Negeri Para Pahlawan

Kamis, 19 November 2015

Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya ke dalam sebuah majelis, di mana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Cerita tentang pahlawan sastra dan istrinya tersebut merupakan satu di antara sekian hikmah yang bisa ditemui dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”. Buku tersebut adalah himpunan 76 kolom serial kepahlawanan di majalah Tarbawi yang ditulis oleh Anis Matta. Selama ini kita mengenal Anis sebagai politikus. Ia pernah menjadi ketua partai politik dan wakil ketua parlemen. Politik, dimaklumi sebagai dunia bergetah, juga beranjau. Namun pada sisi yang lain, meminjam ungkapan sastrawan Taufiq Ismail dalam pengantarnya, kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sana-sini, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.

Tulisan-tulisan Anis lahir akibat kegelisahannya akan kelangkaan pahlawan. Dalam bahasa yang puitis, menurutnya, negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur, mereka makin pelit melahirkan pahlawan. “Saya tidak pernah merisaukan benar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab di sini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa,” tulisnya.

Bagi Anis, seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya. Karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya.


Hiruk pikuk memeringati pahlawan di negeri ini banyak difokuskan pada tanggal 10 November. Seremoni pengingatnya mewujud dalam tabur bunga, upacara bendera, karnaval, dan kadang-kadang teatrikal. Di beberapa tayangan televisi bahkan dengan acara dangdut. Pahlawan, dalam kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Perlu dipertanyakan ulang, kebenaran itu menurut versi siapa. Ada yang mengatakan bahwa sejarah itu milik para pemenang. Maka para pemenang itulah yang merasa layak menyematkan seorang tokoh menjadi pahlawan, atau sebaliknya.

Dalam peristiwa peperangan, kedua negara yang saling berhadapan pasti memiliki pahlawannya masing-masing, meskipun mereka baku bunuh. Dalam masa damai pun tindakan yang dilakukan sebuah negara untuk menghormati pahlawannya bisa menimbulkan rasa luka pada negara mantan seterunya. Di Jepang, PM Shinzo Abe diprotes China dan Korea Selatan karena mengunjungi Kuil Yasukuni sebagai tempat untuk menghormati para tokoh militer Perang Dunia II. Ini karena China dan Korsel melabeli para petinggi militer yang dimakamkan di sana sebagai penjahat perang. Mirip dengan protes Singapura kepada Indonesia yang memberi nama “Usman” dan “Harun”  pada kapal perangnya.

Mari kita buka lagi lembar sejarah konfrontasi Indonesia dengan negara tetangga. Setelah ditempa latihan beberapa waktu lamanya, saat penugasan itu pun tiba. Sebagai pejuang, kapanpun dan di manapun harus siap sedia. Tanggal 8 Maret 1965 ketiganya berangkat menggunakan perahu, di tengah malam buta saat air laut tenang. Tujuannya jelas, Singapura. Dengan berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiga pejuang tadi: Usman, Harun, dan Gani mendapat perintah untuk melakukan aksi sabotase ke sasaran penting. Terserah di mana tempatnya ketiganya diberi keleluasaan. Observasi pun dilakukan.

Berselang hari, dalam keheningan malam menjelang subuh, di waktu sebagian besar manusia terlelap, bagian bawah Hotel Mac Donald meledak. Rupanya itulah sasaran mereka, sebuah hotel mewah, yang daya ledaknya menimbulkan kerusakan luar biasa. Hotel hancur berantakan. Pecahannya menyebar ke segenab penjuru. Tercatat 20 toko rusak berat, 24 kendaraan hancur, 30 orang meninggal, dan 35 mengalami luka-luka. Saat itu kalender menunjuk 10 Maret 1965.

Rencana berikutnya adalah meninggalkan Singapura menuju negara asal, Indonesia. Tugas telah ditunaikan. Namun suratan takdir menentukan lain. Tanggal 13 Maret 1965, Usman dan Harun tertangkap. Pengadilan Singapura memutuskan vonis hukuman mati. Kamis, 17 Oktober 1968, tepat pukul 6 pagi, keduanya menjalani hukuman gantung di dalam penjara Changi. Pada hari yang sama, Presiden Soeharto menganugerahi Sersan KKO Janatin alias Usman bin Haji Muhamad Ali dan Kopral KKO Tohir alias Harun bin Said sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam peperangan, setiap negara memiliki hak untuk menentukan prajuritnya yang gugur secara heroik sebagai pahlawan. Termasuk pula Indonesia yang sempat mengalami konfrontasi dengan Malaysia yang mana Singapura masih menjadi bagiannya. Saat itu Indonesia dinahkodai Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai boneka Inggris yang ingin melanggengkan kolonialisme dan imperialisme. Usman dan Harun, oleh pemerintah Indonesia diangkat sebagai pahlawan, sebaliknya di mata Singapura dianggap sebagai penjahat.

