Jadi Anak Band

Kamis, 30 April 2015

Tidak ada yang menyangka jika saya pernah main band dan tampil di panggung di hadapan ratusan penonton. Pengalaman ini terjadi saat saya masih berseragam putih abu-abu. Ya, saat itu masih di bangku SMA, tepatnya kelas tiga, sekitar 15 tahun yang lalu. Tampil dalam rangka hari ulang tahun SMA 3 Madiun. Momennya dinamakan SISO CUP. Dalam ajang itu beraneka ragam seni dan pertunjukan ditampilkan para murid. Dari yang tradisional hingga modern. Ada musik, nyanyi, menari, disco, teater, peragaan busana, dan lain-lain. Biasanya pentas seni ini merupakan puncak acara dari serangkaian acara sebelumnya, yakni lomba-lomba. Sehingga sekaligus dalam acara itu pula diumumkan juara berbagai lomba.

Saya masih ingat acara itu dilangsungkan pada tanggal 17 Agustus 1996, hari Sabtu. Saat itu SMA 3 masih dibagi dalam 2 lokasi, yakni di Jalan Suhud Nosingo (sekolah timur) dan Jalan HA Salim (sekolah barat). Sekarang kedua lokasi itu sudah ditinggalkan dan SMA 3 telah menempati lokasi baru di Ring Road sebagai Rintisan Sekolah Internasional. Setelah mengikuti upacara hari kemerdekaan di sekolah timur, para murid berbondong-bondong ke sekolah barat yang berjarak sekitar 5 km, karena pertunjukan diadakan di sana. Panggung telah tersedia di aula, tinggal memasang asesoris.

Adakah kebanggaan? Sedikit sekali, namun yang jelas ada rasa senang. Tapi sejujurnya ada rasa malu juga, karena kemampuan memainkan alat musik saya tidak begitu bagus, yah bernilai rata-rata-lah. Saya, atau tepatnya kami berlima main band. Saya pegang gitar bas. Teman saya yang lain adalah Hamid sebagai vocalis, Yohanes sebagai melodi, Santo sebagai drummer, dan Toni sebagai keyboard. Kami semua kebetulan aktif di kegiatan kepramukaan.

Perburuan Rente BPJS Naker

Senin, 13 April 2015

Di tengah hiruk-pikuk politik kekuasaan, penggambaran intensif media terkait hak-hak istimewa dan tanggung jawab konstitusional Badan Hukum Publik BPJS Ketenagakerjaan (Naker), hasil transformasi PT Jamsostek (Persero), menarik dikaji lebih spesifik.

Pertama, bandingkan langsung Jaminan Pensiun (JP) berdasar UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsos TK) berdasar UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKI). Faktanya, secara progresif BPJS Naker-didukung penuh Menaker M Hanif Dhakiri-mempertunjukkan sumber daya politik konstitusionalnya dengan menetapkan sepihak iuran JP (8 persen dari total gaji bersih diterima/take home pay) untuk pekerja formal, efektif 1 Juli 2015. Anehnya, manfaat pensiun diterima setelah karyawan-peserta memenuhi syarat wajib masa iur 15 tahun.

Penjelasan Pasal 42 Ayat 2 UU SJSN menyatakan, ketentuan 15 tahun diperlukan agar ada kecukupan dan akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang ditetapkan UU. Makna penjelas lain, manfaat jaminan pensiun diterima peserta pada ulang tahun program ke-16. Mengutip Direktur Utama BPJS Naker Elvyn G Masassya, "Apabila ada pekerja yang akan pensiun dalam waktu dekat, tak akan bisa memperoleh manfaat program JP jika belum masuk sebagai peserta. Meski sudah jadi peserta pada saat program JP berjalan, hak pensiun pekerja akan diberikan setelah memberikan iuran selama 15 tahun".

