Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Gratifi Perempuan

Rabu, 12 April 2017

Karla Jacinto, baru berusia 12 tahun saat dia ditipu untuk menjadi pekerja prostitusi cilik di Meksiko. Dia mengaku telah diperkosa oleh lelaki hidung belang sebanyak 43.200 kali ketika empat tahun terjerembab di lembah hitam. Itu hitungan kasar Karla saat diwawancara CNN. Seingat dia, setiap hari ada sekitar 30 lelaki yang terpaksa harus dia layani, tujuh hari sepekan, selama empat tahun, maka keluarlah angka 43.200 kali.

Karla diambil dari Zacatelco, sebuah permukiman kecil di Tenancingo. Dia mengatakan, keluarganya bermasalah. Ibunya tidak memedulikannya, dan dia telah menjadi korban pelecehan seksual sejak usia lima tahun oleh kerabatnya sendiri. Saat dia berusia 12 tahun, dia termakan bujuk rayu seorang pria yang 10 tahun lebih dua dari dirinya. Saat itu, kata dia, pria itu mengiminginya dengan mobil besar dan kehidupan yang lebih baik.

Namun kebahagiaan itu ternyata semu. Karla dikirim ke Guadalajara, kota terbesar di Meksiko, untuk menjadi pelacur cilik bersama korban lainnya. Dia mulai bekerja pukul 10 pagi, selesai tengah malam. Seminggu dia berada di kota itu sebelum dipindahkan ke kota-kota lainnya di Meksiko. Karla berpindah ke beberapa kota. Dia ditempatkan di rumah-rumah bordil, motel pinggir jalan, dan menjadi pekerja seks panggilan yang biasa mangkal di trotoar.

Suatu hari, polisi pernah menggerebek hotel tempatnya bekerja. Karla berpikir ini adalah hari baik karena dia akan diselamatkan oleh petugas. Tapi pikiran itu salah. Polisi malah mengambil video anak-anak itu dengan posisi cabul, mengancam akan menyebarkannya ke keluarga mereka jika Karla dan kawan-kawannya tidak menurut. Padahal saat itu Karla baru berusia 13 tahun. Di usia 15 tahun, Karla hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Mucikarinya menjadikan bayi ini sebagai ancaman. Jika Karla berani berulah atau kabur, bayi itu akan dibunuh. Karla tidak bisa menemui bayinya hingga berusia satu tahun.

Perlukah Impor Hakim?

Rabu, 05 April 2017

Seorang perempuan diculik. Setelah dicari ke mana-mana, ia ditemukan oleh ayah dan saudaranya di sebuah bangunan kosong dalam keadaan tak bernyawa. Saat itu di dekatnya ada seorang tua. Kontan saja, sang ayah menuduh orang tua tersebut sebagai pembunuh anaknya. Dipenjaralah orang tua itu dan diajukan ke pengadilan. Si orang tua bukanlah pembunuh sebenarnya. Bahkan ia bermaksud menolong perempuan yang akan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda. Beruntunglah, sang hakim memutuskan perkara dengan adil.Sang hakim dalam persidangan tersebut tak lain adalah Bao Zheng.

Kisah di atas adalah salah satu episode dari film seri “Justice Bao”. Film tersebut pernah meraih kesuksesan di Asia. Pada tahun 1990-an stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan film ini. Pemirsa menyambut hangat apalagi film disalin suara ke dalam bahasa Indonesia. Meski hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Film ini sarat dengan nilai tradisional Tiongkok seperti sikap hormat kepada sesama manusia, rasa berbhakti kepada orang tua, dan kesetiaan kepada negara.

Sesungguhnya, sosok hakim Bao benar adanya. Bao Zheng lahir di Luzhou pada tahun 999 dan meninggal pada tahun 1062. Kehidupannya sederhana dan banyak bergaul dengan rakyat jelata. Ia membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui jabatan hakim. Selain sebagai hakim, ia juga negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap.

Sejarah mencatat bahwa selama tugasnya ia telah memecat atau menurunkan pangkat puluhan pejabat tinggi termasuk beberapa menteri atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Beruntung, Hakim Bao mendapatkan dukungan dari kaisar. Nama Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok. Kisah hidupnya melegenda.

Mafia Hukum

Selasa, 07 Februari 2017

Pengunjung sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Jawa Timur menggeleng-gelengkan kepala saat mendengarkan cerita miris Abdul Manaf. Seperti dimuat dalam Jawa Pos, 7 Februari 2017, persidangan tersebut dihelat untuk mengungkap kasus penyuapan antara Manaf dan Ahmad Fauzi. Manaf menolak disebut sebagai penyuap, karena ia merasa sebagai korban dari Fauzi. Ia memberikan uang sejumlah Rp 1,5 miliar karena diperas. Malah awalnya Fauzi meminta Rp 2 miliar. Fauzi merupakan seorang jaksa yang bertugas di Kejati Jatim.

