Kekerasan Polisi

Jumat, 13 November 2015

Francesco Vincent Serpico, lahir di kawasan hitam Brooklyin pada tahun 1936 sebagai anak bungsu dari pasangan Vincenzo dan Maria Giovanna Serpico, imigran Italia. Pernah menjadi tentara Amerika Serikat dan ditempatkan dua tahun di Korea Selatan sebagai infanteri hingga akhirnya ia bergabung menjadi anggota kepolisian di New York. Di sinilah kisah Serpico dimulai. Namanya menjadi legenda, tenar, dibukukan, dan dibuatkan film  yang diperankan oleh aktor Al Pacino dengan judul yang sama dengan namanya, “Serpico”.

Awalnya Serpico adalah polisi biasa nan sederhana. Sampai suatu saat ia mulai menyadari bahwa berbagai penyimpangan terjadi di sekitar lingkungannya, sesama rekan polisi. Anggota kepolisian dihinggapi penyakit kronis. Mulai memeras, melindungi praktek perjudian, penyalur narkoba, terlibat penyuapan, dan korupsi. Serpico tak ikut arus, dan akibatnya ia dimusuhi. Pada tanggal 3 Februari 1971, dalam penggrebekan bandar besar narkoba, ia dikhianati. Ia ditembak oleh penjahat yang telah bermain mata dengan rekan-rekannya. Peluru memutuskan syaraf pendengaran, menyebabkan tuli pada salah satu telinga, dan sakit kronis.

Pada Oktober dan Desember 1971, Serpico bersaksi di depan Komisi Knapp, sebuah komisi yang dibentuk untuk mengungkap skandal suap di tubuh kepolisian. Hasilnya, dugaan penyimpangan terbukti benar adanya. Petinggi kepolisian akhirnya menindak mereka yang bersalah dan melakukan reformasi besar-besaran. Atas jasanya, Serpico diganjar penghargaan Medal of Honor. Sebulan kemudian, pada bulan Juni 1972 ia berhenti dari dinas kepolisian.

Kisah Serpico di Amerika Serikat ini mirip dengan Novel di Indonesia. Sama-sama mengungkap kebusukan ulah petinggi sebuah institusi namun akhirnya dimusuhi sendiri sesama anggota korps. Komisaris Polisi Novel Baswedan adalah seorang penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian. Ia sedang memimpin proses penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi dan menengah kepolisian. Hingga tiba-tiba, beberapa saat kemudian Novel berbalik disangka melakukan kejahatan saat bertugas di Bengkulu bertahun-tahun sebelumnya. Secara demonstratif, polisi dalam jumlah banyak berusaha menangkap Novel di kantor KPK. Timbullah selisih paham yang akhirnya membawa konflik antara KPK dan Kepolisian, kedua lembaga yang sama-sama diberi amanah menegakkan hukum. Presiden pun turun tangan.


Konflik mereda tetapi beberapa saat berselang muncul kembali. Abraham Samad, ketua KPK, ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian untuk kasus pemalsuan dokumen kependudukan. Rekannya di KPK yang juga unsur pimpinan, Bambang Widjojanto dicegat di tengah jalan saat mengantar anaknya sekolah. Digelandang ke kantor polisi ia disangkai melakukan sebuah kejahatan dalam perkara pilkada saat masih menjadi advokad. Sontak, Indonesia geger. Lalu muncul lagi istilah kriminalisasi.

Istilah kriminalisasi dulu pernah muncul dalam kasus pimpinan KPK sebelumnya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Mereka berdua dituduh menerima suap dari Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2009, melalui adiknya, Anggodo Widjojo. Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dan sempat mendekam di penjara. Kasusnya tak sempat ke pengadilan. Justru Antasari Azhar, satu-satunya pimpinan KPK (bahkan jabatannya ketua) yang merasakan vonis pengadilan untuk kasus pembunuhan seorang pejabat BUMN dengan dibumbui isu cinta segi tiga. Antasari melawan karena merasa kasusnya penuh rekayasa.

Novel, Samad, Bambang, Bibit, Chandra, dan Antasari adalah orang-orang yang paham hukum. Bahkan dalam keseharian mereka bergelut dengan kasus hukum. Untuk orang-orang sekaliber seperti itu saja mereka merasa dikriminalisasi, direkayasa kasusnya, dicari-cari kesalahannya, lalu apa yang hendak kita kata dengan perkara yang membelit orang kecil dan awam hukum. Kasus Dedi misalnya.

