terdiri dari 23 gubernur dan 155 bupati/walikota. Sepanjang periode tersebut KPK telah menindak 1.519 orang dengan latar belakang profesi yang beragam, dengan sebagian besar karena perkara pengadaan barang/jasa. Jumlah itu tentu lebih besar jika digabungkan dengan data dari kejaksaan dan kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 sampai dengan Juni 2018 tercatat 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Itu belum profesi yang lain, selain kepala daerah.
Berbagai opini di media massa, pendapat para tokoh, buku pelajaran di sekolah, diktat para mahasiswa di kampus, seminar di kalangan birokrasi, pelatihan kepemimpinan bagi pegawai negeri berisikan bahwa korupsi adalah hal yang buruk yang harus dihindari. Dalam portal KPK disebutkan bahwa korupsi dianggap sebuah kejahatan luar biasa karena memiliki dampak yang masif dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak hanya merugikan negara, korupsi menyengsarakan rakyat di dalamnya. Berbagai dampak korupsi di berbagai bidang bisa dirasakan sendiri oleh kita semua. Cerminan dampak korupsi bisa dilihat dari mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, masyarakat yang semakin miskin, terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan, perkembangan ekonomi terhenti, dan berbagai rencana pembangunan terhambat. Belum lagi dari sisi budaya, korupsi semakin menggerus kearifan lokal dan menggantinya dengan tabiat yang buruk.
Lalu, apa intisari esai ini? Modul wawasan kebangsaan kepemimpinan Pancasila dan integritas menyatakan bahwa korupsi sebagai ancaman terhadap ketahanan nasional. Maka secara sederhana, tidak melakukan korupsi bagi aparatur sipil negara membuatnya ikut andil dalam penegakan ketahanan nasional sekaligus membuktikan adanya integritas pada dirinya. Tidak sekadar simbolisasi berupa teriakan,”Saya Indonesia, Saya Pancasila!” yang selanjutnya diunggah di akun media sosial, namun juga adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan. Demikian.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya