Santun Berkendara

Selasa, 31 Juli 2012

Jalanan di Ngawi terjenal sebagai jalur maut. Sering terjadi kecelakaan dengan korban jiwa yang tak sedikit. Jalur Ngawi-Geneng, Ngawi-Mantingan, dan Ngawi-Karangjati adalah beberapa di antaranya. Jalanan di Ngawi memang berbahaya, banyak yang rusak. Penyebabnya sih katanya tanah yang labil. Orang sering menyebutnya tanah gerak. Alhasil jalan yang baru saja diaspal beberapa tahun kemudian kembali rusak. Inilah yang menyebabkan kecelakaan.

Masih ingat artis kawakan Sopan Sofian. Ia mengalami kecelakaan di jalur Ngawi-Mantingan dalam rombongan tur mogenya. Maut pun merenggut nyawa. Saat itu jalanan dianggap sebagai biang keladi penyebabnya. Pasca itu, jalanan Ngawi-Mantingan mulus diperbaiki. Orang-orang yang bilang, kayaknya harus nunggu adanya tumbal dulu baru jalanan diperbaiki.

Namun menyalahkan rusaknya jalan semata juga bukan pikiran yang bijak. Ada pula faktor yang berperan di dalamnya yakni manusia. Kesadaran pengendara dituntut agar kelancaran berkendara menjadi terjamin.

Setiap berangkat ke kantor saya pasti melewati pertigaan Karangasri. Tempatnya strategis, menghubungkan jalur ke luar kota. Ke arah timur merupakan jalur ke Surabaya, sedangkan ke barat merupakan jalur ke Solo, sedangkan ke utara merupakan jalur menuju Bojonegoro. Agak ke utara sedikit, terutama jika malam hari banyak kendaraan berat yang ngetem di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Pertigaan ini ditandai dengan adanya taman yang indah yang dibangun dengan sponsor salah satu bank daerah.

Survei Toleransi

Sabtu, 28 Juli 2012

Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. "Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk "Demokrasi Minim Toleransi" di kantornya. (tempo.co.id, 5 Juni 2012).

Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.

Saya tidak membaca secara lengkap hasil survei CSIS karena memang tidak tersedia bahannya secara luas, apalagi dipublikasikan secara online. Barangkali hanya wartawan yang memiliki, yang kemudian dipublikasikan dalam medianya. Itu pun tidak seluruhnya. Mudah-mudahan apa yang saya baca di media sama dengan hasil survei CSIS. Berdasarkan angka-angka survei di atas, CSIS (dalam hal ini Philips sebagai salah satu Kadep) menyimpulkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.

Ada yang ingin saya sampaikan di sini. Pertama, saya masih belum bisa mengerti dengan angka-angka. Maafkanlah saya yang bukan ahli statistik. 33,7 persen berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, padahal persentase yang lebih banyak (59,5) tidak keberatan, tapi hasil akhirnya malah disimpulkan intoleran. Selain itu saya rasa setiap orang memiliki pendapat pribadi, termasuk dengan siapa ingin bertetangga. Termasuk pula dengan siapa ia ingin berkenalan, dengan siapa ia ingin berteman, dengan siapa ia ingin menikah, dan sebagainya. Pendapat seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja. Yang dilarang bila mengganggu orang lain.

Eksisnya Kelas Jauh

Rabu, 25 Juli 2012

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2007 menegaskan bahwa kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif bukanlah terminologi resmi Departemen Pendidikan Nasional, dengan demikian istilah itu tidak dikenal. Istilah tersebut (kelas jauh dan semacamnya) hanya digunakan oleh perguruan tinggi (PT) dalam upaya menarik minat calon mahasiswa. Penyeleggaraan kelas jauh dan semacamnya tidak sesuai dengan kaidah dan norma pendidikan tinggi dan Dirjen Dikti mengancam akan menindak tegas para penyelenggaranya.

Dalam suratnya kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang bernomor 1506/D/T/2005 tanggal 16 Mei 2005 tersebut Dirjen Dikti mengusulkan kepada BKN untuk dapat menerapkan tambahan persyaratan dalam rangka penerapan civil effect. Hal ini dimaksud untuk memberikan keadilan bagi lulusan PT yang menempuh pendidikan melalui program reguler. Adapun tambahan persyaratan itu adalah jaminan dari pimpinan PT  bahwa tidak ada kelas jauh dan semacamnya, dan bila ternyata ada maka penetapan civil effectnya akan dibatalkan. Civil efect ini berkaitan dengan pengelolaan kepegawaian PNS antara lain penerimaan CPNS, penyesuaian ijazah, kenaikan pangkat, dan promosi jabatan.