Cerita bermula saat Manaf menjadi saksi dalam kasus penjualan tanah kas desa Kalimook, Kalianget, Sumenep, di Kejati Jatim. Tersangkanya adalah Kades Kalimook Murhaimin dan Pejabat BPN Wahyu Sudjoko. Dalam pemeriksaan sebagai saksi, Jaksa Fauzi menanyakan adanya transfer Rp 100 juta kepada Wahyu Sudjoko. Manaf membenarkan adanya transfer itu dan menjelaskan bahwa uang tersebut digunakan untuk biaya pengurusan sertifikat tanah yang dibelinya.

Jaksa Fauzi meminta bukti transfer itu dibawa ke Kejati Jatim. Manaf pun menuruti keinginan Jaksa Fauzi dengan harapan permasalahan klir. Tetapi, harapannya tidak menjadi kenyataan. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika memberikan bukti itu kepada Jaksa Fauzi, Manaf malah dituduh telah membantu kejahatan Kades Kalimook Murhaimin. Manaf diancam dan ditakut-takuti akan dijadikan tersangka pula.

Manaf memberikan penjelasan sembari menunjukkan bukti kuitansi resmi yang berstempel Kantor BPN Sumenep. Dalam selembar kertas itu, tertulis bahwa duit tersebut memang digunakan untuk memproses sertifikat. Namun, bukti itu tetap diabaikan dan Jaksa Fauzi menyatakan bahwa jaksa penyidiklah yang paling benar. Manaf tidak menyangka bukti yang diberikan malah digunakan untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan memeras dirinya. “Saya sangat takut enggak karu-karuan. Stres, nangis. Istri saya juga ikut menangis dan stres. Saya tidak bisa tidur beberapa hari karena takut masuk penjara,” terangnya.

Terpidana Malang

Selasa, 17 Januari 2017

Malang nian nasib pemuda yang satu ini. Hugjiltu alias Qoysiletu, telah dieksekusi mati dalam kasus pembunuhan dan perkosaan pada tahun 1996. Saat itu Hugjiltu berusia 18 tahun. Namun, pada tanggal 15 Desember 2014, Pengadilan Kota Hohhot, Wilayah Otonomi Mongolia Dalam di Tiongkok Utara, menyatakan pemuda itu terbukti tidak bersalah. Demikian diberitakan dalam media massa Jawa Pos.

Hugjiltu didakwa bersalah membunuh dan memerkosa seorang perempuan di toilet sebuah pabrik tekstil. Dia dieksekusi mati 61 hari setelah kematian sang perempuan. Kasus itu tak berhenti. Keluarga Hugjiltu yang yakin anaknya tak bersalah terus berjuang mengungkap keadilan. Apalagi, pada tahun 2005, seorang pria mengaku sebagai pembunuh yang sebenarnya. Pengadilan Tinggi pun kembali membuka kasus tersebut. Kepolisian setempat pun bersedia melakukan penyelidikan ulang.

Dari sana terungkaplah bahwa pengakuan Hugjiltu tidak klop dengan laporan autopsi. Bukti-bukti lainnya pun tidak bisa mengaitkan Hugjiltu secara langsung. Pengadilan Tinggi Mongolia menemukan bahwa vonis yang telah dijatuhkan terhadap Hugjiltu tidak sesuai dengan fakta-fakta. Bukti-bukti yang tersedia juga tidak cukup. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Hugjiltu tidak bersalah. Disebutkan juga, wakil ketua pengadilan setempat, Zhao Jianping memberikan kompensasi kepada orang tua Hugjiltu sebesar 30.000 yuan. Zhao mengatakan, uang tersebut adalah sumbangan pribadi ketua pengadilan, Hu Yifeng. Namun nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Nyawa Hugjiltu tak mungkin dikembalikan.

Kasus di Tiongkok tersebut terjadi juga di Amerika Serikat. Media asing, Brisbane Times terbitan 12 November 2010 pernah memberitakan kisah tragis seorang pria Amerika Serikat  terpidana mati. Claude Howard Jones, pria asal Texas dieksekusi mati di usianya yang ke-60 pada hari Kamis 7 Desember 2000. Jones yang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager dalam sebuah perampokan toko minuman keras. Namun Jones bersikukuh, pada saat kejadian ia menunggu di dalam mobil saat rekannya merampok dan menembak korban tiga kali di luar kota Point Blank. Ia dinyatakan bersalah dalam pembunuhan di tahun 1989 itu dan upaya bandingnya menemui kegagalan, atas dasar sehelai rambut yang ditemukan polisi di tempat kejadian perkara.

Tragedi Tambang

Jumat, 06 November 2015

Di balik peralatan elektronik yang sering kita pergunakan sehari-hari, ternyata ada peluh keringat dan tetes darah ribuan penambang di Afrika, terutama di Kongo. Telepon pintar, laptop, komputer, DVD player, kamera digital termasuk di antaranya. Beberapa produk elektronik menggunakan logam tantalum, yang merupakan hasil pengolahan dari biji coltan. Logam tersebut memiliki kekuatan untuk menahan panas, menahan karat, dan menahan kekuatan listrik tingkat tinggi. Pertambangan coltan terdapat di Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Ethiopia, Mozambique, dan Kongo. Diperkirakan 80 persen dari produksi coltan di dunia dihasilkan di Kongo.