Bermula dari perkelahian antar sopir angkota di Cililitan karena berebut penumpang. Salah seorang akhirnya tewas. Seminggu setelah kejadian polisi meringkus Dedi, seorang tukang ojek, yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Dedi menolak karena pada saat kejadian, ia telah pulang ke rumah. Dan sebagaimana cerita yang selama ini jamak terdengar, aparat yang semestinya mengayomi masyarakat menghajar Dedi untuk sebuah pengakuan. Dedi ditahan, meninggalkan istri dan anak.

Semasa Dedi ditahan, istrinya menggantikan peran dengan menjadi tukang ojek, mencari sesuap nasi untuk nafkah. Karena kekurangan gizi sang anak akhirnya meninggal. Cerita pilu ini tak berhenti di sini. Untuk melihat jasad anak saat terakhir kali pun, Dedi dilarang. Ia baru diizinkan keluar setelah anaknya dikubur. Itupun dengan tangan diborgol bersama pengacaranya yang bersedia menjamin. 10 bulan setelah mendekam di dalam penjara, Dedi menghirup udara segar karena memang terbukti tidak bersalah.

Kita jadi bertanya-tanya, benarkah kekerasan yang dilakukan oleh aparat berwenang terhadap tertuduh pelaku kejahatan merupakan bagian dari prosedur resmi. Komnas HAM pernah merilis bahwa dari 6.000 kasus pelanggaran HAM yang diterima sepanjang tahun 2014, 40 persen di antaranya ternyata dilakukan oleh aparat kepolisian. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi sering terjadi pada proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap tersangka. Tak jarang tindakan kekerasan seperti pemukulan terjadi dalam proses BAP untuk mengumpulkan informasi.

Terkait kekerasan aparat kepolisian, pernah muncul anekdot. Suatu saat ada kompetisi polisi antara negara. Pesertanya dari Jepang, Amerika, dan Indonesia. Cara lombanya adalah dengan mencari seekor kelinci di dalam sebuah hutan. Siapa yang dapat menemukan kelinci dialah yang menjadi jawara.

Polisi dari Jepang dengan penuh kehatian-hatian menyusuri hutan. Selain itu polisi Jepang juga menyebar informan untuk mencari keberadaan kelinci serta menanyai seluruh penghuni hutan. Meskipun hutan telah diubek-ubek namun keberadaan kelinci nihil juga. Akhirnya setelah satu bulan polisi Jepang menarik kesimpulan bahwa di hutan itu tidak ada kelincinya.

Giliran polisi dari Amerika, dengan senjata yang amat canggih mengobrak-obrak isi hutan. Tidak sekadar itu, karena belum juga menemukan si kelinci akhirnya 2 minggu kemudian dibabat habislah hutannya. Selain itu hutan pun dibakar. Kelincinya sih ketemu namun sudah dalam kondisi hitam legam terpanggang api bersama seluruh penghuni hutan yang lain.

Sekarang polisi dari Indonesia beraksi. Tanpa kesulitan 1 jam kemudian polisi tersebut keluar dari hutan sambil membawa seekor tikus yang hancur karena dipukuli. Sambil keluar dari hutan si tikus berteriak-teriak kesakitan, ”Ya, ya... saya ngaku, saya ngaku...saya kelinci!”  Akhirnya menanglah polisi dari Indonesia dalam kompetisi itu.

Kita tak menutup mata bahwa banyak pula prestasi kepolisian. Banyak pula anggotanya yang berdedikasi. Untuk menggambarkan bagaimana tugasnya, kepolisian menggandeng media. Di stasiun televisi swasta misalnya ada acara bertajuk 86. Kita disuguhi perjuangan aparat dalam mengungkap kejahatan, menangkap preman, membubarkan balapan liar, melakukan operasi penertiban lalu lintas, dan sebagainya. Dalam acara itu pula kemudian muncul pernyataan seorang Polwan yang berhasil menyedot perhatian jagat maya dan menjadi trending medsos, “Di situ kadang saya merasa sedih”. Karena dianggap menarik, ekspresi lucu Dewi Sri Mulyani, si polwan tadi dimunculkan dalam bentuk gambar ilustrasi olahan (meme) lengkap dengan kalimat khasnya.

“Aja dumeh, aja rumangsa isa, nanging isaa rumangsa” , demikian falsafah Jawa yang berarti, “Jangan sok, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasakan”. Jenderal (Pol) M. Sanusi, Kepala Polri periode 1986-1991, pernah mengangkat falsafah aja dumeh tersebut menjadi simbol polisi. Jangan mentang-mentang anggota polisi dibekali bedhil, digunakan untuk menakuti-nakuti orang kecil yang tak bersalah. Merasa bisa, merasa dapat, merasa mampu itu mudah. Yang sulit adalah bisa merasa, tidak sembarang orang sanggup melakukannya. Falsafah aja dumeh mengingatkan kepada polisi agar tidak arogan dalam menjalankan tugas.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)