Namun sepertinya ancaman penyelenggaraan kelas jauh dianggap angin lalu. Masih banyak yang melanggarnya karena pada tahun 2007 Dirjen Dikti mengeluarkan lagi surat yang ditujukan kepada Kepala BKN termasuk seluruh regionalnya, Kepala BKD, Bupati, dan Koordinator Kopertis se-Indonesia. Dalam surat itu disebutkan bahwa masih banyak penyelenggaraan pendidikan dengan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu”. Penyelenggaraan pendidikan tersebut melanggar norma dan kaidah akademik yang kualitas penyelenggaraan dan lulusannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Jauh sebelumnya Dikti sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu Minggu” dan menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.

Oknum, Si Kambing Hitam

Minggu, 22 Juli 2012


Sekali lagi muncul kasus yang melibatkan pegawai pajak. Seorang pegawai pajak memiliki rekening dengan jumlah milyaran yang diduga diperoleh dengan cara yang tak benar. Suatu angka yang mencengangkan ditilik statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Publik mereaksi dengan menyimpulkan bahwa mafia pajak tak pernah mati.

Dulu kita dihebohkan dengan Gayus, pegawai pajak yang kini mendekam di bui. Kasusnya juga bermula dengan kecurigaan adanya milyaran rupiah di rekening. Kasus Gayus amat menarik, karena dampaknya mengenai pula beberapa orang. Akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman, dan aparat dari Departemen Keuangan  kehilangan jabatan dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara.

Mendekamnya Gayus di penjara tak membuat kebebasannya lenyap. Terbukti ia bisa menyaksikan pertandingan tenis di pulau Bali. Ternyata tempat tahanan di Markas Besar Brimob, satuan elit kepolisian, mudah saja ditembusnya. Polisi yang menjaganya dijatah jutaan rupiah setiap kali ia keluar penjara.

Munculnya kasus di berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum membuat heran sekaligus geram masyarakat. Heran karena dengan sistem yang dibuat sedemikian rupa, baik ancaman sanksi maupun iming-iming remunerasi, toh uang negara tetap saja digarong. Geram, karena rakyat yang semakin terhimpit beban hidupnya dipaksa menyaksikan polah tingkah abdi negara. Terulang dan terus terulang. Tak sedikit rakyat yang menginginkan pengadilan jalanan. Banyak pula yang mengeluarkan uneg-uneg melalui situs jejaring sosial mengecam koruptor. Penjarakan seumur hidup, hukum mati, tembak di tempat, gantung, miskinkan koruptor adalah sebagian harapan.

Macan Kertas UU Sisdiknas

Kamis, 19 Juli 2012

Beberapa tahun lalu timbul polemik tentang munculnya kelas jauh yang dilakukan oleh tiga perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, yakni UGM, ITB, dan Unpad. UGM membuka kampus cabang di Jakarta untuk Program Magister Manajemen, tempatnya di bekas kantor pusat Bapindo. Para peminat kuliah pasca sarjana tak perlu repot-repot datang ke Bulaksumur Yogya untuk mendapatkan materi perkuliahan. Cukup kuliah di Gondangdia mereka bisa mendapatkan ijazah dari UGM.

Sama dengan UGM, ITB membuka kelas jauh di luar Bandung yakni kampus pasca sarjana di Lippo Cikarang, Bekasi. Sedangkan Unpad membuka kampus barunya di Bank Bumi Daya Plaza, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.

Program "kelas jauh" itu pun menjadi perbincangan. Sempat timbul polemik di media massa. Pasalnya, Departemen Pendidikan Nasional dengan tegas melarangnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) melayangkan surat peringatan. Surat itu ditujukan kepada tiga perguruan tinggi yang bersikeras membuka program kelas jauhnya: UGM, ITB, dan Unpad.

