Siang hari pasca Sholat Jumat, ratusan orang sudah berkumpul di Bunderan UGM, lokasi paling favorit bagi mahasiswa untuk berdemonstrasi. Ini adalah aksi KAMMI Jogja, melibatkan Komisariat seluruh kampus, di antaranya UGM, UNY, UMY, IAIN, UPN, UAD, UII, dan lain-lain. Waktu itu tahun 2003. Mahasiswa semakin gerah, harapan-harapan rakyat tidak terpenuhi. Reformasi terancam mati. Tak ada pilihan lagi mahasiswa bergerak turun ke jalan. Hampir tiap pekan di kampus muncul aksi-aksi mengritik pemerintah, yang katanya membela wong cilik, namun kenyataannya tidak.
Menjelang sore, hujan turun dengan deras, saat itu barisan longmarch sudah sampai di Gedung Agung, sebelah selatan Jalan Malioboro. Aksi berjalan damai, hanya beberapa kali terlibat dorong-dorongan dengan polisi yang menjaga pagar. Lalu lintas tidaklah macet karena masih ada ruang yang cukup bagi pengguna jalan. Orasi, yel-yel, nyanyian bersahut-sahutan.
Di tengah hujan deras itu tiba-tiba terdengar letusan senjata api berkali-kali. Diikuti beberapa polisi yang mengendarai motor trail, yang entah darimana asalnya, membubarkan massa dengan beringas. Tidak ada yang menduga sama sekali. Tidak ada peringatan sama sekali. Barisan mulai kacau, teriakan bercampur suara tembakan bersahut-sahutan. Teman-teman berlarian ke sana kemari. Sebagian besar menuju ke arah selatan ke arah alun-alun. Para korlap mengarahkan barisan untuk menjauhi lokasi kemudian menggiring menuju Masjid Kauman, sekitar 200 meter dari kejadian.
Beberapa teman dibawa ke truk polisi, di atas sana masih dipukuli. Yang saya tahu yang sempat dibawa adalah Didik (UNY), Henry Dunant (UMY), Amin Fahruddin (UGM), Akbar Tri (UGM), yang lain saya tidak ingat. Didik adalah Ketua Komsat UNY sedangkan Henry adalah Ketua Komsat UMY. Amin Fahruddin saat itu menjadi Kadept Kastrat KAMMI DIY, orang yang paling bertanggungjawab dalam pelaksanaan aksi, teman satu fakultas dengan saya cuma beda angkatan, sekarang ia menjadi staf ahli anggota DPR. Akbar Tri adalah salah satu staf saya di Kastrat UGM, selanjutnya ia menggantikan saya sebagai Ketua Komsat UGM, sekarang menjadi wartawan Tempo. Waktu aksi itu saya menjadi Kabid Kastrat UGM, sedangkan Ketua Komsat UGM adalah Iswahyuli, mahasiswa Fakultas Pertanian.
Sesampai di Masjid Kauman, seusai Sholat Asar, saya dan Nostalgiawan, biasa saya panggil Wawan, Kabid Kastrat UMY diperintahkan Mungki Rahadian, Ketua KAMMI Jogja, untuk mencari keberadaan teman-teman yang dibawa polisi entah ke mana. Wawan selain aktif di KAMMI setahu saya juga aktif FLP (Forum Lingkar Pena) dan pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen. Kami ambil motor yang terparkir di depan Gedung Agung. Sepeda pancal saya juga masih terparkir di sana. Saya pesan pada Yusmaul Huda, Ketua Korfak Ekonomi UGM agar membawa sepeda itu soalnya saya mau mencari teman-teman. Di depan Gedung Agung itu pula berserakan puluhan sandal dan sepatu yang tidak bertuan, kebanyakan milik teman-teman putri. Saya tidak bisa membayangkan mereka pulang dengan telanjang kaki (mungkin hanya beralas kaos kaki).
Awalnya kami ke kantor polisi (saya lupa nama markasnya) di dekat Perpusda. Teman-teman tidak ada. Ternyata mereka di Poltabes, tak jauh dari Malioboro. Ada sekitar sepuluh teman di sana, namun tidak ditahan. Ada satu yang terluka, yang lain tidak apa-apa. Kalau komandannya sih ramah banget (saya lupa namanya), tapi anak buahnya gualaknya minta ampun, main bentak.
Setelah berdebat sengit akhirnya teman-teman pun dilepas. Sambil menunggu mobil jemputan, kami sholat Maghrib di masjid kantor polisi, berjamaah dengan para polisi yang tadi siang bentrok dengan kami. Ah ternyata kiblat kita juga sama. Oleh Pak Komandan kami dipesankan ayam goreng. Sengsara membawa nikmat. Hehehe...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
demo ya demo tapi waktunya lapar ya makan, gitu ya gan. sip deh...apalagi ada yg nraktir
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya