Dilema Rekrutmen Pegawai

Minggu, 26 Mei 2013

Pola manajemen SDM secara khusus telah banyak terkontaminasi praktek spoil, kemudian menjadikan manajemen SDM semakin terbelenggu dengan persoalan kompleks dan akut. Keadaan ini mengakibatkan birokrasi terdegradasi dan kehilangan kepercayaan publik. Sementara itu, baik pada level pusat maupun daerah tetap membutuhkan pejabat dan aparatur yang profesional. Sangat penting bagi pusat dan daerah dapat dengan leluasa mendapatkan tenaga-tenaga yang cukup loyal dan bermoral (Sulistiyani, 2010: 92).
Proses pengadaan CPNS merupakan proses yang paling kritis dan beresiko dalam keseluruhan proses manajemen PNS di Indonesia (Simanungkalit, 2007: 2). Disebut sebagai proses yang paling kritis mengingat proses tersebut sangat menentukan dalam membentuk profil PNS yang handal, berkualitas, dan relevan dengan kebutuhan organisasinya, atau justru sebaliknya, yakni PNS yang kontra produktif terhadap organisasi. Di samping itu, melalui proses pengadaan CPNS diketahui gambaran awal (umum) tentang CPNS yang akan diperoleh.
Selanjutnya proses pengadaan CPNS disebut beresiko artinya mengandung konsekuensi jangka panjang terhadap investasi aset ke depan, mengingat CPNS yang nantinya diangkat menjadi PNS tidak hanya sebagai aset penting organisasi, melainkan juga partner organisasi yang perlu dan harus dikelola dengan baik, karena sangat menentukan efektivitas organisasi. Di samping itu, proses pengadaan CPNS penuh resiko dari praktek-praktek KKN yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan masyarakat. Dengan kata lain, proses pengadaan CPNS sering menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, antara lain diatur pengadaan PNS yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Keterlambatan Penetapan APBD

Kamis, 23 Mei 2013


APBD  adalah  rencana  keuangan  tahunan pemerintahan  daerah  yang  dibahas  dan disetujui  bersama oleh pemerintah daerah (Pemda) dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan.
Dalam pengelolaan keuangan publik selalu terjadi kendala penganggaran, yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. DAU merupakan salah satu komponen penting sumber pendapatan bagi daerah sebagai dana perimbangan yang ditransfer pusat ke daerah. Sebagian besar daerah masih menggantungkan dana transfer ini sebagai sumber pendapatan. Rata-rata secara nasional, 68 persen sumber pendapatan daerah pada tahun 2011 berasal dari dana perimbangan. Ini meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2012.
Daerah-daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam besar pada akhirnya menggantungkan sepenuhnya pada “subsidi” dari pusat dalam bentuk DAU. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan lobby secara intensif dengan policy maker DAU di pusat khususnya Depkeu dan DPR. Para politisi sengaja membiarkan pembengkakan birokrasi karena mereka pun memperoleh keuntungan dari sistem organisasi dan personel yang membengkak, misalnya keuntungan dari proyek-proyek yang dikelola setiap lembaga (Hadna, 2010).
Bagi kebanyakan daerah, sebagaian besar dana dari komponen DAU tersedot untuk membayar gaji pegawai daerah yang jumlahnya membengkak karena adanya pemindahan pegawai dari pusat ke daerah. Lebih dari 75% dana yang diperoleh dari DAU di seluruh daerah di Indonesia ternyata harus dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sisanya harus dibagi-bagi untuk membiayai 20 sektor pembangunan daerah mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pembangunan dan renovasi infrastruktur, hingga pembangunan sarana ekonomi (Kumorotomo, 2005).