Dirjen Dikti telah berkali-kali memperingatkan ketiga perguruan tinggi itu. Dalam surat terakhirnya, ia mengancam segera menjatuhkan sanksi jika perintah menutup program kelas jauh tetap tak diindahkan. Hukumannya seram: pemerintah tak akan memberi subsidi dan dukungan fasilitas. Proses kenaikan jabatan dan pangkat dosennya akan ditunda. Tapi, dari pihak kampus sepertinya tak terpengaruh oleh ancaman tersebut. Kelas jauh pun jalan terus. Tak jelas apakah sanksi itu benar-benar dijatuhkan atau tidak.

Menyopankan Pelacur

Senin, 16 Juli 2012

Orang bilang pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Pelacuran muncul sebagai akibat kebutuhan manusia yang bersifat biologis. Sebenarnya agama telah menyediakan pranata berupa perkawinan. Antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan mendapatkan kesempatan menikmati hubungan biologis secara sah. Namanya juga manusia, perintah agama pun diabaikan. Sebagaimana kebutuhan akan makan dan minum, dalam hal ini ada pula manusia yang melanggar. Kebutuhan makan dan minum dilanggar dengan mencuri. Agar hasil lebih besar lagi dengan merampok. Kebutuan biologis dipenuhi dengan mendatangi pelacur. Maka, pencurian, perampokan, dan pelacuran pun menjadi bagian kriminal.

Pelacur menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila (WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.

Tuna artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya. Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka yang berhasil dengan berwiraswasta.  

Lalu bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari perkara yang dilarangnya.

Kaburnya Penafsiran Kelas Jauh

Jumat, 13 Juli 2012

Periode kenaikan pangkat PNS pada bulan April 2012 lalu di daerah saya (Ngawi) menyisakan sedikit persoalan. Paling tidak ada 3 PNS yang terganjal kenaikan pangkatnya gara-gara ijazah. Ketiganya masing-masing lulusan perguruan tinggi yang kampusnya berlokasi di Yogya, Malang, dan Surabaya. Ketiganya memperoleh gelar sarjana di saat telah menjadi PNS. Dengan demikian proses perkuliahan hingga lulus dilaksanakan saat mereka berstatus PNS. BKN tidak dapat memroses kenaikan pangkatnya karena ijazah yang diperoleh dianggap sebagai produk kelas jauh.

Bisa dimaklumi jika BKN memberikan alasan sebagai kelas jauh. Logikanya untuk mendapatkan ijazah maka harus menjalani proses perkuliahan di kampus. Sedangkan lokasi kampus itu sendiri berada di luar Ngawi. Paling tidak untuk menempuh Yogya, Malang, atau Surabaya membutuhkan waktu 4 jam dengan kendaraan umum. Namun kenyataannya mereka berhasil menggondol ijazah, sedangkan di sisi lain mereka bukanlah peserta tugas belajar yang diberikan kesempatan untuk meninggalkan dinas. Dengan demikian tidaklah mungkin ijazah itu diperoleh bila tidak menggunakan model kelas jauh. Demikianlah kira-kira logika penolakan kenaikan pangkat.

Memang pemerintah melarang kelas jauh atau terminologi sejenis. Beberapa kali Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran. Yang saya catat setidaknya ada 8 SE yakni pada tanggal 7 Januari 1988, 21 Oktober 1997, 4 Agustus 2000, 20 September 2000, 23 September 2002, 16 Mei 2005, 27 Februari 2007, dan 15 Juli 2011. PT yang menyelenggarakan kelas jauh terancam sanksi. Namun sayangnya ancaman tersebut tidak begitu diindahkan, terbukti sampai sekarang pun kelas jauh masih marak.

Selain itu belum jelas pula tentang pendefinisian kelas jauh. Kenapa sebuah program studi dikategorikan sebagai kelas jauh. BKN sendiri selama ini belum pernah memberikan aturan secara formal dan tertulis tentang kelas jauh. Maka, bisa dimaklumi jika di tengah masyarakat versi kelas jauh pun beragam.