Demikian vitalnya coltan mengakibatkan harganya membumbung tinggi, konon dua sampai tiga kali lipat dari harga emas. Ironisnya, hal tersebut tak sebanding dengan pendapatan para penambang. Upah per hari mereka USD 5 dengan bekerja rata-rata 12 jam setiap hari di bawah tekanan dan kondisi berbahaya. Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif, manual, dan sederhana. Di Kongo, banyak tempat pertambangan yang dikontrol oleh pemberontak selama bertahun-tahun. Hasilnya digunakan membeli senjata untuk berperang. Sekitar 6,9 juta jiwa menjadi korban perang sejak tahun 1998 akibat konflik di Kongo.

Penguasaan tempat pertambangan untuk pembelian senjata digambarkan di dalam film besutan Edward Zwick, berjudul Blood Diamond. Sutradara The Last Samurai ini menyuguhkan cerita tentang pencarian berlian merah muda yang berukuran lebih besar dari lainnya dengan latar kisah nyata konflik etnis yang mengakibatkan terjadinya perang saudara di Sierra Leone, salah satu negara benua hitam Afrika. Di film yang diaktori oleh Leonardo Dicaprio ini kita disuguhi kisah pilu, tentang pembunuhan warga sipil, perbudakan di tambang berlian, dan penculikan para bocah untuk dijadikan tentara pemberontak.

Film lain tentang konflik tambang adalah Fire Down Below yang dibintangi oleh Steven Seagel sebagai Jack Taggart yang merupakan agen EPA. EPA adalah Environmental Protection Agency, sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Taggart menyamar sebagai relawan pada gereja setempat di kota Jackson, Kentucky untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan perusahaan pertambangan. Masyarakat tidak banyak memberikan keterangan karena didera ketakutan. Gereja tempatnya bekerja dibakar, pendetanya dibunuh. Taggart sendiri beberapa kali mendapat ancaman fisik pembunuhan. Namun berkat keahlian bela dirinya, ia selamat. Aparat keamanan dan pejabat lokal yang seharusnya melindungi kotanya dari kerusakan, tragisnya bersekongkol dengan pemilik tambang yang dikawal preman.

Eksekusi Susno dan Jiwa Korsa Institusi

Minggu, 05 Mei 2013


Mantan Kabareskrim Susno Duadji kembali membuat berita. Susno merupakan jenderal polisi yang terlibat kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hukuman penjara tiga tahun dan enam bulan. Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Susno. Meski demikian, Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan alasan ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.
Setelah tiga kali mengabaikan panggilan eksekusi dari kejaksaan, maka pada 24 Maret 2013 ia membuat tindakan yang lebih spektakuler, yakni menggagalkan upaya paksa eksekusi atas dirinya. Tanpa sungkan, ia meminta perlindungan Polda Jawa Barat agar jaksa tidak bisa mengeksekusinya. Atas permintaan itu Polda Jabar pun mengirimkan sepasukan polisi ke rumah Susno. Alhasil, lagi-lagi kejaksaan pulang dengan sia-sia.

Polisi Pengayom Masyarakat
Yang menarik dari kasus di atas adalah keterlibatan polisi dalam melindungi orang yang akan dieksekusi oleh kejaksaan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian orang tersebut telah berstatus terpidana. Lebih khusus lagi Susno merupakan terpidana kasus korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang menjadi perhatian besar masyarakat agar segera dituntaskan. Tentu saja, tindakan polisi yang melindungi terpidana kasus korupsi menjadi bahan perbincangan menarik.

Kapolda Jabar membantah bahwa perlindungan tersebut sebagai upaya menghalangi penegakan hukum. Menjadi kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan bila ada warga negara yang meminta perlindungan tersebut, demikian Kapolda Jabar. Hal ini tentu saja menjadi sangat aneh. Memang benar, tugas kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun jangan dilupakan bahwa kepolisian memiliki tugas pula untuk menegakkan hukum. Membantu aparat hukum lain dalam menegakkan hukum semestinya menjadi prioritas kepolisian daripada melindungi terpidana.

Sengkarut Penuntasan Korupsi

Senin, 31 Desember 2012

Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 disebutkan bahwa reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).

Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
 
Dalam kurun tahun 2001 hingga 2007 Indonesia masih menempati kelompok negara terkorup di dunia. Corruption Perception Index (CPI) dalam lima tahun tersebut skornya hanya naik 0.5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) dan turun kembali 0,1 poin menjadi 2,3 pada tahun 2007 (ICW, 2008).

UU KPK menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.

Polri Versus KPK (Bagian 3): Ada Apa?

