Oknum, Si Kambing Hitam

Minggu, 22 Juli 2012


Sekali lagi muncul kasus yang melibatkan pegawai pajak. Seorang pegawai pajak memiliki rekening dengan jumlah milyaran yang diduga diperoleh dengan cara yang tak benar. Suatu angka yang mencengangkan ditilik statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Publik mereaksi dengan menyimpulkan bahwa mafia pajak tak pernah mati.

Dulu kita dihebohkan dengan Gayus, pegawai pajak yang kini mendekam di bui. Kasusnya juga bermula dengan kecurigaan adanya milyaran rupiah di rekening. Kasus Gayus amat menarik, karena dampaknya mengenai pula beberapa orang. Akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman, dan aparat dari Departemen Keuangan  kehilangan jabatan dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara.

Mendekamnya Gayus di penjara tak membuat kebebasannya lenyap. Terbukti ia bisa menyaksikan pertandingan tenis di pulau Bali. Ternyata tempat tahanan di Markas Besar Brimob, satuan elit kepolisian, mudah saja ditembusnya. Polisi yang menjaganya dijatah jutaan rupiah setiap kali ia keluar penjara.

Munculnya kasus di berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum membuat heran sekaligus geram masyarakat. Heran karena dengan sistem yang dibuat sedemikian rupa, baik ancaman sanksi maupun iming-iming remunerasi, toh uang negara tetap saja digarong. Geram, karena rakyat yang semakin terhimpit beban hidupnya dipaksa menyaksikan polah tingkah abdi negara. Terulang dan terus terulang. Tak sedikit rakyat yang menginginkan pengadilan jalanan. Banyak pula yang mengeluarkan uneg-uneg melalui situs jejaring sosial mengecam koruptor. Penjarakan seumur hidup, hukum mati, tembak di tempat, gantung, miskinkan koruptor adalah sebagian harapan.

Jamak terdengar di media komentar petinggi instansi yang anak buahnya terkena kasus hukum. Alih-alih mengakui bobroknya kondisi di lingkungannya, para petinggi itu ramai-ramai mencuci tangan. Seperti kata Budiarto Shambazy, wartawan senior, mereka pandai bersiasat karena selalu punya alibi, dan kalau kepepet mereka masih memiliki senjata pamungkas yang siap membantu yang bernama si oknum.

Dengan menimpakan kesalahan kepada oknum maka selesailah urusan mereka. Oknumlah yang berbuat salah. Oknumlah yang mesti menjadi kambing hitam. Maka muncullah oknum pegawai pajak, oknum polisi, oknum jaksa, oknum hakim, dan oknum-oknum yang lain. Sampai kapan oknum itu ada di muka bumi Indonesia ini. Entahlah, karena sepertinya stok oknum ini tak pernah habis-habisnya.

Aneh benar negeri ini. Dengan sistem yang dibuat sedemian rupa mestinya tidak ada lagi korupsi. Dengan demikian tidak ada pula oknum. Bukankah setiap pegawai negeri dan aparat penegak hukum dibatasi dengan kode etik. Jangankan korupsi milyaran rupiah, menerima uang terima kasih saja diancam dengan sanksi disiplin. Selain itu di setiap penjuru instansi ada institusi pengawasan internal. Sengaja mereka diciptakan agar tidak lahir penyimpangan. Tapi, toh tetap saja korupsi jalan terus.

Sudah menjadi rahasia umum jika sebenarnya di birokrasi selain sistem yang tersusun secara formal (yang tentunya isinya baik-baik saja), ada sistem bayangan. Sistem bayangan ini tidak tertulis, karena isinya hakekatnya terlarang. Namun, demikian keberadaannya amat dibutuhkan.

Maraknya pungutan liar di segenab instansi pemerintah atas pelayanan adminstrasi masyarakat janganlah dimaknai sebagai kejahatan pelaku di garda depan semata. Mereka bukanlah pemain utama, bahkan bisa dibilang mereka jugalah korban. Memang ada segelintir yang berniat memperkaya diri dengan cara yang tak terpuji, tetapi selebihnya tak kuasa melawan sistem bayangan.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah juga tak luput dengan adanya sistem bayangan ini. Secara formal setiap pegawai diwajibkan tidak berpihak. Namun dengan munculnya kepala daerah petahana yang maju lagi dalam pencalonan, mereka terhimpit. Antara prinsip dan jabatan. Antara janji dan ancaman. Dan sebagian luruh dengan janji manis memperoleh jabatan atau ancaman pelengseran jika membangkang kelak di kemudian hari. Birokrasi ternoda dengan permainan politik, dalam sistem yang hanya bayangan tetapi efeknya dahsyat luar biasa.

Sejatinya para oknum itu dibutuhkan. Pada saat kasusnya tidak ketahuan mereka direstui oleh atasan. Bahkan hasil perbuatannya dinikmati pula oleh atasan. Siapa tahu pula perbuatan itu pun atas restu dan perintah dari atasan. Saat itu ia bukanlah oknum. Tapi, tatkala kasusnya mencuat, ada pihak yang melaporkan, menjadi konsumsi publik, mendapat perhatian luas media massa, maka menjelmalah ia menjadi oknum. Bukan atas kehendaknya, namun atas kehendak atasan. Secara sekejap atasan (pura-pura) terkejut, mengatakan di media tidak menyangka ada oknum yang bermain di luar sistem.

Dan lazimnya, atasan berjanji akan menindak tegas si oknum. Begitulah pola selama ini. Sedihnya, mereka yang menciptakan dan memelihara oknum tak pernah tersentuh. Kita pantas bersedih, karena kita defisit suri teladan sekaligus surplus oknum yang tak kunjung punah

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)