Politik Anggaran Daerah (Bagian Kedua)

Senin, 20 Mei 2013


Interaksi Antar Pemangku Kepentingan
Selain Kepala Daerah, wakil rakyat di daerah (DPRD) memiliki peran yang besar pula dalam pembahasan APBD. Dalam regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda) bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter). Senada dengan Kepala Daerah, anggota dewan memiliki kepentingan juga. Hakekatnya karena mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat, maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Namun, tidak selamanya seperti itu. Setidaknya ada 3 kepentingan di sini.
Kepentingan pertama adalah kepentingan politik. Kepentingan ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota dewan. Karena biaya politik yang tinggi maka sangat banyak sumber dana yang telanjur dikeluarkan sedangkan pendapatan sebagai wakil rakyat tidak cukup untuk mengembalikannya. Selain itu, karena anggota dewan merupakan jabatan politik, maka periode jabatan dibatasi oleh waktu (lima tahun). Diperlukan sumber dana lagi dalam kompetisi pemilu berikutnya. Biaya politik itu mereka dapatkan dengan memanfaatkan dana APBD. Modusnya sama dengan Kepala Daerah, yakni kolaborasi dengan pengusaha.
Kepentingan kedua adalah kepentingan pribadi. Kepentingan ini berkaitan dengan kerakusan manusia ketika memperoleh kesempatan untuk mendapatkan uang terutama dengan mengambil dana APBD. Maka tak heran, sanasib dengan Kepala Daerah, banyak anggota dewan (baik di pusat maupun daerah) yang terkena kasus korupsi. Jangan-jangan banyaknya korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan anggota dewan, memang karena mereka bekerja sama (istilahnya korupsi berjamaah). Begitulah akibatnya bila antara pelaku kebijakan dan pengontrol pelaksanaan kebijakan ber-kongkalikong.
Kepentingan ketiga adalah kepentingan konstituen. Kepentingan ini lebih mencerminkan aspirasi sebagian rakyat daripada kepentingan pribadi. Ketika berkompetisi, para wakil rakyat berjanji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya (konstituen), dengan syarat mereka harus memilih dirinya. Maka, ketika sungguh-sungguh terpilih, maka konstituen menagih janjinya. Tak ada yang keliru dalam logika seperti ini. Namun semestinya, begitu terpilih menjadi wakil rakyat maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan, bukan sekadar kepentingan konstituen. Belum tentu anggaran daerah yang dikeluarkan (karena jerih payah wakil rakyat dalam berjuang) untuk sebuah proyek yang diminati konstituennya, dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.

Politik Anggaran Daerah (Bagian Pertama)

Jumat, 17 Mei 2013


Sudah semestinya pemerintah menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sulit untuk menentukan berapa besar sebenarnya alokasi belanja publik yang ideal di dalam APBD mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda. Alam demokrasi pun turut membawa situasi serba dilematis. Antara pentingnya mesin birokrasi dan anggaran yang harus disediakan, antara percepatan penyerapan anggaran, dan kontrol hukum yang ketat
Dengan melihat fakta bahwa anggaran publik dan kebijakan keuangan daerah di Indonesia belum bisa menjadi pendorong bagi investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung maka memang ada permasalahan dalam anggaran kita. Permasalahan tersebut antara lain penentuan alokasi anggaran yang terlihat pro birokrasi (belanja pegawai), kepentingan politik di daerah, interaksi antar pemangku kepentingan, dan sistem keuangan dan pertanggungjawaban.

