Saya baca di koran ada beberapa Kepala Desa di daerah Madiun dan Magetan dijadikan tersangka dalam kasus prona sertifikasi tanah. Beberapa orang sudah dijadikan terdakwa dan duduk di pesakitan menghadapi persidangan. Hidup mereka pun tak bebas, karena harus menghabiskan hari-harinya di balik jeruji besi. Gara-garanya ya prona tadi. Prona atau program nasional merupakan program dari pemerintah pusat untuk membebaskan pengenaan tarif dalam hal sertifikasi tanah di daerah tertentu. Institusi pelaksananya adalah BPN (Badan Pertanahan Nasional). Istilahnya prona gratis.
Logikanya kalau sudah gratis berarti tidak ada tarikan biaya apa pun, sepeser pun, dengan dalih apa pun. Namun kenyataannya tidak. Warga desa yang tanah terkena program prona ternayat masih dikenai biaya tertentu oleh perangkat desa atas perintah Kepala Desa. Tindakan ini pun tercium aparat penegak hukum dan ujung-ujungnya Kepala Desa diperkarakan hingga masuk bui.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah memang prona benar-benar gratis? Apakah Kepala Desa benar-benar pelaku kejahatan yang tidak bisa dimaafkan, atau malah hanya sebagai tumbal (korban)? Saya tidak sedang membela ’pelaku kejahatan’, toh belum tentu orang yang disidang memang bersalah. Saya ingin melihat sisi lain kebijakan Kepala Desa yang dianggap menyelewengkan wewenangnya. Saya ingin sesuatu diletakkan secara proporsional. Itulah namanya keadilan.
Menurut saya, setelah membaca berita di koran, biaya prona yang gratis itu hanya dalam pengurusan di BPN. Di luar BPN boleh gratis, boleh tidak. Artinya jika desa sanggup membiayai biaya-biaya lain di luar BPN maka tidak masalah jika seluruh proses sertifikasi tanah gratis. Namun jika desa tidak mampu, apakah harus dipaksakan gratis. Apakah Kepala Desa sanggup menanggung biaya-biaya yang tak ter-cover dalam anggaran di BPN untuk kepentingan warga desanya. Saya rasa tidak ada, karena biayanya mahal tidak sebanding penghasilan seorang Kepala Desa.
Selain itu lepas dari benar-tidak adanya paksaan kepada warga desa, forum musyawarah desa, sebuah forum yang mewujudkan ciri asli budaya Indonesia, telah menyepakati adanya biaya yang tidak ter-cover dalam prona.
Saya akan membandingkan prona sertifikasi gratis dengan sekolah gratis. Saat ini para siswa bebas dari uang SPP karena ada BOS (Biaya Operasional Sekolah). Sekolah juga dilarang menarik uang. Namun apakah dengan demikian siswa memang benar-benar tidak mengeluarkan sepeser uang pun untuk menikmati pendidikan. Tidak juga. Mereka harus mengeluarkan uang jika membeli buku di toko buku. Mereka tetap harus membayar harga pensil dan pena di toko alat tulis. Mereka masih harus membayar ongkos angkot yang mengantar sampai ke gerbang sekolah. Lalu apakah dengan demikian Kepala Sekolah layak dipidana? Apa dengan demikian pemilik toko buku, penjaga toko alat tulis, dan sopir angkot juga layak diajukan ke sidang persidangan?
Bandingkan dengan prona gratis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ijin copas ya mas.....
ulasan yang menarik, konon kejadian serupa juga menimpa kabupaten antah berantah... diduga ada permainan antara oknum LSM dan Oknum aparat
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya