Instalasi Pengolahan Air Limbah

Selasa, 17 Maret 2015

Saya baru mengetahui istilah itu saat pertemuan warga, tahun 2014 silam. Malam hari, sekira bulan Mei. Jadi bisa dikatakan ketinggalan zaman, mengingat sekolah dan kuliah saya tempuh di kota, namun herannya baru tahu saat itu. Jadi, belum tentu lho orang yang sekolah di kota dan tinggal di kota cukup lama mengetahui segalanya, yang berbau modern.

IPAL, kependekan dari Instalasi Pengelohan Air Limbah. Agar tidak keliru saya carikan referensi melalui wikipedia. Lanjut gan! Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) adalah sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain.

Fungsi dari IPAL mencakup pengolahan air limbah pertanian, untuk membuang kotoran hewan, residu pestisida, dan sebagainya dari lingkungan pertanian. Selain itu untuk mengolah air limbah perkotaan, untuk membuang limbah manusia, dan limbah rumah tangga lainnya. Selanjutnya berfungsi untuk mengolah air limbah industri, untuk mengolah limbah cair dari aktivitas manufaktur sebuah industri dan komersial, termasuk juga aktivitas pertambangan.

Perumahan tempat tinggal saya (dan tempat tinggal para tetangga saya, tentunya) mendapat anugerah, kesempatan, titipan, kepercayaan, amanah, tanggung jawab, atau terserah lah apa namanya untuk dipasang IPAL. Malam itu, sebagian warga berkumpul dan bertemu dengan kepala desa dan perangkatnya serta pejabat pemda (Bappeda dan Dinas PU). Intinya adalah sosialisasi tentang IPAL komunal. Komunal itu maksudnya IPAL-nya nanti dimanfaatkan secara bersama oleh warga.

Lapanganku Malang

Jumat, 13 Maret 2015

Masa kecil saya lewati di Madiun, daerah yang terkenal dengan pecel, juga terkenal dengan pemberontakan PKI di tahun 1948 silam. Rumah saya terbilang masuk perkotaan, namun bukan kawasan elit. Hanya perkampungan biasa yang padat penduduk. Bahkan rumah saya masuk gang sempit, yang mobil pun tak bisa masuk. Karena sempitnya gang, tak jarang pinggir jalan menjadi salah satu alternatif tempat bermain, meskipun dengan resiko tertabrak kendaraan. Saya termasuk salah satu korbannya. Kepala pernah bocor terseret sebuah motor yang kebetulan dikendarai polisi.

Di dekat rumah ada sebuah tanah lapang. Tak terlalu luas memang, kira-kira seluas lapangan badminton, lebih luas sedikit. Orang-orang menyebutnya len. Mungkin menyebutkan lapangan dalam bahasa Inggris, land. Lapangan itulah yang menjadi tempat favorit kami, para bocah, bermain. Dari bermain bola, main layang-layang, lompat tali, gobag sodor. Biasanya kami yang anak-anak bermain pada saat siang, seusai pulang sekolah. Saat sore gantian para remaja, seusia kakak saya yang waktu itu duduk di bangku SMA yang bermain bulutangkis.

Lapangan yang tanpa rumput tersebut nyaris tak pernah sepi. Selain anak-anak dan pemuda, jika Minggu pagi gantian para orang tua memanfaatkannya untuk Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilanjutkan dengan main bulutangkis. Saat malam, gantian para pemuda yang cangkruk main gitar di pinggir jalan dekat lapangan. Kadangkala para pemuda dan remaja yang tergabung dalam Karang Taruna mengadakan layar tancap bekerja sama dengan perusahaan bumbu masak. Saat peringatan hari kemerdekaan diadakan panggung gembira.

Seingat saya, suasana tersebut berjalan dengan menyenangkan. Mulai saya balita sampai menginjak usia SD. Hingga pada akhirnya datanglah “malapetaka” itu. Hehehe... terlalu membesar-besarkan deh. Saya sebut malapetaka karena adanya perasaan masa kanak-kanak saya (dan kawan-kawan) yang terenggut.

Serangan Umum Bulan Maret

Selasa, 10 Maret 2015

ngobrolpanas.blogspot.com
Saya termasuk penyuka film bergenre perang, apalagi pada waktu masih usia SD. Tidak banyak pilihan yang harus saya tonton pada waktu itu kecuali satu-satunya cara hanya dengan menonton film yang ditayangkan oleh TVRI, dan tentunya tidak tiap hari TVRI menayangkannya. Anda perlu tahu jika di tahun 1980-an, hanya TVRI-lah yang menghiasai pertelevisian nasional kita. Sebenarnya ada sih cara lain agar dapat menonton film selain yang ditayangkan oleh TVRI, yakni dengan menyewa video. Di dekat rumah saya ada persewaan video, yang merupakan satu di antara dua tempat persewaan yang ada di kota Madiun pada saat itu. Namun kendalanya alat pemutar video masih merupakan barang mewah, dan orang tua saya tidak memilikinya.

Saat momentum peringatan hari besar nasional atau terkait dengan sejarah bangsa, TVRI biasanya berbaik hati menayangkan film-film yang bertema perjuangan yang kebanyakan bergenre peperangan. Sebut saja Kereta Api Terakhir, Pasukan Berani Mati, Serangan Fajar, Bandung Lautan Api, Surabaya ‘45, Nagabonar, Pengkhianatan G 30 S/PKI, Operasi Trisula. Film-film tersebut bisa dinikmati saban malam minggu jam setengah 11 malam (kalau nggak salah) dalam program andalan Cerita Akhir Pekan.

Salah satu film yang masih saya ingat adalah Janur Kuning. Film ini menggambarkan serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh TNI terhadap kedudukan tentara Belanja di kota Jogja. Jogja merupakan ibukota RI saat itu yang dikuasai oleh Belanda. Serangan tersebut dilakukan pada jam 6 pagi secara serentak sehingga dinamakan serangan umum. Sebagai identitas, pasukan TNI mengenakan janur atau daun kelapa yang berwarna kuning.

Kota Jogja dibagi dalam berbagai sektor, dan masing-masing sektor melakukan serangan secara mendadak. Jogja berhasil dikuasasi selama 6 jam. Berita ini tersebar di dunia. Diklaim serangan secara militer memperkuat serangan diplomasi yang juga digencarkan oleh para pejuang bangsa. Alhasil Negara Indonesia yang baru lahir pun diakui.

Peradaban Setor

Jumat, 06 Maret 2015

Kata teman saya ada beberapa jenis pekerjaan yang mensyaratkan adanya barang atau uang sebagai jaminan. Barang itu bisa berwujud sertifikat rumah/tanah, BPKB motor/mobil, ijazah, dan lain-lain. Tentu saja barang jaminan itu asli sehingga nilainya amat berharga. Amat berharga karena dengan meninggalkan barang jaminan kepada penguasaan orang lain, pekerja menjadi terikat dengan syarat dan ketentuan dari orang yang memberikan pekerjaan itu.

Selain barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja, atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh 100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.

Bekerja dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan. Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.

Saya sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya. Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi, tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)