Apa benar dugaan selama ini, syarat wajib masa iur 15 tahun-aturan penjelasan Pasal 41 Ayat 5 UU SJSN menyatakan karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun diberlakukan sebagai tabungan wajib-adalah kompensasi atau alat tukar politik akibat hilangnya jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek? Apakah syarat pemblokiran iuran sangat dibutuhkan BPJS Naker demi kecukupan pembiayaan program dan operasional sehingga dihalalkan menabrak aturan baku sistem pengelolaan program, bahkan menutup mata atas duplikasi manfaat program jaminan hari tua (Pasal 35-38 UU SJSN). Normatifnya, manfaat pensiun adalah pembayaran berkala selama seumur hidup terhitung sejak setoran iuran pertama. Pembuktian lain, tak ada pembayaran manfaat pensiun berkala selama 15 tahun sehingga penetapan iuran 8 persen dari take home pay dinilai sangat berlebihan dan tak rasional.

Sistem Pekerja Rumahan

Perlawanan buruh atas sistem kerja fleksibilitas: buruh alih daya, kontrak kerja dengan melanggar hukum, dan tidak ada hubungan kerja, telah memasuki rentang waktu 12 tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimulai.

Sejauh ini kelompok kapitalis nakal memenangi pertarungan, terbukti dengan terus meningkatnya eskalasi buruh alih daya yang menggusur pekerja tetap. Saya jadi teringat ungkapan pakar strategi militer Jerman Jenderal Carl Von Clausewitz tentang strategi perang, ”never engage the same enemy for too long or they will adapt your strategy (jangan pernah menghadapi musuh yang sama untuk waktu panjang karena mereka akan beradaptasi dengan strategimu).” Kelihatannya ini yang telah berhasil dilakukan kaum kapitalis. Akibat gerakan buruh terlalu lama melawan sistem fleksibilitas dengan pola sama, kaum kapitalis sudah bisa beradaptasi menghadapi perlawanan buruh.

Praktik yang saat ini sedang gencar terjadi adalah pemborongan pekerjaan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Atau yang populer disebut pekerja rumahan (putting out system). Modusnya, menawarkan pekerjaan ke kaum ibu rumah tangga dengan kesepakatan lisan. Sistem seperti ini sebenarnya sudah lama ada, khususnya untuk bisnis makanan dan industri mikro, tetapi berkembang marak akibat tekanan kompetisi global dan absennya pengawasan hukum.

Pelakunya pun tidak lagi sebatas industri mikro, tetapi sudah melibatkan perusahaan multinasional besar, seperti Nike, Samsung, Ripcurl (merek sport dari Australia), Cressida, Jeans, produk celana dalam GT Man, sepatu sport Alaska, dan sepatu merek ARA dari perusahaan Jerman. Kegiatan bisnis ini berlangsung di permukiman kawasan industri. Sistem ini melengkapi keberhasilan kaum kapitalis yang berhasil mempraktikkan sistem kerja buruh alih daya, kontrak kerja lisan, kerja magang ilegal, bekerja dengan periode sangat pendek, dan sebagainya.

BPJS Ketenagakerjaan

Kamis, 09 April 2015

Program jaminan sosial bagi tenaga kerja, sesuai dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kiranya akan dimulai tahun 2015. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, badan publik yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja, yang merupakan transformasi PT (Persero) Jamsostek, telah mempersiapkan diri memikul tanggung jawab itu. Jika semua berjalan sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), semua pekerja akan memiliki jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JKM).

Jaminan kesehatan akan diperoleh dari BPJS Kesehatan yang telah dimulai 2014. Dengan kondisi seperti itu, kiranya Indonesia akan mampu memberi rasa aman sosial bagi setiap tenaga kerja dan keluarganya, sejak lahir hingga meninggal. Dampaknya, mungkin akan sangat besar dari aspek peningkatan daya saing dan produktivitas kerja.

Persiapan Regulasi
Meskipun waktu sudah sangat mendesak, kita masih menunggu berbagai regulasi turunan, yaitu peraturan pemerintah dan peraturan presiden, yang diperlukan. Adalah harapan kita berbagai peraturan perundangan itu bisa terbit dalam waktu yang cukup untuk dapat disosialisasikan sehingga ketergesa-gesaan sebagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan/Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat dihindari.

