Eksekusi Susno dan Jiwa Korsa Institusi

Minggu, 05 Mei 2013


Mantan Kabareskrim Susno Duadji kembali membuat berita. Susno merupakan jenderal polisi yang terlibat kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hukuman penjara tiga tahun dan enam bulan. Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Susno. Meski demikian, Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan alasan ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.
Setelah tiga kali mengabaikan panggilan eksekusi dari kejaksaan, maka pada 24 Maret 2013 ia membuat tindakan yang lebih spektakuler, yakni menggagalkan upaya paksa eksekusi atas dirinya. Tanpa sungkan, ia meminta perlindungan Polda Jawa Barat agar jaksa tidak bisa mengeksekusinya. Atas permintaan itu Polda Jabar pun mengirimkan sepasukan polisi ke rumah Susno. Alhasil, lagi-lagi kejaksaan pulang dengan sia-sia.

Polisi Pengayom Masyarakat
Yang menarik dari kasus di atas adalah keterlibatan polisi dalam melindungi orang yang akan dieksekusi oleh kejaksaan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian orang tersebut telah berstatus terpidana. Lebih khusus lagi Susno merupakan terpidana kasus korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang menjadi perhatian besar masyarakat agar segera dituntaskan. Tentu saja, tindakan polisi yang melindungi terpidana kasus korupsi menjadi bahan perbincangan menarik.

Kapolda Jabar membantah bahwa perlindungan tersebut sebagai upaya menghalangi penegakan hukum. Menjadi kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan bila ada warga negara yang meminta perlindungan tersebut, demikian Kapolda Jabar. Hal ini tentu saja menjadi sangat aneh. Memang benar, tugas kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun jangan dilupakan bahwa kepolisian memiliki tugas pula untuk menegakkan hukum. Membantu aparat hukum lain dalam menegakkan hukum semestinya menjadi prioritas kepolisian daripada melindungi terpidana.
 
Memberikan perlindungan terhadap terpidana juga akan menjadi preseden buruk di tengah masyarakat. Di waktu yang akan datang, jika ada orang yang divonis pidana penjara oleh pengadilan dan kebetulan belum masuk bui, bisa saja ia meminta perlindungan kepada kepolisian agar kejaksaan tidak dapat mengeksekusinya.

Perlakuan kepolisian terhadap Susno juga menunjukkan sikap inkonsistensi. Dalam kasus yang sama, kepolisian melakukan tindakan yang berbeda. Pada 16 Maret 2013, terpidana kasus pelecehan seksual, Anand Krishna dijemput paksa di Bali setelah beberapa kali mangkir dari eksekusi kejaksaan. Alasan yang dikemukakan oleh Anand Krishna pun sama dengan apa yang disampaikan oleh Susno yakni tidak ada perintah penahanan dalam putusan kasasi MA, meskipun dinyatakan bersalah dan tercantum lamanya pidana yang harus dijalani. Namun, dengan bantuan kepolisian akhirnya Anand Krishna pun dijebloskan ke penjara. Sayang, ia bukan jenderal. Mungkin, beda ceritanya jika ia adalah mantan petinggi kepolisian.

Jiwa Korsa
Akhir-akhir ini isu jiwa korsa menjadi diskusi yang menarik, terutama setelah terjadinya peristiwa Cebongan. Berdasarkan investigasi TNI-AD yang dipimpin Brigjen Unggul K. Yudhoyono, diambil kesimpulan bahwa pembunuhan terhadap 4 tahanan di LP Cebongan, Sleman oleh oknum para anggota Kopassus pada pada 23 Maret 2013 didasari oleh ''jiwa korsa'' yang tinggi.

Tindakan itu dianggap reaksi atas pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso dan penyerangan terhadap Serka Sriyono sehari kemudian. Kedua korban adalah atasan dan rekan pelaku. Sedangkan, empat tahanan yang dibunuh adalah yang melakukan pembunuhan dan pengeroyokan terhadap Heru Santoso dan Sriyono. Keempatnya sering disebut sebagai anggota kelompok preman. 

Jiwa korsa adalah terjemahan dari bahasa Prancis esprit de corps (esprit= semangat, corps=tubuh), atau secara harfiah semangat dari tubuh. Istilah ini sering dipakai dalam dunia militer. Jaleswari Pramodhawardani (2013) menegaskan bahwa semangat korps adalah kapasitas anggota kelompok mempertahankan kepercayaan kepada institusi atau tujuan, terutama dalam menghadapi musuh atau kesulitan. Semangat korps sering diwakilkan oleh otoritas figur sebagai pertimbangan nilai generik dari kemauan, ketaatan, dan disiplin diri dari kelompok yang bertugas melaksanakan tugas yang diberikan atasan.

Kepatuhan kepolisian atas permintaan Susno sedikit banyak dipengaruhi oleh jiwa korsa ini. Susno adalah mantan petinggi kepolisian, bahkan pernah menjadi orang nomor satu di Polda Jabar. Tampaknya kepolisian tidak akan begitu saja membiarkan salah satu mantan jendralnya “disakiti”, karena sakit yang dialami oleh satu anggota merupakan sakit bagi seluruh anggota.

Kontroversial jiwa korsa dalam kasus Susno bukanlah satu-satunya peristiwa dalam tubuh kepolisian. Kepolisian pernah bersitegang dengan KPK. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka kasus korupsi alat simulator. Atas tindakan KPK tersebut kepolisian melakukan langkah kontra produktif, yakni melakukan penyidikan terhadap kasus yang juga ditangani KPK, penarikan penyidik dari KPK, dan penangkapan penyidik KPK. Hal itu tak lain dicurigai sebagai upaya perlindungan terhadap petingginya yang terkena kasus korupsi. 

Penerapan jiwa korsa yang tidak pada tempatnya dapat saja menjerumuskan kepolisian pada lubang yang semakin dalam. Jiwa korsa yang lebih menekankan “benar atau salah itu adalah institusi saya” mestinya harus dirubah. Kepolisian memang harus menjadi pelindung masyarakat, namun bukan pelindung pelaku kejahatan, apalagi pelaku korupsi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)