Keteladanan Pemimpin (Bagian Pertama)

Selasa, 10 Oktober 2023

Suatu hari di tahun 1946, seorang pria berusia 34 tahun mengendarai mobil Jip Willys seorang diri di jalanan Yogyakarta. Dilihatnya seorang perempuan membawa barang dagangan berupa beras berada di pinggir jalan. Perempuan pedagang tersebut memberhentikan mobil untuk ikut menumpang ke pasar, untuk berjualan. Sang pria pun berhenti, turun dari mobil, lalu ikut membantu menaikkan barang. Di sepanjang perjalanan tak ada yang aneh. Keduanya bercakap santai. Sesampai di tujuan, salah satu pasar di kota Yogyakarta, sang perempuan meminta sang pria untuk menurunkan barang dagangan.

 

Orang-orang yang ada di pasar terperanjat melihat si perempuan pedagang turun dari mobil. Mereka lebih terperanjat ketika melihat sang pria yang menyopiri mobil tersebut ikut menurunkan barang dagangan. Setelah semuanya selesai si perempuan bermaksud membayar jasa, namun sang pria dengan halus menolak pemberian itu. Dengan nada emosi, perempuan pedagang tersebut mengatakan kepada sang pria, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun pria tersebut malah segera berlalu. 


Seusai kejadian, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si perempuan pedagang tersebut, “Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” 


“Sopir ya sopir. Aku tidak perlu tahu namanya, dasar sopir aneh,” jawab perempuan pedagang beras tersebut dengan emosi.


“Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu, sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini,” jawab polisi. 


Seketika perempuan pedagang tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui kalau sang pria yang telah mengantarkannya ke pasar dan ia marahi karena menolak menerima uang imbalan, bahkan telah membantu menaikan dan menurunkan barang dagangan adalah rajanya sendiri.  


Cerita di atas dikisahkan oleh SK Trimoerti dalam buku “Takhta untuk Rakyat”. Soerastri Karma Trimoerti adalah wartawan, penulis, dan guru Indonesia yang mengambil bagian dalam gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Ia kemudian menjabat sebagai menteri tenaga kerja pertama di Indonesia di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. SK Trimoerti melihat sendiri kejadian si perempuan yang pingsan.


Meskipun berstatus sebagai pemimpin, sebagai sultan atau raja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang dikenal sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat. Ia tak lantas besar kepala dan gila hormat. Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi sultan dengan masyarakat Yogyakarta. Selain peristiwa menjadi sopir pedagang yang sangat populer di kalangan rakyat Yogyakarta, ada kejadian lain yang menunjukkan integritas beliau. Buku “Orange Juice” yang diterbitkan oleh KPK menceritakan hal tersebut.


Kala itu, pertengahan tahun 1960-an. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengendarai sendiri mobilnya ke luar kota, tepatnya Pekalongan. Entah mengapa, Sri Sultan saat itu melakukan kesalahan. Dia melanggar rambu lalu lintas. Malang bagi Sri Sultan, seorang polisi yang sedang berjaga memergokinya. Tak ayal, polisi itu pun menghentikan mobil Sri Sultan.


“Selamat pagi!” ucap Brigadir Royadin, nama polisi itu, sambil memberi hormat dengan sikap sempurna. “Boleh ditunjukkan rebewes?” Rebewes adalah surat kelengkapan kendaraan berikut surat izin mengemudi.


Sri Sultan tersenyum dan memenuhi permintaan sang polisi. Saat itulah sang polisi baru tahu bahwa orang yang ditindaknya adalah Sri Sultan. Brigadir Royadin gugup bukan main. Namun, dia segera mencoba memperbaiki sikap demi wibawanya sebagai polisi.


“Bapak melanggar verbodden. Tidak boleh lewat sini. Ini satu arah!” kata polisi.


“Benar, saya yang salah,” jawab Sri Sultan. Ketika melihat keragu-raguan di wajah Brigadir Royadin, beliau berkata, “Buatkan saja saya surat tilang.”