Belanja Pegawai Ideal

Selasa, 10 Juli 2012

Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketetentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal (lihat PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah). Contohnya gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Berapa sebenarnya persentase ideal belanja pegawai dalam APBD? Belum ada angka yang pasti. Secara tersirat pemerintah menekankan di bawah 50 persen, yakni berdasarkan peraturan bersama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan pada tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Perber ini menegaskan adanya moratorium rekrutmen CPNS mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Namun ada pengecualian, misalnya untuk memenuhi tenaga pendidik, tenaga dokter, bidan, dan perawat asalkan belanja pegawai dalam APBD di bawah 50 persen. Dalam berbagai kesempatan beberapa pejabat pemerintah pusat juga melarang pengadaan rekrutmen CPNS di daerah apabila belanja pegawai dalam APBD-nya lebih dari 50 persen.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Anggaran ini di luar dana untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Selain itu berdasarkan Pasal 171 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan besarnya anggaran untuk kesehatan dalam APBD adalah minimal 10 persen di luar gaji. Dengan demikian APBD telah terkunci minimal 30 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Ini bisa lebih terutama untuk biaya-biaya selain pendidikan dan kesehatan, misalnya dana alokasi desa. Rancangan UU tentang Desa menyebutkan 10 persen anggaran untuk desa, tapi hingga sekarang belum di-dok. Karena belum terwujud maka besarnya ADD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah.

Dana yang masih ada pada APBD, yakni 60 persen (selain pendidikan, kesehatan, dan desa) itulah yang digunakan untuk belanja lain, misalnya belanja pegawai, hibah,  bantuan sosial, subsidi, belanda tak terduga, dan lain-lain. Atau disederhanakan belanja pegawai dan belanja non pegawai. Bila dibagi dua secara seimbang maka masing-masing mendapat jatah 30 persen. Angka 30 persen inilah yang mungkin dianggap ideal sebagai belanja pegawai.

Negara Muslim, GKI Yasmin, dan Toleransi

Sabtu, 07 Juli 2012

Pada tanggal 5 Juni 2012 opini mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi yang berjudul “Tudingan Intoleransi Beragama” dimuat oleh Sindo. Selanjutnya Victor Silaen, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan mengritik dalam opininya yang berjudul “Pidato Muzadi dan Toleransi Beragama” yang dimuat Sinar Harapan pada tanggal 20 Juni 2012. Pangkal kritiknya mengenai istilah negara muslim, permasalahan GKI Yasmin yang sengaja dipelihara, dan toleransi beragama di Indonesia. Tulisan di bawah berupaya menanggapi kritikan Victor.

Negara Muslim
Indonesia adalah negara muslim artinya negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Dalam kenyataannya di antara agama yang diakui dan hidup di negara ini, agama Islam-lah yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Negara muslim berbeda dengan negara Islam. Negara Islam diartikan sebagai negara yang berdasarkan pada ajaran agama Islam (syariat Islam). Dengan demikian Islam itu merujuk pada ajaran, sedangkan muslim merujuk pada penganut.

Masalah istilah memang terbuka lebar untuk diperdebatkan, namun secara umum penyebutan negara muslim sering diungkapkan untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Indonesia. Ini mirip dengan penyebutan negara agraris yang menggambarkan negara dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Atau negara bahari untuk menggambarkan negara yang wilayah lautnya lebih luas daripada daratan.

Indonesia memang bukan negara Islam, meskipun sebagian penganutnya menginginkannya. Atas dasar toleransi, umat Islam mengikhlaskan landasan negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai Pancasila, bukan pada salah satu ajaran agama. Meskipun negara muslim, bukan berarti negara Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim saja. Toh, warga yang beragama lain pun mendapatkan kebebasan menjalankan ibadan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Komersialisasi Pendidikan

Rabu, 04 Juli 2012

Awal saya bekerja sebagai PNS ada yang membuat diri saya terkagum-kagum. Saya perhatikan banyak pejabat di kota ini yang menyandang gelar S2 di belakang nama mereka. Sepertinya hampir semua pimpinan kantor telah menyandangnya. Jajaran di bawahnya pun tak mau kalah. Sebut saja gelar M.M., M.Si., M.Hum., M.H., dan sebagainya. Untuk ukuran sebuah kota Ngawi yang kecil hal itu bagi saya sungguh luar biasa. Birokrat ternyata peduli dengan pendidikan, tentu saja pendidikan bagi diri mereka sendiri.

