Film Heroik Tentara Pelajar

Senin, 27 Juni 2016

Salah satu perang saudara yang terkenal di kawasan Asia adalah Perang Korea yang dimulai pada bulan Juni 1950 antara Korea Utara dan Korea Selatan. Hakekatnya perang ini melibatkan dua negara besar di belakangnya, yakni Tiongkok di belakang Korea Utara dan Amerika Serikat di belakang Korea Selatan. Saat itu Korea baru saja lepas dari pendudukan Jepang. Penjajahan Jepang sendiri telah mendatangkan kerugian yang amat besar. Jutaan lelaki Korea dikirim ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja paksa. Sementara kaum perempuannya dijadikan budak seks tentara Jepang.

Pasca Perang Dunia II yang dimenangkan sekutu, Jepang meninggalkan Korea. Korea terbagi dua menjadi Korea Utara yang berpaham komunis dan Korea Selatan yang berpaham kapitalis. Korea Utara memulai invasi dengan ratusan ribu tentara dan berhasil menguasai beberapa wilayah. Korea Selatan yang jumlah tentara dan persenjataan militernya kalah unggul menjadi terdesak. Amerika Serikat akhirnya turun langsung ke medan peperangan membantu Korea Selatan. Di pihak lain, Tiongkok yang negara komunis dan juga tetangga Korea Utara akhirnya ikut terjun dalam peperangan membantu Korea Utara.

Perang ini berakhir pada Juli 1953 saat Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan menolak menandatanganinya meskipun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata. Namun secara resmi, perang ini belum berakhir. Hingga saat ini masih sering terjadi ketegangan di antara kedua Korea, terutama di perbatasan. Perang Korea mengakibatkan ratusan ribu tentara kedua Korea tewas. Turut tewas ribuan tentara Amerika Serikat dan Tiongkok. Sedangkan korban dari penduduk sipil diperkirakan 2 juta tewas.

Perang saudara di Korea pada tahun 1950-an tersebut meninggalkan kisah yang menarik. Salah satu di antaranya adalah peran para pelajar memanggul senjata turun di medan laga mengalami perang orang dewasa. Mempertahankan tanah airnya, anak-anak muda berusia remaja itu tewas tertembus peluru tajam maupun lontaran mortir. Film berjudul “71 Into the Fire” menggambarkan hal tersebut. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang puluhan pelajar Korea Selatan yang secara heroik mempertahankan sebuah sekolah dari serbuan ratusan tentara Korea Utara. Film yang berjudul asli “Pohwasogeuro” ini dirilis tahun 2010.


Pada awal film digambarkan tentara Korea Selatan terdesak sehingga harus mundur ke belakang. Sang komandan berpangkat Kapten bersama pasukannya menuju medan pertempuran lain di perbatasan sungai Nak-Dong. Sebuah medan perang yang dirasa lebih penting. Sebelum pergi sang kapten memberikan amanah kepada salah seorang anak buahnya yang berusia belia untuk tetap mempertahankan sebuah sekolah menengah putri di Pohang. Bersamanya, si belia yang juga masih pelajar ini, disertai 71 pelajar sebagai anak buah dengan dibekali senjata, alat komunikasi, dan makanan. Tugas yang teramat berat, karena lawan yang bakal dihadapi adalah tentara terlatih dan memiliki persenjataan berat. Di antara tentara pelajar tersebut terdapat beberapa kriminil.

Konflik internal mulai muncul di sebagian kecil tentara pelajar tersebut. Dari adu mulut, pembangkangan perintah, hingga perkelahian menyertai para pelajar sebelum mereka benar-benar menghadapi pertempuran militer sesungguhnya. Selain itu beberapa pertempuran kecil sempat terjadi saat mereka bertemu dengan regu lawan, hingga beberapa kawan mereka tewas. Sadar akan lawan yang lebih unggul dalam senjata, jumlah, dan pengalaman membuat mereka menyatukan tekad bertempur habis-habisan. Rasa ego dikalahkan oleh semangat patriotisme, cinta tanah air. Dengan heroik para pelajar tersebut mati-matian mempertahankan sekolah yang dijadikan benteng. Dan, akhirnya satu demi satu tumbang kehilangan nyawa.