Singkat cerita, sang polisi pun melakukan tilang kepada Sri Sultan. Tak ada sikap mentang-mentang berkuasa yang diperlihatkan oleh Sri Sultan. Bahkan, tak lama kemudian Sri Sultan meminta Brigadir Royadin bertugas di Yogyakarta dan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Alasannya, Royadin dianggap sebagai polisi yang berani dan tegas.


Naik tahta pada tanggal 18 Maret 1940, Sri Sultan terlibat langsung dalam pergulatan negeri ini dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Peran besar Sri Sultan antara lain saat menjadikan keraton sebagai benteng persembunyian para pejuang yang bertempur melawan tentara Belanda. Ia juga sempat menyerahkan cek senilai enam juta gulden pada tahun 1948 bagi kepentingan Republik Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan meninggal dunia di Washington dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Teladan seorang pemimpin yang muncul dalam diri Sri Sultan perlu dicontoh generasi penerus.


Kisah lain tentang integritas pemimpin muncul pada diri Widodo Budidarmo sebagaimana dikisahkan pada buku “Orange Juice” yang diterbitkan oleh KPK. Seorang pemimpin harus tegas kepada siapa pun. Tak peduli anak, istri, kerabat, maupun sahabat, bila melanggar hukum haruslah diproses. Prinsip itu dipegang teguh oleh Widodo Budidarmo yang pada tahun 1973 menyeret anaknya ke pengadilan.


Kisahnya bermula dari insiden yang melibatkan Agus Aditono, anak Widodo. Suatu hari, Tono–panggilan akrab Agus Aditono– yang saat itu masih duduk di bangku kelas II SMP, bermain-main dengan pistol. Tak sengaja, pistol itu meletup dan peluru menyambar sopir mereka. Sang sopir pun tewas karena insiden tersebut. 


Saat itu Widodo menjabat sebagai Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) Metropolitan Jaya. Widodo bisa saja menyembunyikan kasus itu. Anak buah dan stafnya pun menyarankan hal tersebut. Menurut mereka, ada baiknya peristiwa itu ditutupi demi menjaga nama baik Widodo. Namun, Widodo justru mengambil langkah sebaliknya. Ia membuka peristiwa penembakan itu kepada publik dalam sebuah jumpa pers. Widodo lantas menyerahkan putranya kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Baru untuk diproses secara hukum. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tono dijatuhi hukuman percobaan.


Gebrakan awal itu bukan hanya dilakukan di lingkungan dinasnya. Di lingkungan keluarga, ia pun membuat sebuah maklumat keras bagi istri dan anak-anaknya. Ia melarang mereka jemawa karena jabatan yang kini disandangnya. Jemawa artinya angkuh, congkak, atau sombong.


“Ketika mau diangkat sebagai kapolri, kami sekeluarga dikumpulkan semua,” kisah Martini Indah, anak sulung Widodo. “Beliau minta agar kami semua tak mengganggu tugas beliau sebagai kapolri. Artinya, kami tak boleh menggunakan nama dan jabatan bapak untuk keperluan pribadi.”


Widodo juga tak memanjakan mereka dengan fasilitas yang didapatkan sebagai panglima tertinggi kepolisian. Hanya sesekali Martini dan kedua adiknya berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Mereka lebih sering menggunakan angkutan umum demi mematuhi maklumat sang ayah.


Ketegasan seorang pemimpin dalam menjaga integritas. Anak sendiri yang bersalah pun ia serahkan kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum. Selain itu, ia juga tidak melindungi sejumlah perwiranya yang dipidana karena kasus korupsi. Tidak perlu membuat cerita bohong atau merekayasa peristiwa kriminal seperti dipertontonkan perwira polisi akhir-akhir ini. Widodo Budidarmo, seorang Kapolri yang menjabat pada tahun 1974-1978, integritasnya perlu menjadi keteladanan.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)