Politik Anggaran Daerah (Bagian Pertama)

Jumat, 17 Mei 2013


Sudah semestinya pemerintah menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sulit untuk menentukan berapa besar sebenarnya alokasi belanja publik yang ideal di dalam APBD mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda. Alam demokrasi pun turut membawa situasi serba dilematis. Antara pentingnya mesin birokrasi dan anggaran yang harus disediakan, antara percepatan penyerapan anggaran, dan kontrol hukum yang ketat
Dengan melihat fakta bahwa anggaran publik dan kebijakan keuangan daerah di Indonesia belum bisa menjadi pendorong bagi investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung maka memang ada permasalahan dalam anggaran kita. Permasalahan tersebut antara lain penentuan alokasi anggaran yang terlihat pro birokrasi (belanja pegawai), kepentingan politik di daerah, interaksi antar pemangku kepentingan, dan sistem keuangan dan pertanggungjawaban.

Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah, baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai terdiri dari gaji dan belanja pegawai lainnya.
Berdasarkan data FITRA (dalam Farhan, 2012), pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai,  jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah  di antaranya menganggarkan belanja pegawai di atas 70%. Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai,  dalam bentuk DAU  Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8%), dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%). Praktis dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah  telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Kepentingan Politik di Daerah
Kepala Daerah sebagai pejabat politik di daerah memiliki peranan sangat besar di dalam anggaran belanja daerah. Biaya politik yang cukup tinggi (terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung) membuat setiap orang berpikir dan berbuat untuk mendapatkan sumber daya pembiayaan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan pengusaha. Tentu saja ini tidak diperoleh secara gratis. Ada proses transaksi, yang celakanya menggunakan sumber daya publik (APBD). Di sinilah dua kepentingan bertemu. Politisi membutuhkan dana (yang dicukupi oleh pengusaha), sedangkan pengusaha membutuhkan laba (dengan proyek-proyek pemerintah yang disediakan aksesnya oleh politisi). Simbiosis mutualisme akhirnya menggerogoti anggaran yang mestinya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada pula modus kampanye terselubung yang menggunakan APBD, yakni dengan bantuan sosial. Kegiatan ini akan marak menjelang Pilkada dan berangsur-angsur mereda setelah Pilkada.
Selain dengan menggunakan pihak ketiga (pengusaha) untuk membiayai proses politik yang begitu tinggi, tak jarang para calon Kepala Daerah menggunakan dana pribadi, entah itu dari simpanan maupun pinjaman. Biaya yang dikeluarkan ternyata tak sebanding dengan pendapatan yang secara resmi diperoleh sebagai Kepala Daerah. Bahkan sampai habis periode kepemimpinan, bila hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, biaya politik tersebut tetap tidak terbayarkan. Bukankah Kepala Daerah juga memerlukan pemenuhan kebutuhan pokoknya, untuk menghidupi diri dan keluarganya? Maka, tak heran jika salah satu cara yang dipergunakan untuk mengganti biaya politik dalam Pilkada adalah dengan mengambil dana dari APBD. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah bisa dijadikan bukti. Menurut data dari Kemendagri ada 158 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.
Selain itu, di era otonomi daerah, Kepala Daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian yang memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan (termasuk promosi), dan memberhentikan PNS. Hal ini dimanfaatkan benar oleh Kepala Daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Misalnya, pengangkatan besar-besaran tenaga honorer menjadi PNS bisa dijadikan modal dukungan mereka terhadap Kepala Daerah apabila hendak maju lagi dalam Pilkada. Contoh lain adalah munculnya transaksi uang dalam sejumlah promosi jabatan. Hal ini bisa dijadikan sumber dana untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan maupun modal dalam Pilkada yang akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)