Saya rasa film ini berhasil mengaduk emosi. Film ini tentu menjadi perspektif menarik terutama bagi generasi muda Korea dalam mempelajari sejarah negerinya. Anak-anak muda yang seharusnya duduk di bangku sekolah “memainkan” buku dan alat tulis dipaksa kedaan memanggul senapan. Terpaksa meninggalkan masa ceria sebagai remaja. Terpaksa berjauhan dengan ayah bunda dan keluarga. Mereka hanya punya dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Sebuah surat ditemukan dari salah seorang tentara pelajar tersebut yang menjadi inspirasi pembuatan film. Surat yang ditujukan kepada ibunya tentang pengalamannya.

“Ibu… hari ini ada 71 orang di markas, mereka sedang tertawa di kelas sebelah. Aku berharap suara tawa itu akan tetap ada”, demikian tertulis dalam surat tentara pelajar kepada ibunya di saat malam. Ketika itu teman-temannya sedang bergurau lepas menjelang tidur. Pasca bentrok perdana dengan tentara lawan, ia menulis, ”Ibu, selama ini aku menganggap tentara Korea Utara adalah manusia dengan tanduk dan senjata. Namun, ternyata memanggil ibu dalam bahasa yang sama denganku. Ibu, aku telah membunuh satu tentara Korut malam ini”. Ya, tentara Korea Utara yang tertembak itu, dalam sekaratnya merintih, “Ibu, ibu …!”

Di Indonesia jarang kita temui film yang berlatar belakang tentara pelajar. Setidaknya saya belum pernah menjumpai. Dalam sejarahnya, terutama era mempertahankan kemerdekaan, Indonesia sebenarnya pernah memiliki tentara pelajar yang tak kalah gigihnya menghadapi penjajah. Bersama tentara reguler, mereka berjibaku rela meninggalkan bangku sekolah, berpisah dengan keluarga, bergerilya keluar kota, hingga kehilangan nyawa. Sebagian tewas dan dikubur sebagai pahlawan tanpa nama. Tak dikenal. Sebagian yang masih hidup bercerita dalam memoar meninggalkan kenangan untuk generasi berikutnya.

Di Indonesia berdirinya tentara pelajar bermula dari para pelajar yang berhimpun dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada awal kemerdekaan. Memenuhi tuntutan banyak anggotanya IPI akhirnya membentuk pasukan tempur untuk melawan penjajah Belanda. Pada 17 Juli 1946 dikukuhkan dan dilantik tentara pelajar. Ada perbedaan penyebutan tentara pelajar di beberapa daerah. Di Jawa Timur dikenal sebagai Tentara Republik Indonesia Pelajar. Karena anggotanya anak-anak muda, banyak pula yang menjulukinya dengan Mas Trip. Di Jawa Barat disebut dengan Tentara Pelajar Siliwangi. Ada pula unit khusus bernama Tentara Genie Pelajar (TGP) yang berisi anak-anak yang duduk di sekolah teknik. Yang terakhir ini sering mendapatkan tugas merakit bom, melakukan sabotase, menghancurkan gedung, jembatan, dan lain-lain.

Salah satu medan pertempuran yang dihadapi oleh tentara pelajar adalah di Solo. Hal ini diceritakan oleh Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja”. Minggu mulai jam 6 pagi tanggal 7 Agustus 1949, tulisnya,  kota Solo yang dikuasai Belanda diserang oleh pasukan Indonesia secara serentak. Penyerangan dilakukan oleh pasukan SWK Ardjoena 106 yang sebagian besar terdiri dari tentara pelajar. Tentara Belanda dalam keadaan kebingungan, karena dari segala penjuru mendapat serangan. Sekitar 2.000 anggota tentara pelajar yang masih muda usia, dengan senjata seadanya menyerbu tentara Belanda yang memiliki persenjataan jauh lebih kuat. Sampai larut malam pertempuran sengit masih belum berakhir, karena tentara pelajar memakai semboyan, “Patah satu, tumbuh seribu!” Regu demi regu, tentara pelajar menyerang setiap pertahanan Belanda, kemudian setelah itu, mereka menyusup ke dalam kampung dan menghilang.