Proses Rekrutmen Jabatan Struktural

Selasa, 14 Mei 2013


Jabatan yang diemban oleh PNS dibedakan menjadi jabatan struktural dan jabatan fungsional tertentu. Selain itu ada pula jabatan fungsional umum yang seringkali disederhanakan dengan istilah staf. Saat ini baru ada sekitar 110 jabatan fungsional tertentu, misalnya guru, dosen, perawat, dokter, penyuluh, dan lain-lain. Jabatan struktural biasanya ditandai dengan predikat “Kepala”, misalnya Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Sub. Namun ada pula jabatan struktural yang tidak diawali dengan Kepala, seperti Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, Inspektur (dulu Kepala Banwasda), Direktur Rumah Sakit, Sekretaris, Camat, dan Lurah.
Di tingkat daerah jabatan struktural merupakan jabatan yang sangat diidamkan. Beberapa alasan bisa diungkapkan di sini, misalnya tunjangan jabatan yang lebih besar. Sebagai perbandingan, seorang PNS bergolongan III jika tidak berada dalam jalur struktural hanya akan mendapatkan tunjangan Rp 185.000 per bulan, namun bila ia menduduki jabatan struktural dengan eselon IV A maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 540.000 per bulan. Uang lembur dan Uang Harian Kembali (UHK) yang didapatkan jika melakukan perjalanan dinas pun lebih besar diperoleh pejabat struktural.
Dengan menduduki suatu jabatan struktural seorang pegawai mendapatkan akses kemudahan memperoleh fasilitas, misalnya kendaraan dinas, otoritas, kepanitiaan dalam kegiatan, memiliki bawahan, dan sebagainya. Selain itu di tengah masyarakat seseorang yang menyandang suatu jabatan masih mendapatkan tempat yang istimewa dan nama yang harum.
Pengangkatan dalam jabatan struktural diatur dalam PP Nomor 100 Tahun 2000, PP Nomor 13 Tahun 2002, dan Peraturan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2002. Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. Untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural seorang PNS harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Permasalahan Rekrutmen dalam Birokrasi

Sabtu, 11 Mei 2013


Menurut Prasojo (2006), akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting yakni persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang terdiri dari rekrutmen, penggajian dan reward, pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan. Selain persoalan internal, permasalahan yang lain lahir dari persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara, termasuk di antaranya isu politisasi birokrasi.
Amanat UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian khususnya Bab III Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa “Diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja”. Tetapi pada kenyataannya pola pembinaan karir PNS lebih didasarkan pada DUK (Daftar Urut Kepangkatan) dan senioritas. Hal ini terlihat masih berlakunya PP Nomor 15 Tahun 1979 tentang DUK, PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, dan PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat PNS yang belum mengakomodasi sistem prestasi kerja (Putranto, 2009: 135).
Proses rekrutmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-hubungan kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta kuatnya egoisme daerah (mengutamakan putra daerah tanpa memperhitungkan kualitas). Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekrutmen dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan, dan afiliasi. Budaya demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya tidak memadai (Prasojo, 2009: 84)
Rekrutmen tidak hanya dilakukan untuk mendapat pegawai yang akan menduduki suatu jabatan atau suatu posisi yang lowong. Tetapi rekrutmen dilakukan karena adanya kepentingan politik di balik itu. Dengan demikian profesionalisme kerja sangat jauh dari harapan, sedangkan profesionalisme kerja dapat mendorong terjadinya efisiensi birokrasi. Jika demikian halnya, maka birokrasi memang masih terbelenggu oleh pola-pola hubungan politik yang sulit untuk diputus. Akibat selanjutnya proses menuju good governance masih terhambat (Yuliani, 2004).