Minggu, 16 Desember 2012

Konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus korupsi simulator SIM merupakan konflik antar lembaga yang sama-sama berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh UU, baik Polri dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 (UU Polri) dan UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) maupun KPK dengan UU Nomor 30 Tahun 2011 (UU KPK) dapat melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Permasalahan terjadi ketika kedua lembaga melakukan penyidikan pada kasus yang sama, dan tersangka yang ditetapkan pun ternyata ada juga yang sama.

Dugaan kasus korupsi simulator SIM sebenarnya menggunakan modus yang jamak dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yakni mark up. Pengadaan simulator SIM ini terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453 miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu kontrak Rp 142,415 miliar. Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83 miliar atau mark up sampai 137,19 persen (Subiyanto, 2012).

Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo dan kedua rekanan dari pihak swasta yakni Abadi Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.

Sedangkan di pihak Polri pada tanggal 31 Juli 2012 menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. Pada 1 Agustus 2012 Polri mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Tanggal itu juga  Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersanga dan menahannya di Bareskrim Polri. Polri tidak menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka, hanya beberapa pejabat Polri di bawah Irjen Pol Djoko Susilo yang ditetapkan sebagai tersangka.

Polri Versus KPK (Bagian 2): Penyidikan KPK di Polri

Kamis, 13 Desember 2012

KPK mengusut kasus korupsi simulator kendaraan roda dua dan roda empat di Korlantas Mabes Polri sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Perwira tinggi ini diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan alat simulator pada tahun anggaran 2011. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo, Abadi Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang. Brigjen Pol Didik Purnomo merupakan Wakakorlantas,  Abadi Budi Susanto adalah Direktur Utama PT. Citra Mandiri Metalindo, sedangkan Sukotjo S. Bambang adalah Direktur Utama PT. Inovasi Teknologi Indonesia. Budi dan Sukotjo merupakan rekanan dari pihak swasta (Priatna, 2012).

Perbuatan Djoko Susilo, Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang diduga mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. Djoko dan Didik dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor. Sementara direktur perusahaan rekanan, Budi dan Sukotjo dikenakan Pasal 11 UU Tipikor.

Penanganan kasus korupsi simulator SIM menjadi bermasalah ketika Polri juga menangani kasus tersebut. Pihak Mabes Polri juga sudah menetapkan lima tersangka, yaitu Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Pol Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri Kompol Legimo Pudjo Sumarto. Tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT. Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.

Terkait dengan MoU tanggal 29 Maret 2012, KPK merujuk pada Pasal 29 MoU tersebut yakni apabila terdapat suatu ketentuan dalam kesepakatan bersama ini yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama yang menyebabkan ketentuan tersebut tidak berlaku, maka hal tersebut membatalkan semua ketentuan-ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini dan ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini tetap berlaku serta mengikat. Artinya dalam siapa yang berwenang melakukan penyidikan dalam kasus korupsi simulator SIM, KPK mengembalikan kembali dalam peraturan perundang-undangan.

Polri Versus KPK (Bagian 1): Alasan Polri Menyidik Kasus Simulator SIM

Senin, 10 Desember 2012

Majalah Tempo edisi 23 April 2012 menulis tentang korupsi proyek simulator. Pemberitaan itu dibantah oleh juru bicara Mabes Polri pada 13 Mei 2012. Isinya, tidak ada korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan proyek simulator. Dalam hal ini, pada April 2012 diberitakan Brigjen Pol Boy Rafli Amar yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Bagian Penerangan Umum Polri membantah Inspektur Pol Djoko Susilo menerima  suap Rp 2 miliar dari proyek pengadaan simulator kemudi motor dan mobil senilai Rp 196,87 miliar ketika memimpin Korps Lalu Lintas Polri. Menurut Boy proyek tersebut telah sesuai prosedur.

Menurut Polri, sebagaimana bantahannya di Tempo, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Irwasum sementara dari sisi mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah berjalan dengan aturan yang ada. Kewajiban dari kontraktor pengadaan alat drive simulator polres-polres se-Indonesia, ini sudah terpenuhi. Namun, keanehan terjadi ketika KPK melakukan gebrakan. Polri seakan kebakaran jenggot dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilihat oleh publik sebagai bentuk pengamanan diri.

KPK mengusut kasus simulator sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka.  Pada 30 Juli 2012, KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas. Polisi "menyandera" dengan alasan bahwa kasus simulator juga sedang diusut.

Markas Besar Kepolisian berkukuh mengusut kasus korupsi simulator. Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menyelidiki kasus simulator setelah melihat pemberitaan Tempo. Perintah penyelidikan bernomor Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012.
Pada saat KPK telah menetapkan tersangka, yaitu Irjen Djoko Susilo pada tanggal 27 Juli 2012 itu, polisi mengaku baru memeriksa 33 saksi, belum ada tersangka. Pada 31 Juli 2012, polisi menetapkan lima tersangka. Tiga orang di antaranya sama dengan KPK.

