Pilkada: Pilihan Langsung atau Tak Langsung?

Selasa, 19 November 2013

Setelah lama menjadi wacana, akhirnya pemerintah memastikan mengusulkan klausul, pemilihan gubernur tak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, tetapi oleh DPRD provinsi (Kompas, 17 Desember 2010). Ketentuan itu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU itu berada di urutan ke-42 daftar Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2011.

Menurut Mendagri Gamawan Fauzi (detik, 8 Juli 2012), seorang gubernur untuk dipilih langsung oleh rakyat menjadi tidak relevan, karena interaksi yang terjalin antara rakyat dan seorang gubernur juga tidak langsung. Oleh karena itu, mekanisme pemilihan yang paling kompatibel untuk diterapkan dalam pemilihan gubernur adalah dengan mekanisme perwakilan yang dalam hal ini dipilih melalui suara terbanyak oleh DPRD Provinsi yang bersangkutan.

Selanjutnya disampaikan bahwa kabupaten/kota dalam sistem pemerintahan di negara kita merupakan jenjang pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, kabupaten/kota merupakan unit yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat, di mana pelayanan langsung berakibat pada interaksi yang berbasis kepercayaan (trust) masyarakat secara langsung. Oleh karena itu, untuk mekanisme pemilihan bupati/walikota adalah dengan mekanisme pemilihan secara langsung (direct democracy) oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Mendagri juga menguraikan sejumlah alasan, mengapa gubernur tidak perlu dipilih langsung. Alasan tersebut yakni: pertama, untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat, di mana hal ini menjadi wajar apabila disimulasikan secara maksimal seorang yang telah memiliki hak pilih di Indonesia akan melakukan pemilihan sebanyak 7 (tujuh) kali dalam rentang waktu 5 (lima) tahun, di mana jumlah tersebut belum termasuk pelaksanaan pilkada ulang yang terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini pada gilirannya menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme di tengah masyarakat.

Fenomena Pemilihan Kepala Daerah

Senin, 11 November 2013

Diskusi tentang Pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Gubernur (pilgub) masih menjadi hal yang menarik, di mana terjadi wacana tentang keinginan dikembalikannya lagi proses pilgub di tangan DPRD. Pihak yang paling berkeinginan agar Gubernur dipilih oleh DPRD adalah Pemerintah, terutama dengan upaya merevisi UU terkait. Berbagai alasan disampaikan oleh Pemerintah, misalnya tingginya biaya dan terjadinya konflik sosial.

Pemilihan langsung Kepala Daerah (pilkada) menjadi konsensus politik nasional, yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Pilkada dilaksanakan secara langsung sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi, pilkada langsung tersebut merupakan sebuah terobosan baru yang bermakna bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Sistem ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elit politik, seperti  ketika berlaku sistem demokrasi perwakilan. Pilkada langsung juga memicu timbulnya figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena Kepala Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elit di DPRD (Prasojo, 2006).

Amanat konstitusi tentang otonomi daerah dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 18 ini juga diatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum, tetapi padal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Kepala Daerah Provinsi dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih secara demokratis. Di sini terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, DPRD dipilih melalui pemilihan umum sedangkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Perkataan “dipilih secara demokratis” ini sifatnya sangat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD sesuai  dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Lelang Jabatan Ala Jokowi

Kamis, 07 November 2013

SE Menpan yang mengatur tentang seleksi terbuka jabatan struktural ditetapkan pada tanggal 21 September 2012 dan diupayakan dilaksanakan oleh instansi pemerintah paling lambat tahun 2013. Namun kenyataannya belum banyak daerah yang meresponnya. Hingga akhirnya gebrakan Gubernur DKI, Jokowi pada tahun 2013 dengan melakukan lelang jabatan mendobrak pintu yang selama ini tidak pernah atau sulit untuk dibuka.  Lelang jabatan ini untuk mengisi 311 jabatan yang terdiri dari 44 jabatan camat dan 267 jabatan lurah se-DKI melalui website www.jakarta.go.id. Lelang jabatan membuka kesempatan kepada setiap pegawai yang memenuhi persyaratan untuk mendaftar dan mengikuti seleksi, serta bersaing dengan pegawai yang telah menduduki jabatan lurah dan camat itu. Dengan seleksi, Jokowi ingin memiliki jajaran yang kompeten dan memiliki kemampuan manajerial, baik administratif maupun lapangan. Tak pelak berita ini menjadi topik pembicaraan di beberapa media online dan jejaring sosial.