Ada kesan, terjadinya keterlambatan selama ini disebabkan masih ada perbedaan persepsi dari para pengambil keputusan, yang notabene memutuskan terbitnya regulasi itu. Selain itu, juga keberatan sebagian dunia usaha, antara pemberi kerja dan pekerja, yang merasa terbebani iuran jaminan sosial. Formula besaran iuran jaminan sosial kabarnya telah menyita perdebatan yang alot antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Selain itu, juga terkait jaminan pensiun antara konsep ”manfaat pasti” dan ”iuran pasti” agar keberlanjutannya terjamin.

Reformasi Ketenagakerjaan

Senin, 06 April 2015

Baru kali ini, 1 Mei 2014, pemerintah menetapkan Hari Buruh Internasional sebagai hari libur nasional. Meski istimewa bagi buruh, agaknya perjuangan para buruh dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-haknya masih jauh dari usai. Belum lagi dua masalah besar lain yang perlu dicermati, yaitu pengangguran dan lapangan kerja. Sepuluh tuntutan buruh perlu menjadi perhatian siapa pun calon presiden RI mendatang.

Saya tertarik mencermati sepuluh tuntutan para buruh. Buruh menuntut: (1) naikkan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item; (2) tolak penangguhan upah minimum; (3) jalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015; (4) jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 tentang tarif serta ganti INA-CBG dengan fee for service, audit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; (5) hapus alih daya (outsourcing), khususnya alih daya di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja alih daya.

Selanjutnya; (6) sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39 Tahun 2004; (7) cabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan; (8) angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer; (9) sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh; (10) jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

Daftar tuntutan buruh tentu masih bisa ditambah. Inti masalah buruh adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kualitas buruh Indonesia. Masalah buruh wajib menjadi agenda bagi pemerintah baru nanti. Memang tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, yang pada Februari 2014 mencapai 5,7 persen, mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2013 sebesar 6,2 persen dan Februari 2013 sebesar 5,8 persen. Namun, data BPS terbaru menunjukkan, (1) sebanyak 81,2 juta orang (68,7 persen dari total angkatan kerja) bekerja di atas 35 jam per minggu, sedangkan pekerja tidak penuh dengan jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu meningkat 320.000 orang dan penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 15 jam per minggu mencapai 7,3 juta orang (6,2 persen); (2) sebanyak 47,5 juta orang (40,2 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (59,8 persen) bekerja pada sektor informal; (3) buruh dengan jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi, yakni 55,3 juta orang (46,80 persen), diikuti SMP dan SMA masing-masing 21,1 juta dan 18,91 juta orang.

BPJS Ketenagakerjaan dan Sektor Informal

Kamis, 02 April 2015

Bekerja di sektor informal memang harus siap menerima risiko absennya sejumlah aspek perlindungan sosial, seperti upah minimum, uang pesangon, cuti, upah lembur, jaminan kecelakaan, kematian, hari tua, dan pensiun. Sebaliknya, pekerja di sektor formal dapat menegosiasi upah minimum, cuti, dan upah lembur dari perusahaan tempat mereka bekerja, serta memperoleh sejumlah jaminan sosial sebagai keanggotaan Jamsostek.

Secara faktual, rendahnya aspek perlindungan sosial pekerja di sektor informal menyebabkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sektor itu umumnya cenderung tidak stabil dan pekerjanya rentan terperangkap dalam pengangguran dan kemiskinan.

Sektor Formal Terdistorsi
Celakanya, hadirnya pekerja sektor informal tidak bisa dihindari karena hal itu berkaitan dengan kinerja ekonomi yang belum mampu menciptakan kesempatan kerja formal secara memadai. Secara faktual, hanya sepertiga penduduk yang bekerja di sektor formal. Sisanya (sekitar 62,7%) penduduk bekerja di sektor informal (BPS, 2012).

Di pihak lain, rendahnya kualitas angkatan kerja cukup menyulitkan pemerintah untuk menciptakan peluang bekerja di sektor formal guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Lebih dari setengah angkatan kerja kita hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.

Bahkan, keberadaan sektor tersebut diperkirakan terus tumbuh seiring dengan kian mengglobalnya sistem ekonomi. Dengan globalisasi, meski suatu usaha diuntungkan akibat berkurangnya regulasi, usahanya dituntut melakukan efisiensi agar berdaya saing guna memenangi pasar global.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)