Permasalahan Pajak

Kamis, 22 November 2012



Salah satu sumber pembiayaan terpenting dan paling aman adalah pajak. Peran pajak dalam pembiayaan pembangunan bagi Indonesia diakui cukup besar (lebih dari 60%), namun demikian dibandingkan dengan dengan negara lain keadaan perpajakan di Indonesia masih relatif belum baik. Di antara 182 negara yang disurvei oleh World Bank dan Price Water House Coopers, Indonesia berada pada urutan ke-127 dalam hal tingkat pembayaran pajak, kemudahan pembayaran pajak, waktu yang diperlukan untuk mengurus perpajakan, dan biaya terkait dengan perpajakannya. 

Pajak merupakan sumber atau pos penerimaan negara yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dbandingkan dengan sumber penerimaan lainnya, penerimaan negara dari aspek pajak adalah sumber penerimaan negara paling aman dan potensial untuk memberikan kontribusi bagi persediaan fiskal negara. Secara umum, negara memperoleh penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan minyak dan gas bumi, penerimaan pajak, dan penerimaan negara bukan pajak. Dari sekian sumber penerimaan tersebut, pajak merupakan sumber potensial dalam memenuhi fiskal negara. (Irianto, 2009).

Lebih lanjut dikatakan oleh Irianto, pajak juga berpotensi menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Pajak memiliki dua fungsi pokok antara lain:
1. Fungsi budgeter, yakni sebagai upaya penghimpunan dana masyarakat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk penyelenggaraan negara.
2. Fungsi pengaturan, yakni sebagai upaya pemerintah mendorong kegiatan perekonomian dan memberikan keadilan kepada masyarakat.

Namun yang menjadi masalah adalah rakyat masih menyangsikan alokasi dana pajak sebab mereka tidak menemukan relevansi antara pajak yang disetorkan kepada negara dengan  program dan kebijakan negara untuk menciptakan keseimbanan sosial yang adil. Apalagi rakyat menyaksikan sendiri betapa besar uang negara yang telah dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Korupsi masih menjadi persoalan amat pelik di negeri ini.

Kapasitas Birokrasi, Antara Profesionalitas dan Moralitas

Minggu, 28 Oktober 2012


Permasalahan birokrasi merupakan permasalahan yang tak kunjung usai di negeri ini. Berbagai catatan buruk menghiasi pemberitaan media, diskusi publik, jurnal penelitian, maupun percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Aparat pemerintah sebagai pelayan masyarakat dituding sebagai biang keladi. Hal ini mungkin saja terjadi karena mulai dari rekrutmen, manajemen, dan promosi jabatan kurang memperhitungkan profesionalitas.

Regulasi, lepas dari segala kelemahannya, sebenarnya telah menyediakan perangkatnya, namun realita di lapangan jauh dari idealita. Penerimaan pegawai negeri misalnya, masih saja ditemui permainan kolutif dan manipulatif. Selain itu, pengangkatan dalam sebuah jabatan tidak jarang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi, orang menjadi pegawai atau pejabat dalam birokrasi bukan karena kualitasnya, tapi lebih karena mampu membayar mahal untuk menembusnya. Urusan kemampuan menjadi urusan nomor terakhir. Hal itu tentu saja menimbulkan dampak negatif seperti lemahnya pelayanan kepada publik.

Beberapa kelemahan pelayanan publik di Indonesia antara lain kurang responsif, kurang informatif, dan kurang koordinatif. Kekurangan responsif bisa saja terjadi di unsur pelayanan langsung kepada masyarakat hingga ke level penanggung jawab instansi. Sementara itu antar intansi juga kurang koordinasi sehingga acapkali terjadi ketumpangtindihan bahkan pertentangan kebijakan. Masyarakat juga kurang mendapatkan informasi tentang pelayanan publik. Ada yang terlambat bahkan ada yang tidak diinformasikan sama sekali.

Peningkatan kualitas pegawai negeri bukannya tidak ada sama sekali. Sekali lagi regulasi telah mengaturnya, misalnya dengan kewajiban mengikuti pendidikan dan latihan pra jabatan bagi Calon PNS sebagai salah satu persyaratan pengangkatan menjadi PNS, kewajiban mengikuti diklat kepemimpinan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural, dan berbagai diklat fungsional sesuai dengan jabatan masing-masing. Di beberapa instansi malah tersedia anggaran untuk tugas belajar mulai dari jenjang diploma hingga pasca sarjana kepada para pegawainya. Tujuannya semata untuk meningkatkan profesionalitas.

Pembangunan PNS, Antara Jepang dan Indonesia

Minggu, 12 Agustus 2012

Tasroh, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang menulis opini di MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012 dengan judul Strategi Membangun PNS ala Jepang. Disampaikannya bahwa birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor. Berbagai kasus yang mendera PNS kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat terpuruk.

Menurut Tasroh, Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978. Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.

Mengutip pendapat pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University, Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998), Tasroh menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.

Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur. Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.

Main Mata Sanksi Disiplin

Rabu, 23 Mei 2012

Undang-undang kepegawaian mengamanatkan bahwa jika PNS dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 4 tahun atau lebih dapat diberhentikan sebagai PNS. Hal ini ditegaskan pula dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Pemberhentian sebagai PNS karena dihukum penjara di atas pilihannya ada dua yakni dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat. Tapi itu pun sifatnya tidak wajib, karena masih ada pilihan lain yakni dengan tidak memberhentikannya sama sekali.

Pertimbangan untuk diberhentikan atau tidak, atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendorong PNS melakukan tindak pidana serta berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan. Kalaupun akhirnya tidak diberhentikan maka untuk membangun kepercayaan masyarakat biasanya PNS tersebut dikenai hukuman disiplin. Misalnya perjudian dikenai sanksi pembebasan jabatan, perzinaan dikenai sanksi penurunan pangkat, pencurian dikenai sanksi penundaan kenaikan gaji berkala. Besar kecilnya tingkat hukuman tidak sama antar institusi, tergantung bagaimana menerjemahkan arti melanggar peraturan disiplin. Kini hukuman disiplin diatur dalam PP Nomor 53 tahun 2010. PP disiplin ini bisa jadi merupakan ”jalan” untuk menolong agar PNS yang terkena kasus pidana tidak seketika dipecat.

Jadi singkatnya begini. Ketika ada kasus pidana yang melibatkan PNS maka pejabat yang berwenang dihadapkan pada dua pilihan. Mau menggunakan PP pemberhentian atau PP disiplin. Kalau dia mau ”menyikat” PNS-nya maka bisa digunakan PP pemberhentian (PP 32/1979). Maka dipecatlah PNS itu. Tapi kalau dia mau ”menolong” PNS-nya dan sekaligus tetap menjaga kewibawaan pemerintah maka bisa menggunakan PP disiplin (PP 53/2010).

Ada sebuah celah dalam PP 53/2010 yang memungkinkan terjadinya main mata antara pejabat yang berwenang dan PNS yang akan dijatuhi hukuman disiplin. Pejabat yang berwenang itu mungkin adalah atasan langsung atau mungkin pula pejabat yang masih dalam satu kantor (atasan dari atasan langsungnya atau mungkin pula kepala kantor). Kasus pidananya dilokalisasi hanya sebatas di kantor saja. Tidak merembet sampai di luar. Peraturan disiplin ternyata masih menyisakan pasal karet pula. Dengan berdalih bahwa kewenangan menghukum masih berada di tangannya maka segala proses segera dilakukan termasuk penjatuhan sanksi.

Pembebasan Tugas Jabatan

Minggu, 29 April 2012

Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyebutkan bahwa dalam rangka kelancaran pemeriksaan, PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan kemungkinan akan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat, dapat dibebaskan sementara dari tugas jabatannya oleh atasan langsung sejak yang bersangkutan diperiksa. Pembebasan sementara dari tugas jabatannya ini berlaku sampai dengan ditetapkannya keputusan hukuman disiplin.

Pembebasan sementara dari tugas jabatannya dimaksudkan untuk kelancaran pemeriksaan dan pelaksanaan tugas-tugasnya. Selama PNS yang bersangkutan dibebaskan sementara dari tugas jabatannya, diangkat pejabat pelaksana harian (Plh). Meskipun demikian PNS tersebut tetap masuk kerja dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, misalnya penghasilan dan tunjangan jabatan. Dalam hal atasan langsung tidak ada ataupun terjadi kekosongan, maka pembebasan sementara dari jabatannya dilakukan oleh pejabat yang lebih tinggi atau secara berjenjang.

Ketentuan tersebut di atas ternyata melahirkan multitafsir atau paling tidak kebingungan dalam prakteknya. Pertama, penggunaan frasa ”tugas jabatan” belum jelas apa maknanya. Lazimnya antara tugas dan jabatan dipisahkan meskipun keduanya berhubungan erat. Dengan adanya jabatan maka diikuti dengan adanya tugas. Jabatan merupakan predikat sedangkan tugas adalah uraiannya. Maka, sebenarnya cukup dengan membebaskan jabatannya, secara otomatis kewenangan tugas yang melekat lepas dengan sendirinya. Tapi kalau yang dimaksud adalah membebaskan tugas-tugasnya saja atau sebagian tugasnya saja, maka seharusnya jabatannya tidak perlu dibebaskan.

Kedua, tidak ada batas waktu pembebasan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Memang disebutkan bahwa pembebasan berlaku sejak yang bersangkutan diperiksa hingga ditetapkannya keputusan hukuman disiplin. Namun tidak diatur sampai berapa lama batas maksimal pemeriksaan. Yang pasti ini memakan waktu karena pejabat yang berwenang memberikan hukuman disiplin tingkat berat adalah Presiden, PPK (Pejabat Pembinan Kepegawaian) Pusat, PPK Provinsi/Gubernur, dan PPK Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota). Kesibukan para pejabat tersebut adalah satu persoalan, sedangkan alur birokrasi yang panjang merupakan soal yang lain. Tidak ada jaminan proses pemeriksaan hingga ditetapkan keputusan membutuhkan beberapa hari saja. Paling tidak hitungannya adalah bulanan, bahkan tahunan.