Rekrutmen Terbuka Jabatan Struktural

Jumat, 10 Mei 2013

Dalam banyak kasus sering ditemukan kesulitan untuk memilih orang yang tepat dalam menduduki jabatan tertentu. Di sinilah muncul peluang bagi terjadinya praktek KKN dalam rekrutmen jabatan-jabatan strategis yang ada di pemerintahan. Namun, seiring dengan terjadinya proses reformasi di Indonesia, keinginan untuk mewujudkan good governance di semua bidang menjadi keinginan banyak pihak. Oleh karenanya istilah Fit and Proper Test bagi suatu jabatan, baik dalam kaitannya untuk meningkatkan prestasi maupun sebagai bagian dari proses mutasi jabatan, begitu populer (Kusumasari, 2007: 338-339).
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, rekrutmen (promosi) jabatan yang tertuang dalam regulasi dan praktek selama ini lebih cenderung tertutup. Sistem yang ada membuat pegawai atau kandidat tidak bisa leluasa aktif berpartisipasi. Pada bagian ini penulis akan menawarkan sebuah alternatif rekrutmen jabatan struktural yang mirip dengan model Fit and Proper Test, yakni rekrutmen secara terbuka. Berikut ini mekanismenya.
Yang pertama, melakukan identifikasi jabatan yang perlu diisi. Sebagai tahap awal dengan mengutamakan jabatan yang ada pada eselon IV. Setiap tahun banyak jabatan pada eselon ini yang lowong karena adanya pegawai yang pensiun atau meninggal. Untuk menghindari resistensi dari pegawai yang sudah terlanjur mendapat jabatan struktural, biarlah untuk sementara jabatan mereka tidak diutak-atik. Identifikasi pada tahap ini lebih diprioritaskan pada pengisian jabatan yang lowong karena ditinggalkan pegawai yang pensiun. Pada waktu-waktu berikutnya, rekrutmen terbuka bisa menyasar pada semua jenis jabatan dan pada eselon yang lebih tinggi.
Yang kedua, membuat dan menyampaikan pengumuman terbuka tentang jabatan-jabatan yang lowong yang harus segera diisi. Semua pegawai bisa mendapatkan akses untuk informasi ini. Persyaratan minimal memang harus sesuai dengan peraturan kepegawaian misalnya berstatus PNS, memenuhi jenjang pangkat tertentu, memiliki prestasi kerja yang baik, sehat jasmani dan rohani, dan lain-lain. Kalau perlu ditambah dengan syarat pendidikan formal tertentu yang sesuai dengan jenis jabatan. Keahlian dalam pekerjaan dan pengalaman dalam kegiatan/kepanitiaan menjadikan poin tambahan. Namun yang tak kalah penting ia harus memiliki program tentang jabatan yang diincarnya.

Perlunya Alternatif Rekrutmen Jabatan

Rabu, 08 Mei 2013


UU Kepegawaian meyatakan bahwa pembinaan PNS dilakukan dengan berdasarkan pada perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi PNS yang berprestasi tinggi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetisi secara sehat. Dengan demikian pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada sistem prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi, dan pelatihan PNS.

Kompetensi jabatan merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS sebagai calon pejabat yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan struktural tertentu berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar para pejabat struktural dapat melaksanakan tugas secara profesional, efisien, dan efektif.
Namun sistem yang telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut dalam pelaksanaannya di daerah belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Meskipun kompetensi jabatan tetap menjadi hal yang masih dipertimbangkan sebagai persyaratan bagi calon pejabat struktural, namun ternyata pertimbangan-pertimbangan seperti kesamaan bahasa, adat istiadat, dan kesamaan agama tetap menjadi hal yang paling penting dalam pengangkatan pejabat struktural pada birokrasi.
Fenomena seperti itu diceritakan oleh Singal (2008) yang mengangkat kasus sebuah provinsi di Sulawesi. Dalam pengangkatan pejabat struktural, komitmen bahwa jabatan-jabatan tertentu merupakan milik atau tempat bagi pejabat yang berasal dari etnis tertentu masih sangat dirasakan. Perangkat kepegawaian daerah baik Baperjakat maupun BKD tidak dapat berbuat banyak ketika Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah menentukan calon yang dipilihnya sendiri, meskipun calon tersebut tidak memenuhi persyaratan yuridis formal. Hal yang harus dikerjakan oleh perangkat kepegawaian daerah adalah mencari celah dalam aturan formal, sehingga apa yang menjadi keinginan Pejabat Pembina Kepegawaian menjadi bukan sebuah pelanggaran atau penyimpangan dalam aturan kepegawaian.