Jadi sebenarnya seorang tokoh bisa menjadi pahlawan bagi sebagian kalangan, namun dapat pula menjadi penjahat bagi kalangan yang lain. Di kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, kurang apa kepahlawanan Jendral Sudirman. Dalam kondisi kesehatan memburuk, bersama pasukannya bergerilya ke hutan, gunung, bukit, ke segala tempat. Namun di benak penjajah kolonial Belanda ia tak lebih sebagai penjahat yang mesti diburu dan ditangkap. Demikian juga Sutomo, I Gusti Ngurah Rai, atau Robert Wolter Monginsidi.

Y.B. Mangunwijaya dalam novel Burung-burung Manyar menampilkan revolusi Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia yang memihak kolonial Belanda. Setadewa alias Teto, anak pasangan bangsawan ningrat Surakarta dengan wanita indo, telah menentukan pilihan. “Orang–orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda karena aku yakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidakdewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai.”

Meneruskan jejak papinya, Letnan KNIL Barjabasuki, Teto bergabung dengan tentara Belanda selepas pendudukan Jepang. Dendam kesumatnya masih menyala akibat perlakukan semena-mena Jepang terhadap orangtuanya. Saat ini kita mungkin menganggapnya sebagai pengkhianat. Tetapi, Teto juga tidak mau dianggap sebagi pengkhianat bangsanya sendiri. “Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga. Segala omong kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik Indonesia daripada di bawah mahkota Belanda?”

Pada bagian lain, kedatangan Samsu dan seregu tentara gerilyawan awalnya disambut dengan baik oleh penduduk desa. Makan diberikan. Tempat tinggal disediakan. Namun lama-lama tingkahnya menjengkelkan. Berlagak paham soal militer, namun tak punya siasat menghadapi musuh. Alhasil, pernah peleton Samsu lari tunggang langgang kedatangan patroli NICA. Begitupun yang dijadikan pelampiasan amarah adalah penduduk desa hingga menyebabkan kematian. Sehari-hari, penduduk desa semakin dicekam ketakutan. Ibu-ibu mulai mengungsikan anak gadisnya ke desa lain sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Tak kurang akal, penduduk desa meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung lahar birahi tentara itu.

Dari sudut pandang lain, tampaknya Teto benar karena sebagian pejuang berlaku menjadi penjahat yang menakutkan bagi orang desa. Atau memang mereka sejatinya penjahat yang berpura-pura menjadi pahlawan. Entahlah. Bila biasanya dalam roman kepahlawanan, kita akan menemukan tokoh protagonis dalam diri pejuang republik. Namun menariknya Romo Mangun mengajak pembaca melihat revolusi dari segala sisi, salah satunya pejuang yang antagonis. Ajaib, sekian tahun kemudian setelah penyerahan kedaulatan, Samsu yang durjana itu menjadi bupati.

Orang-orang seperti Samsu ini selalu ada dalam setiap rezim. Berpura-pura mendaku sebagai pahlawan. Namun tak ubahnya penjahat, mementingkan diri sendiri, sekaligus mengorbankan orang lain. Dan ajaibnya, mendapatkan jabatan. Negeri ini memang pantas dijuluki keajaiban dunia, tak melulu candi Borobudur atau binatang komodo. Coba renungkan pengakuan seorang Kartono Mohamad yang menolak jenazah ayahnya dimakamkan di taman makam pahlawan, meski pantas setelah ada bukti peran selama masa revolusi. ”Mungkin ini juga semacam keangkuhan bahwa kami tidak mau ayah dicampur dengan 'pahlawan' yang tidak jelas perjuangannya.”

Sekali lagi, pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tugas kita untuk meneladani, bukan sekadar mengagumi. Chairil Anwar sudah mengingatkannya, puluhan tahun silam, “Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. Kami sudah beri kami punya jiwa. Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)