Fenomena Pemilihan Kepala Daerah

Senin, 11 November 2013

Diskusi tentang Pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Gubernur (pilgub) masih menjadi hal yang menarik, di mana terjadi wacana tentang keinginan dikembalikannya lagi proses pilgub di tangan DPRD. Pihak yang paling berkeinginan agar Gubernur dipilih oleh DPRD adalah Pemerintah, terutama dengan upaya merevisi UU terkait. Berbagai alasan disampaikan oleh Pemerintah, misalnya tingginya biaya dan terjadinya konflik sosial.

Pemilihan langsung Kepala Daerah (pilkada) menjadi konsensus politik nasional, yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Pilkada dilaksanakan secara langsung sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi, pilkada langsung tersebut merupakan sebuah terobosan baru yang bermakna bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Sistem ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elit politik, seperti  ketika berlaku sistem demokrasi perwakilan. Pilkada langsung juga memicu timbulnya figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena Kepala Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elit di DPRD (Prasojo, 2006).

Amanat konstitusi tentang otonomi daerah dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 18 ini juga diatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum, tetapi padal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Kepala Daerah Provinsi dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih secara demokratis. Di sini terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, DPRD dipilih melalui pemilihan umum sedangkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Perkataan “dipilih secara demokratis” ini sifatnya sangat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD sesuai  dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Mekanisme pelaksanaan pilkada (terutama Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur) yang dipilih secara demokratis berdasarkan UUD 1945 di era reformasi dilaksanakan sesuai dengan tafsiran di atas, yakni dipilih oleh DPRD saat era UU Nomor 22 Tahun 1999 dan dipilih langsung oleh rakyat saat era UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku hingga sekarang. Namun, meskipun terpilih secara langsung oleh rakyat, kedudukan Gubernur seakan-akan tidak dianggap penting, terutama oleh Bupati dan Walikota (apalagi jika berbeda partai politik).

Harus diakui, sejak memulai otonomi daerah, efektivitas kebijakan desentralisasi terus dihantui lemahnya peran gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Dalam statusnya sebagai daerah otonom, kewenangan provinsi serba tanggung karena urusan otonominya tidak jelas. Provinsi hanya berwenang atas urusan lintas wilayah atau urusan ”sundulan” dari kabupaten/kota karena merasa tak sanggup (sesuatu yang tabu bagi kabupaten/kota), tetapi di sisi lain level pemerintahan ini justru mengelola anggaran yang jauh melampaui urusan yang dimilikinya.

Lebih payah lagi, status provinsi sebagai wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam kerangka dekonsentrasi lebih bersifat sloganistik. Model integrated field administration yang menyatukan wilayah kerja aneka instansi vertikal dengan provinsi, ataupun integrated perfectoral system yang menempatkan kabupaten/kota sebagai bagian provinsi, hanya tinggal sebagai model konseptual. Bupati/walikota sama sekali tak melihat wilayah kerjanya sebagai bagian dimaksud, apalagi, menempatkan posisi mereka secara inferior di depan gubernur. Mereka berhubungan langsung dengan pusat, sebagaimana pula pejabat kementerian lebih sering melompati provinsi untuk mengurus kabupaten/kota (Jaweng, 2013).

Pilkada menimbulkan hingar bingar silih berganti di 34 provinsi, 409 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia. Sebagian besar pilkada memang berlangsung secara tertib tanpa menimbulkan kegaduhan politik, sosial, dan keamanan. Namun tak jarang pilkada menimbulkan keributan, gugatan, bahkan konflik yang berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lainnya tidak semua keputusan MK bisa dipatuhi secara baik, bahkan ada yang disikapi dengan kerusuhan termasuk aksi pembakaran.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang mengutip data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) (dalam Kompas, 10 Juni 2013), bahwa mulai tahun 2005 sampai awal Juni 2013, terdapat 25 kasus kerusuhan terkait pilkada yang tersebar di 10 provinsi, di mana 10 kerusuhan terjadi di Provinsi Nusatenggara Barat. Sementara jumlah korban tewas mencapai 59 orang, 35 orang di antaranya di Propinsi Papua. Kekacauan pilkada juga menyebabkan kerusakan pada rumah tinggal, kantor Pemda, kantor parpol, kantor KPU, pertokoan, dan berbagai bangunan lainnya.

Penyelenggaraan pilkada yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien. Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun.

Merurut Abustan (2013) persoalan yang muncul berkaitan dengan sistem pilkada langsung antara lain karena membengkaknya biaya politik yang kemudian berakibat terjadi korupsi. Atas asumsi dasar itulah kita tidak menutup mata dengan merebaknya berbagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah. Kepala daerah hasil pemilihan langsung yang merupakan manifestasi desentralisasi demokrasi dinilai tidak memperlihatkan semangat pemerintahan yang bersih dan baik.

Dari informasi dan data yang layak dipercaya menyebutkan, 863 pasangan kepala daerah yang terpilih sejak pilkada langsung digelar tahun 2005 sebanyak 280 orang terjerat kasus hukum. Data Kementerian Dalam Negeri yang berulang kali disampaikan merupakan sesuatu yang memprihatinkan.

Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya. Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada. Tidak sinkronnya tahapan pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah berimplikasi pada lemahnya proses pengawasan pilkada. Semua ini juga terkait masih banyaknya permasalahan dengan regulasi pelaksanaan pilkada (seknasfitra.org).

Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi, Veri Junaidi, menyatakan berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada. Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.

Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota.

Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.

Penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 telah menimbulkan dampak positif maupun negatif, baik bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta bagi seluruh masyarakat di daerah. Di antara dampak negatif yang sering dikemukakan adalah terkait dengan penyelenggaraan Pilkada Gubernur yang dinilai tidak tepat dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal tersebut wacana perubahan pelaksanaan Pilkada Gubernur cukup gencar diwacanakan dalam rangka revisi atau penyempurnaan UU Nomor 32 Tahun 2004.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)