Rakyat Jogja marah karena keistimewaan Jogja diibaratkan sebagai bentuk monarki. Pak Beye yang mengatakan hal itu. Disampaikan pula jangan sampai ada sistem monarki dalam sistem demokrasi di negara kita. Beliau berbicara dalam konteks membahas masa depan RUU Keistimewaan Jogja. Di koran, majalah, televisi, internet, komentar, dan lain-lain memang seolah-olah yang teristimewa dari Jogja adalah karena sultannya otomatis menjadi gubernur. Kalau sultan biasanya memimpin sebuah kerajaan seperti di jaman dahulu, misalnya Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Pajang, dan lain-lain. Sedangkan istilah gubernur diartikan sebagai pemimpin pemerintahan dalam lingkup provinsi.
Jogja mensinergikan 2 hal itu. Sultan dan gubernur dijabat oleh satu orang yang sama. Sebagai gubernur, sultan berhak menjadi pemimpin pemerintahan di provinsi. Sedangkan sebagai sultan, gubernur berwenang memerintah di kerajaannya. Dengan kata lain sultan itu juga raja, rajanya Jogja. Mungkin begitu ya sederhananya.
Namanya raja tentu keturunannya yang akan menjadi penerusnya kelak. Kekuasaannya seumur hidup, kekuasaannya diwariskan kepada keturunannya. Lho bukankah ini ciri dari sistem monarki. Iya. Tapi kenapa ada yang tersinggung dibilang bahwa ini sistem monarki. Ya tersinggung soalnya menyinggung tentang raja,. Raja itu tidak boleh disinggung, yang boleh hanya disanjung.
Kebetulan raja yang sekarang mungkin baik hati. Tidak pernah korupsi. Tidak pernah berbuat kriminal. Memimpin dengan hati sehingga disenangi oleh rakyatnya. Lalu bisakah hal ini berlanjut terus ke anak cucu cicit buyut canggah dan seterusnya. Bisa ya bisa tidak. Kalau iya bersyukurlah rakyatnya karena dipimpin oleh orang berdarah biru yang kebetulan amanah. Tapi kalau sebaliknya? Celaka. Rakyat yang akan sengsara. Sampai kapan? Sampai raja itu wafat, karena kekuasaan dipegang sepanjang hayat.
Itu baru satu sisi. Sisi yang lain bagaimana jika ada konflik perebutan kekuasaan. Ada yang merasa lebih berhak mendapatkan warisan sebagai raja. Yang lain tidak mau mengalah. Lalu timbul raja kembar. Ada raja tandingan. Ada raja perjuangan. Dengan demikian ada juga gubernur tandingan.
Bagaimana kalau sang raja tidak punya keturunan. Bagaimana pula kalau ternyata semua anak raja perempuan. Masak ada raja yang berjenis kelamin perempuan. Raja itu harus laki-laki. Kalau tidak itu namanya ratu. Biasanya yang berhak mewarisi kekuasaan adalah paman dari raja tersebut. Di sini mungkin konflik belum lahir. Akan menjadi masalah jika kemudian sang paman yang akhirnya menjadi raja itu mangkat, siapa yang berhak menggantikan? Anak lelaki dari paman itu atau anak lelaki dari putri raja terdahulu (cucunya). Bisa-bisa perang saudara.
Sisi yang lain lagi, kecemburuan. Bagaimana jika sekitar 40 kerajaan di nusantara menuntut keistimewaan yang sama. Artinya raja mereka masing-masing menuntut diangkat otomatis menjadi kepala pemerintahan di daerah setempat. Seumur hidup dan dapat diwariskan kepada keturunannya.
Siniskah saya kepada Jogja? Ah tidak. Penetapan atau pemilihan gubernur di Jogja bagi saya Jogja telah istimewa di hati saya. Saya hanya bosan dengan pendapat orang-orang yang hanya menyempitkan persoalan keistimewaan Jogja pada masalah kekuasaan an sich. Kenapa tidak digali keistimewaan pada bidang yang lain saja. Saya yakin itu masih banyak.
Sekarang isu ini lenyap, tapi saya yakin suatu saat akan berhembus lagi. DPR dan pemerintah akan membahas RUUK Jogja. Bisa dipastikan pro kontra akan marak lagi. Dan bisa dipastikan pro kotra lebih terpaku pada satu topik, yakni jabatan gubernur. Sebagian rakyat Jogja telah bersikap, tentunya mereka telah cermat dengan konsekuensi ke depannya. Undang-Undang sebisa mungkin dibuat bukan karena kepentingan sesaat. Karena itulah pembuatan peraturan dirancang berlaku untuk tempo yang lama. Juga bukan tergantung pada figur. Semoga pilihan rakyat Jogja tidak salah.
Sayang belum pernah terdengar pendapat Sri Sultan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bs perang antar menantu tuh, kan menantunya cowo smua
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya