Kedaulatan Pangan

Selasa, 10 November 2015

“Tempe. Ibu pulang dari pasar. Tidak lupa membawa tempe. Aku suka makan tempe. Karena tempe banyak gizinya”.

Lantang saya teriakkan deklamasi di depan kelas, di hadapan teman-teman. Muka saya masih imut. Rambut saya masih cepak, potongan kuncung. Ruangan kelas, yang memang satu-satunya, masih berlantai tanah. Di samping saya, Bu Titik, guru TK tersenyum geli. Kini, almarhumah menjadi legenda dunia pertamankanak-kanakan. Coba tanya orang-orang di Taman, Madiun, terutama yang berusia 20-an ke atas, siapa yang tak kenal nama beliau. Dari kakak saya yang sekarang berumur 50-an tahun, hingga anaknya yang sekarang punya anak lagi seusia TK, pernah diajar oleh Bu Titik.

Tempe, yang disebutkan di muka tadi, merupakan salah satu makanan favorit saya, barangkali juga seluruh nusantara, terutama Jawa. Penduduk Jawa memang dikenal menyukai dan menyayangi tempe. Sejak jaman kerajaan dulu tempe sudah menjadi santapan. Prof. Mary Astuti, seorang peneliti tempe dari UGM, menyatakan bahwa tempe semula dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada beberapa abad yang lalu. Pada sekitar tahun 1600 telah tercatat bahwa Pangeran Bayat pernah menyuguhi tamunya dengan tempe.

Dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” Sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12, kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”

Presiden RI pertama, Bung Karno dikabarkan sebagai penggemar tempe. Tempe, selain gulai daun singkong adalah dua makanan yang tak pernah absen dari meja makan Bung Karno. Berkat Bung Karno pula, nama tempe menggelegar di seantero negeri memesankan rakyat agar bekerja keras tidak menjadi bangsa kuli. “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”, teriaknya. Karena pembuatan tempe secara tradisional adalah dengan cara diinjak-injak, maka penggambaran bangsa tempe adalah bangsa yang mudah diinjak-injak (harga diri dan kedaulatannya).


 

Sebagai makanan tempe mempunyai kandungan gizi yang diperlukan manusia. Menurut Ali Khomsan, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, berbagai kajian telah membuktikan manfaat tempe untuk meraih hidup sehat. Formula tempe yang diberikan pada anak-anak yang menderita diare kronis akan mempercepat penyembuhannya. Diet tempe juga mampu meredam aterosklerosis pada hewan percobaan. Tempe mempunyai sifat hipokolesterolemia yang artinya dapat menurunkan kadar kolesterol tubuh. Barangkali itu sebabnya mengapa penduduk Okinawa di Jepang mempunyai rentang umur yang lebih panjang karena kegemarannya mengonsumsi kedelai.

Dalam sebuah buku berjudul Stop Aging Now karya Jean Carper dinyatakan bahwa apabila burger Amerika yang kini menjadi menu andalan di restoran fastfood, sebagian isinya yang berupa daging itu diganti dengan kedelai maka banyak anak muda yang akan terselamatkan dari kanker. Terlalu banyak makan daging merah memang diduga akan mencetuskan penyakit kanker. Dalam proses pemasakan, daging merah akan menghasilkan amina heterosiklik yang bersifat karsinogen.

Tempe kaya dengan varian. Di Ngawi, tempe difermentasi menjadi sambal, namanya lethok. Sering disantap dengan nasi pecel yang bisanya menggunakan sambal kacang. Di beberapa daerah ada yang dikenal dengan tempe gembus atau gembos yang dibuat dari limbah kacang. Di Malang ada yang menyebut dengan menjes. Di Jogja yang orangnya suka sajian manis, tempe dibuat bacem. Di daerah Banyumas terkenal dengan nama mendoan. Yang terakhir ini sempat menjadi heboh beberapa waktu yang lalu karena dipatenkan oleh seseorang. Konon kabarnya, Jepang juga sempat berusaha mematenkan tempe.

Ada pula tempe bongkrek yang dibuat dari limbah kelapa yang sering menimbulkan geger. Pada tahun 1980-an puluhan orang menjadi korban akibat mengonsumsi tempe bongkrek, sampai pemerintah sempat melarang tempe bongkrek. Dalam cerita yang lain, geger tempe bongkrek pernah dimunculkan dalam film “Sang Penari”. Film ini diadaptasi dari novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari yang berlatar sejarah tahun 1960-an. Penjual tempe bongkrek Santayib, tak sengaja menjual tempe bongkrek beracun yang membunuh banyak warga, termasuk ronggeng (penari) dukuh Paruk. Penduduk panik dan mendatangi rumah Santayib dengan amarah. Sebagai bentuk tanggung jawabnya, Santayip dan sang istri lalu ikut memakan tempe buatannya dan akhirnya mati. Putri Santayip, Srintil selamat. Srintil akhirnya menjadi ronggeng dukuh Paruk dan menjadi tokoh sentral film ini.

Membincangkan tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, yakni kedelai. Namun sayangnya Indonesia masih mengimpor, termasuk kepada Amerika Serikat yang di dalam negerinya kedelai biasanya dipakai untuk memproduksi minyak goreng. Karena masih mengimpor tentu saja harganya menyesuaikan dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah.

Tahun 2013, harga kedelai di Indonesia yang terus-menerus naik membuat perajin tempe berencana mogok massal. Krisis kedelai sebagai bahan baku makanan favorit rakyat tersebut sebenarnya menunjukkan kerapuhan ketahanan pangan kita. Tak hanya kedelai, untuk komoditas pangan semisal gandum, gula, bawang putih, aneka buah, daging sapi, susu, bahkan beras kita masih mengimpor. Sebuah ironi dari negeri agraris yang konon subur makmur gemah ripah loh jinawi.

Bila masalah pangan ini tidak segera teratasi, bisa menimbulkan gejolak sosial. Tidak jarang pergantian rezim di beberapa negara diawali dari krisis pangan maupun ketergantungan impor pangan yang terlalu besar. Menurut Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, krisis pangan di Indonesia (impor beras mencapai rekor tertinggi 6,077 juta ton) menjadi pemicu kerusuhan besar dan pergantian rezim di 1998. Penelitian NECSI (New England Complex System Institute, 2012) menyimpulkan, karakter geografis kekerasan berubah cepat ketika negara kian tergantung impor dan pada saat bersamaan terjadi ledakan harga pangan.

Sudah banyak pakar yang berbicara tentang kedaulatan pangan, pun dengan kajian ilmiah maupun opini di media massa. Tuan presiden bahkan terlanjur mengumbar janji untuk mengembalikan kedaulatan pangan. Ini ditempuh melalui proyek pembagian 9 juta hektar lahan ke petani, penambahan kepemilikan lahan dari 0,3 hektar menjadi 2 hektar, pembangunan irigasi/embung, pencetakan 1 juta hektar lahan baru, pendirian bank pertanian, dan upaya mendorong industri pengolahan.

Memang sudah ghalibnya, setiap pergantian rezim selalu menjanjikan berjuta harapan. Selalu membungakan perubahan masa depan nan gemilang. Tetapi, tentu saja setiap perubahan tersebut menuntut kekuasaan nyata. Kedaulatan yang tidak sekadar simbolik. Kekuatan untuk melaksanakan apa yang dikatakan, mewujudkan apa yang dijanjikan, dan mencapai apa yang telah dicita-citakan.

Selamat bekerja tuan presiden. Tentunya karpet merah yang dihamparkan sepotong saat penyambutan tuan presiden beranjangsana ke Paman Sam tidak diartikan sebagai pelecehan bagi negara berdaulat yang bernama Indonesia. Selama ini, tuan presiden yang berhobi blusukan tidak terlalu mempersoal seremoni. Oleh-oleh berupa nafsu bergabung dalam TPP cukuplah membuka mata, itulah intinya. Trans Pasific Partnership (TPP), suatu kerja sama yang mendorong perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi. “TPP dirancang untuk meneruskan proyek neoliberal untuk memaksimalkan keuntungan dan dominasi”, ujar Noam Chomsky, aktivis dan akademisi progresif terkemuka AS.

Saya mengambil sepotong tempe hangat, memasukkan ke dalam mulut, mengunyah, dan menunggu langkah tuan presiden selanjutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)