Ruang Konseling dan Konsultasi Kepegawaian

Senin, 23 April 2012

Saat berkunjung ke Pengadilan Agama (PA) lebih dari setahun silam saya bertemu dan sempat berbincang dengan Ketua PA yang ramah. Menurut paparan beliau, dari sekian daerah di Karesidenan Madiun tercatat angka perceraian yang paling tinggi ada di Ponorogo. Berikutnya adalah Ngawi, kota tempat saya tinggal. Kebanyakan yang menggugat adalah istri. Tak sedikit pula yang melakukan perceraian adalah mereka yang berstatus sebagai PNS.

Salah satu fungsi kantor saya adalah memproses pemberian izin perceraian dari Bupati kepada PNS yang akan bercerai. Bagi PNS izin ini bersifat mutlak, wajib dipenuhi terlebih dahulu, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Tak heran, dengan semakin banyaknya PNS yang akan bercerai maka semakin banyak pula PNS yang mengajukan izin.

Memang kalau diperhatikan angka perceraian pada PNS semakin tahun semakin bertambah. Saya rasa ini logis. Ini berbanding lurus dengan banyaknya jumlah PNS. Tahun 2005 saat awal saya bekerja tentu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan sekarang. Jumlah PNS tak sampai 10 ribu. Tapi lambat laun bertambah banyak. Akhir 2011 lalu tercatat lebih dari 14 ribu. Pengangkatan dari tenaga honorer memberikan sumbangan signifikan pada rekrutmen pegawai. Ratusan bahkan ribuan orang diangkat menjadi CPNS secara serentak.

Bertambahnya pegawai membawa konsekuensi. Salah satu di antaranya adalah bertambahnya angka perceraian seperti disinggung di muka. Dari yang bercerai tadi ternyata sebagian besar berasal kalangan pendidik alias guru. Ini pun logis juga karena ternyata dari 14 ribu pegawai tadi yang paling banyak adalah guru. Mungkin jumlahnya antara 7-8 ribu.

PNS Bekerja Di Luar Jabatannya

Minggu, 08 April 2012

Anda pernah dengar seorang Kepala Sekolah merangkap sebagai pemulung? Atau guru yang menyambi sebagai tukang ojek? Itu dilakukan karena kebutuhan, bukan ingin sok atau gaya-gayaan. Banyak pula PNS seusai kerja yang menjaga agar asap tetap mengepul di dapur dengan bekerja serabutan.

Anda pegawai negeri yang sedang bingung dengan gaji Anda selama ini? Anda ingin berwirausaha, mencari pekerjaan sampingan, mendapatkan tambahan penghasilan, tanpa harus keluar dari PNS? Atau Anda sudah berhasil mengembangkan usaha sehingga penghasilan yang diperoleh jauh melampaui gaji rutin PNS per bulan? Anda mungkin sedang galau? Soalnya ada beberapa PNS yang menjadi sorotan publik, diberitakan media massa nasional, punya harta melimpah. Pengakuan mereka harta itu diperoleh dari usaha sampingan di luar pekerjaan sebagai PNS. Wajarkah itu?

Saya sedang tidak mengajak Anda keluar dari PNS. Juga tidak sedang menawari Anda sebuah peluang usaha. Saya ajak Anda mengembara menyimak beberapa ketentuan tentang pekerjaan/usaha/jabatan di luar tugas formal PNS.

UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik (Pasal 1 ayat 5). Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah (Pasal 17 a). Pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah bisa diartikan sebagai PNS. Apakah dengan demikian semua PNS dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha? Belum tentu karena menurut UU 25/2009 itu PNS baru bisa disebut sebagai Pelaksana kalau ia bekerja di dalam organisasi penyelenggara pelayanan publik (OPLP). Dengan kata lain jika tidak bekerja di OPLP maka ia tidak terkena larangan merangkap sebagai komisaris/pengurus organisasi usaha.

Sanksi Guru (Terlapor) Cabul

Kamis, 05 April 2012

Dunia persilatan geger. Wiro Sableng dilaporkan ke polisi karena mencabuli anak buahnya sendiri. Nggak lucu, nggak gitu ceritanya. Yang benar adalah dunia pendidikan geger. Satu lagi cerita tentang guru masuk koran. Seorang guru SMP di Ngawi berbuat tidak senonoh terhadap anak di bawah umur. Berbuat cabul. Tragisnya anak itu muridnya sendiri. Keluarga si korban melaporkan ke polisi. Demikian koran memberitakan kira-kira dua minggu yang lalu. Geger lagi kan.

Tak pelak banyak kalangan menyayangkan kisah ini. Pendidik yang seharusnya menjadi contoh malah berbuat tidak terpuji. Dinas Pendidikan yang menaungi  sekolah-sekolah bereaksi bakal membebaskan sang terlapor dari jabatannya sebagai guru. Kabarnya dinas tersebut malah sudah mengusulkan ke Bupati. Tak mau kalah Inspektur saat diwawancarai koran mengeluarkan ancaman bahwa yang bersangkutan bakal dipecat.

Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Ketika ada PNS yang diberitakan melakukan perbuatan asusila maupun pidana maka bakal banyak yang reaktif. Mestinya kan responsif. Beda lho reaktif dengan responsif. Apa coba?! Responsif itu tanggap. Sedangkan reaktif itu tempat membuat bom nuklir, halah itu kan reaktor. Lho reaktor kan pimpinan universitas, halah malah ndladrah. Hehehe....

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela perbuatan asusila. Bagaimanapun perbuatan tercela patut untuk mendapatkan balasan. Tulisan ini hanya mendudukkan sesuatu sesuai dengan prosedur dan proporsional. Jujur, ketika ada instansi pengawasan pemerintahan gembar-gembor bakal memecat pegawai nakal, saya salut, cuma di dalam hati masih ada rasa bingung. Karena kenyataannya tidak seperti itu. Soalnya ada kok yang malah sudah dipenjara setelah bebas tidak diapa-apakan. Dan anehnya kerja lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi ancam-mengancam sepertinya memang perlu, untuk mengingatkan kepada pegawai lain agar tidak mencoba-coba bermain dengan api.

Geger Foto Syur

Jumat, 30 Maret 2012

Seorang perempuan PNS diberitakan foto syur-nya nampang di facebook. Ini terjadi di sebuah kabupaten tempat Pak Presiden kita dilahirkan. Tak tanggung-tanggung fotonya nangkring di akun sebuah instansi resmi pemerintah daerah. Tak pelak masyarakat geger. Pejabat birokrat pun galau tak terkira. Memalukan, demikian mungkin yang ada dalam benak publik. Ancaman tindakan disiplin pun bakal dijeratkan kepada PNS tersebut.

Di lain pihak sang PNS melapor ke kepolisian. Memang ia mengakui itu adalah foto dirinya namun bukan dia yang mengunggah di internet. Bisa jadi ada orang lain sebagai pelaku karena beberapa saat sebelumnya telepon genggamnya hilang, padahal di sanalah tersimpan file-file gambar itu.
 
Saya masih mereka-reka apa yang akan menjadi landasan bagi pihak instansi setempat saat menyatakan akan memberikan hukuman disiplin bagi PNS yang fotonya terlanjur menyebar di dunia maya melalui jejaring sosial. Mungkin dianggap melanggar sumpah dan janji PNS, mungkin dianggap merendahkan martabat, mungkin dianggap tidak dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, mungkin dianggap mencemarkan nama baik pemerintah, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Sah-sah saja kalau ada pihak yang hendak melakuan pemeriksaaan dengan dugaan adanya indisipliner. Sah juga apabila instansinya memberikan hukuman.

Tapi tunggu sebentar, atur nafas pelan-pelan, fokuskan pikiran. Mari kita pelototi lekuk demi lekuk tubuh perempuan itu ah eh uh, sori maksudnya mari kita perhatikan kasus itu dengan cermat. Ada sesuatu yang mungkin luput dari perhatian masyarakat pada umumnya, dan terutama pada instansi yang berniat menghukum.

Tugas Belajar Khusus

Selasa, 27 Maret 2012

Tugas belajar dan izin belajar sebenarnya hampir sama. Keduanya sama-sama kesempatan yang diberikan kepada PNS untuk menempuh pendidikan formal tertentu. Yang membedakan yang satu tugas, yang satunya lagi adalah izin. Hehehe itu mah nggak memberikan jawaban atuh.

Plis deh. Namanya tugas berarti ada penugasan dari kantor, bisa jadi karena adanya kebutuhan. Sedangkan izin belajar berarti adanya keinginan dari pribadi PNS itu sendiri yang ingin menempuh pendidikan. Singkatnya tugas belajar karena adanya kebutuhan, sedangkan izin belajar karena adanya keinginan. Kebutuhan versus keinginan. Namun dalam prakteknya keduanya tidak berarti vis a vis. Dari keinginan pun lambat laun berubah jadi kebutuhan.

Titik poin dalam tugas belajar adalah adanya jaminan atau bantuan pendidikan (biasanya ditanggung penuh) dari pemerintah atau lembaga lain. Titik poin berikutnya adalah pendidikan itu dilaksanakan dengan meninggalkan tugas. Karena biasanya pula pendidikan diikuti di luar daerah bahkan di luar negeri.

Titik poin dalam izin belajar merupakan kebalikan dari tugas belajar, yakni biaya ditanggung sendiri dan pendidikan dilaksanakan di luar jam dinas. Yang jelas hak untuk memperoleh pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara, pun ketika ia berstatus PNS. Tak ada alasan dan mestinya tak boleh ada halangan, tantangan, ancaman, dan gangguan (istilah P4-nya: HTAG) untuk sekolah atau kuliah bagi PNS, apalagi ini uang sendiri.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)