Jauh sebelumnya pada tahun 2003, Pemkab Jembrana di Bali telah melakukan gebrakan ini dengan melakukan lelang terbuka terhadap jabatan struktural. Hal ini dilaksanakan dengan menggandeng Universitas Udayana sebagai pihak ketiga yang independen dan profesional. Gebrakan seperti ini pun, yang diakui sebagai upaya reformasi birokrasi di tingkat daerah, diikuti oleh pemeritah daerah lain, misalnya seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur dan Kabupaten Sleman di DIY. Namun gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh beberapa daerah kurang bergema gaungnya dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Jokowi.

Ada beberapa alasan kenapa berita ini menjadi bahan perbincangan antara lain:

  • Sumber berita, yakni sosok Jokowi sendiri sebagai gubernur DKI yang terkenal dengan gayanya yang sederhana, suka blusukan, dan baju kotak-kotak sewaktu kampanye.
  • Lokasi berita, yakni Jakarta adalah ibukota negara dan pusat pemerintahan sehingga akses informasi lebih cepat.
  • Isi berita, yakni lelang jabatan camat dan lurah. Sudah pasti kita sendiri bingung, karena yang namanya lelang biasanya kita kenal dalam penjualan barang yang dilakukan secara terbuka di depan khalayak ramai dan pemenang lelang adalah yang memberikan penawaran tertinggi, sementara ini jabatan camat dan lurah akan dilelang sehingga menimbulkan animo masyarakat untuk mencari dan membaca informasinya.

Dari 3 kriteria ini dapat kita maklumi kenapa berita lelang jabatan di Provinsi DKI Jakarta lebih heboh dari lelang jabatan atau proses seleksi terbuka di daerah lain, misalnya lelang jabatan atau proses seleksi terbuka jabatan di Pemkot Samarinda. Pada saat Pemprov DKI Jakarta sedang dalam proses seleksi, Pemkot Samarinda bahkan telah selesai melakukan pelantikan pejabat hasil dari seleksi terbuka. Satu lagi kelebihan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah penggunaan sistem yang lebih banyak online.

Seleksi Jabatan Struktural

Senin, 04 November 2013

UU Kepegawaian (UU 43/1999 jo UU 8/1974) antara lain mengamanatkan bahwa setiap PNS diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu. Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilakukan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.

Menurut Pramusinto (2009: 325-327) terdapat beberapa alternatif proses rekrutmen SDM birokrasi untuk mengisi lowongan jabatan. Pertama, prosedur rekrutmen SDM birokrasi dengan “sistem ijon”. Secara proaktif pemerintah memberikan beasiswa kepada mahasiswa terbaik di universitas-universitas terbaik yang setelah lulus direkrut menjadi pegawai pemerintah. Dalam tugas akhir mereka sudah diarahkan untuk melakukan penelitian di tempat mereka akan bekerja sehingga mereka lebih paham dan siap untuk melakukan tugas setelah selesai belajar.

Kedua, rekrutmen secara terbuka dan kompetitif untuk jabatan strategis. Di sektor swasta, rekrutmen pegawai dilakukan melalui 2 jalur: jalur staf dan jalur manajemen. Untuk jalur pertama biasanya untuk kebutuhan staf. Sedangkan jalur manajemen direkrut untuk disiapkan menjadi pimpinan menengah yang terlibat dalam keputusan strategis.

Ketiga, rekrutmen SDM birokrasi berdasarkan position-based dengan jalur karir yang konsisten. Di Indonesia, hal ini sudah mulai dikenalkan dalam proses rekrutmen SDM birokrasi. Seseorang mendaftar sesuai kebutuhan formasi pemerintah yang ditentukan berdasarkan latar pendidikan dan posisi yang akan dipegangnya. Sayangnya sistem ini tidak berjalan dengan baik.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)