Kisah yang mirip dengan film “71 Into the Fire” adalah saat tentara pelajar mempertahankan kota Malang dari agresi tentara Belanda pada bulan Juli 1947 yang meminta korban 35 pelajar. Komandan tentara pelajar, Soesanto, bersama anak buahnya ditugaskan mempertahankan daerah Oro-oro Dowo. Dengan persenjataan kalah canggih, mereka harus berhadapan dengan tentara terlatih yang dilengkapi dengan tank. Selain itu dari arah lain mereka diserang oleh peluru-peluru yang tak diketahui dari pasukan mana. Kuat diduga serangan mata-mata. Satu per satu tubuh anak-anak muda itu pun roboh bermandikan darah. Sang komandan pun turut tewas. Sisa anak buahnya tak menyurutkan langkah, berjuang hingga penghabisan. Saat pertempuran usai, ditemukan 35 jenasah tentara pelajar.

Di Madiun, selain menghadapi ancaman agresi tentara Belanda, tentara pelajar juga berhadapan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Markas TRIP diserang tentara PKI pada siang bulan September 1948. Salah seorang pelajar yang bertugas jaga, Moeljadi, ditembak mati. Konon kabarnya penembak Moeljadi ini tak lain adalah kakaknya sendiri, Moeljono yang bergabung dengan tentara PKI. Jasad Moeljadi yang sudah tak bernyawa masih pula ditusuk-tusuk dengan sangkur. Beberapa pimpinan TRIP ditawan oleh PKI.

Tewasnya Moeljadi mendatangkan kemarahan para pelajar di kota Madiun. Ribuan warga dan pelajar Madiun mengiringi upacara pemakaman Moeljadi di Taman Makam Pahlawan sembari melakukan demonstrasi besar-besaran. Sejumlah pelajar membentuk Pelajar Anti Muso (PAM). Muso adalah pemimpin pemberontakan PKI Madiun. Tanpa mengindahkan bahaya PAM memelopori penempelan poster-poster bernada anti PKI. Tindakan pelajar tersebut tergolong sangat berani, karena dalam pemberontakannya PKI banyak melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap lawan. Saat tentara PKI terdesak oleh TNI, beberapa tawanan dibunuh.

Dalam pemberontakan PKI di Madiun, tentara pelajar kehilangan 7 anggotanya. 1 tewas saat penyerbuan di markas dan 6 dibunuh saat menjadi tawanan. Salah seorang di antaranya adalah Soetopo, siswa SMA Pertahanan yang baru saja meraih medali emas lomba lari cepat Pekan Olahraga Nasional di Solo. Selain membawa luka yang dalam akibat gugurnya beberapa temannya, tentara pelajar harus pula menghadapi kenyataan berat bahwa terdapat 3 anggotanya yang berkhianat dengan bergabung bersama PKI. Dalam catatan kaki buku “Orang-orang di Persimpangan Jalan” karya Soe Hok Gie tertulis Alex Legowo dan Sunarjo anggota TRIP yang bergabung dengan PKI dihukum mati oleh teman-temannya sendiri. Mereka tenang sekali menitipkan pesan untuk ibunya bahwa ia (Alex) rela mati untuk cita-citanya. Ia merangkul teman-temannya dan menyanyikan Mars Tentara Pelajar sebelum menuju tempat eksekusi.

Peristiwa heroik tentara pelajar berperang melawan tentara Belanda di Solo dan Malang serta peristiwa mengharukan tentara pelajar Madiun melawan pemberontakan bangsanya sendiri agaknya sungguh menarik bila difilmkan. Pembuatan film bisa dijadikan salah satu usaha untuk merawat ingatan akan sejarah bangsanya. Selain itu juga sebagai alternatif selain film-film yang menyuguhkan tontonan horor, percintaan, dan komedi yang marak. Kita perlu belajar dari Korea Selatan yang berhasil membuat film tentang tentara pelajar. Sekadar informasi film “71 Into The Fire” meraih lebih dari 3 juta penonton di Korea Selatan, dan bertengger pada jajaran film box office berbulan-bulan. Film ini juga diputar di beberapa kota besar di Amerika Serikat seperti New York, Los Angeles, New Jersey, Philadephia, Boston, Dallas, Houston, Seatle, Chicago, dan Virginia. Dan merupakan film penutup di Hawaii International Film Festival.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)