Eksekusi Susno dan Jiwa Korsa Institusi

Minggu, 05 Mei 2013


Mantan Kabareskrim Susno Duadji kembali membuat berita. Susno merupakan jenderal polisi yang terlibat kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hukuman penjara tiga tahun dan enam bulan. Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Susno. Meski demikian, Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan alasan ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.
Setelah tiga kali mengabaikan panggilan eksekusi dari kejaksaan, maka pada 24 Maret 2013 ia membuat tindakan yang lebih spektakuler, yakni menggagalkan upaya paksa eksekusi atas dirinya. Tanpa sungkan, ia meminta perlindungan Polda Jawa Barat agar jaksa tidak bisa mengeksekusinya. Atas permintaan itu Polda Jabar pun mengirimkan sepasukan polisi ke rumah Susno. Alhasil, lagi-lagi kejaksaan pulang dengan sia-sia.

Polisi Pengayom Masyarakat
Yang menarik dari kasus di atas adalah keterlibatan polisi dalam melindungi orang yang akan dieksekusi oleh kejaksaan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian orang tersebut telah berstatus terpidana. Lebih khusus lagi Susno merupakan terpidana kasus korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang menjadi perhatian besar masyarakat agar segera dituntaskan. Tentu saja, tindakan polisi yang melindungi terpidana kasus korupsi menjadi bahan perbincangan menarik.

Kapolda Jabar membantah bahwa perlindungan tersebut sebagai upaya menghalangi penegakan hukum. Menjadi kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan bila ada warga negara yang meminta perlindungan tersebut, demikian Kapolda Jabar. Hal ini tentu saja menjadi sangat aneh. Memang benar, tugas kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun jangan dilupakan bahwa kepolisian memiliki tugas pula untuk menegakkan hukum. Membantu aparat hukum lain dalam menegakkan hukum semestinya menjadi prioritas kepolisian daripada melindungi terpidana.

Kesan tentang Analisis Isi

Kamis, 02 Mei 2013

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya masih mahasiswa S1 tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Kebetulan saya memiliki seorang teman yang berasal dari jurusan ilmu komunikasi pada kampus yang sama dengan saya. Ia juga sedang melakukan tugas menyelesaikan skripsi. Saya tidak sempat bertanya metode apa yang ia gunakan. Yang saya tahu ia meneliti berita-berita yang muncul pada beberapa surat kabar (seingat saya waktu itu adalah Radar Yogya dan Bernas). Sepintas yang saya baca, ia mengukur frekuensi pemberitaan suatu peristiwa di masing-masing media tersebut, kemudian dibandingkan.

Kemudian sepuluh tahun berselang, ketika saya mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan studi S2 di kampus almamater (tapi beda jurusan, S1 saya di Fakultas Hukum, kini di S2 Fisipol/MAP UGM) saya mendapatkan kuliah Metode Penelitian Administrasi. Salah satu yang diajarkan dalam kuliah ini adalah Analisis Isi. Saat itulah saya merasa, barangkali apa yang dikerjakan oleh teman saya dulu itu adalah melakukan penelitian dengan metode analisis isi.

Saya jadi teringat pernah memiliki buku tentang hasil penelitian berdasarkan analisis isi. Benar saja, setelah dicari-cari ketemulah buku itu,”Pers, Negara, dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru” karya May Lan. Karya ini awalnya tesis yang kemudian dijadikan buku. Benar saja, penelitian pada tesis tersebut menggunakan analis isi, yakni berita-berita tentang perempuan yang termuat di dua media massa yaitu Jawa Pos dan Kompas selama bulan Juli 1996 hingga Juni 1998.

Jujur, penjelasan dosen tentang analisis isi bagi saya merupakan sesuatu yang baru di bangku perkuliahan, namun sekaligus mencerahkan. Analisis isi tidak sekadar menghitung frekuensi keluarnya berita atau munculnya kata-kata tertentu dalam media, namun juga mencoba memahami apa maksud di balik bunyi maupun teks berita.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)