Saat itu saya memang baru saja lulus kuliah dari UGM. Tentunya baru pada taraf S1. Untuk masuk saja sulitnya setengah mati, lebih-lebih untuk keluarnya. Artinya, tes menjadi mahasiswa di kampus tertua se-Indonesia itu harus bersaing dengan banyak orang. Antara yang melamar dan yang diterima perbandingannya amat jauh. Banyak yang gagal. Setelah menjadi mahasiswa pun butuh waktu bertahun-tahun untuk meraih gelar sarjana. Tidak instan. Kuliah reguler hampir setiap hari. Jatuh bangun mengulang mata kuliah yang nilainya amburadul. Mengerjakan tugas. Kuliah Kerja Nyata. Menyelesaikan skripsi. Ujian pendadaran. Di samping itu juga kesibukan di lembaga intra dan ekstra kampus. Meskipun berat namun sungguh mengasyikkan. Dan, gelar sarjana itu pun teraih.

Maka, demi melihat gelar Pasca Sarjana pada para birokrat itu, saya terkesima. Saya membayangkan betapa lebih beratnya meraih. Untuk meraih S1 saja sudah begitu beratnya apalagi yang S2. Belum lagi biayanya. SPP tiap semesternya. Uang kosnya. Transportasinya. Penelitiannya. Tesisnya. Dan sebagainya. Padahal mereka sudah menjadi pejabat. Mereka pula telah berkeluarga. Namun ketakjuban saya hanya sesaat. Ada teman yang membisiki, mereka itu produk kelas jauh. Apa maksudnya?

Kelas jauh diartikan sebagai proses perkuliahan yang dilaksanakan di luar domisili kampus. Misalnya kampus tersebut aslinya berada di Jakarta namun proses perkuliahannya dilakukan di Ngawi. Dosen-dosennya datang berkunjung ke Ngawi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal. Saat itu ternyata lokasi yang digunakan masih di dalam lingkungan Pemda. Secara tidak langsung Pemda pun memberikan perlindungan.

Peran Uang dalam Pengembangan Karir

Minggu, 01 Juli 2012

Uang mempunyai pengaruh dalam dunia kerja. Sedikit atau banyak keberadaan uang mempengaruhi diterimanya seseorang dalam sebuah instansi atau perusahaan. Memang tidak semuanya, tapi pasti ada. Dalam konteks yang agak mirip, kalau saja menjadi anggota dewan dianggap sebagai perburuan mencari pekerjaan, maka uang menjadi sesuatu yang amat penting. Hampir bisa dipastikan tanpa modal sekian J, M, atau T, mustahil menjadi anggota dewan. Bahkan untuk masuk daftar calon yang diusulkan parpol saja harus menyediakan duit. Masyarakat pun seakan bertangan terbuka dengan adanya politik uang dalam setiap pemilu.

Demikian pula dalam hal perebutan jabatan politis kepala daerah. Tak tanggung-tanggung kabarnya untuk sebuah kabupaten saja seorang calon mesti menyediakan uang 100 milyar. Padahal kalaupun terpilih, penghasilannya selama lima tahun tak akan bisa mengembalikan modal yang terlanjur dikeluarkan. Di tingkat desa bahkan dusun pun setali tiga uang, meskipun besarnya tak sefantastis pemilukada atau pemilu nasional. Di suatu daerah saya mendengar cerita ada calon yang mesti mengeluarkan modal sebesar 1 milyar hanya untuk njago kepala dusun. Saya tulis lagi: Kepala Dusun! Dan, kalah. Masya Allah.

Permainan uang juga selalu menjadi desas-desus dalam rekrutmen pegawai negeri. Sudah menjadi rahasia umum bila kursi pegawai negeri ditransaksikan dengan uang. Meskipun hal ini berkali-kali dibantah oleh para pejabat. Namun berkali-kali pula masyarakat tak segan menuduh ada permainan uang. Bisa jadi karena memang benar adanya. Atau bisa jadi sebagai pelampiasan emosi karena gagal dalam persaingan.

Jer basuki mawa beya. Motto ini bahkan menjadi semboyan resmi salah satu pemerintah provinsi di pulau Jawa. Artinya kurang lebih adalah kalau mau sukses atau berhasil harus dengan biaya. Selayaknya tak ada yang gratis di dunia ini. Tapi barangkali bukan itu maksud pembuat semboyan. Mungkin lebih dimaknai jika mau berhasil harus berusaha dulu, termasuk menyediakan biaya. Artinya biaya, uang, dana, anggaran, atau duit bukan parameter kunci dan satu-satunya, meskipun tetap saja penting. Ada parameter lain, misalnya kerja keras, kesungguhan, rajin, terus mencoba, dan seterusnya.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)