Sengkarut Penuntasan Korupsi

Senin, 31 Desember 2012

Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 disebutkan bahwa reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).

Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
 
Dalam kurun tahun 2001 hingga 2007 Indonesia masih menempati kelompok negara terkorup di dunia. Corruption Perception Index (CPI) dalam lima tahun tersebut skornya hanya naik 0.5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) dan turun kembali 0,1 poin menjadi 2,3 pada tahun 2007 (ICW, 2008).

UU KPK menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.


Selanjutnya disebutkan dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa lembaga merupakan pilar dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, di antaranya adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). Di dalam Pasal 5 disebutkan Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri adalah menegakkan hukum. Dalam rangka itu maka tugas yang diemban oleh Polri adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan peranan utama kepada Polri dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Yang menjadi masalah adalah jika aparat hukum yang sejatinya menegakkan hukum, termasuk di antaranya dalam perkara korupsi, ternyata terlibat dalam korupsi itu sendiri. Beberapa kasus telah menjadi pembuktiannya, baik itu menimpa polisi, jaksa, maupun hakim.

Tujuan dari penegakan hukum atas kasus korupsi adalah lahirnya efek jera. Efek jera penting untuk mengontrol kejahatan korupsi supaya tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. Pasalnya, jika korupsi sudah berada pada level sistemik, maka dampak yang ditimbulkan dari kejahatan ini menjadi lebih serius, karena bukan hanya menyebabkan kerugian negara yang besar, melainkan juga melahirkan kemiskinan, buruknya pelayanan publik, dan merusak pondasi ekonomi negara. Penegakan hukum tanpa efek jera akan menciptakan situasi yang kondusif bagi pelakunya untuk terus korupsi. Demikian pula, ongkos atau biaya untuk memberantas korupsi akan menjadi lebih mahal daripada hasil yang dicapai (ICW, 2011).

Menurut ICW (2011) sejak era demokrasi telah terjadi pergeseran korupsi dari korupsi yang memusat di istana ke korupsi yang lebih terfragmentasi, seiring dengan perubahan struktur politik dan sistem multipartai Pemilu 1999. Kebijakan desentralisasi pemerintahan sejak tahun 2000 juga telah mendorong menyebarnya korupsi di tingkat daerah. Selain tersebar di berbagai daerah, korupsi juga menjalar pada institusi penegak hukum.

Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TII 2005-2007 menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik, dan lembaga peradilan dalam daftar teratas institusi yang paling korup. Empat institusi yang seharusnya berperan besar dalam agenda antikorupsi justru menunjukkan catatan yang buruk. Tiga tahun berturut-turut, empat posisi terkorup tetap dipegang oleh Kepolisian, Parlemen, Partai Politik dan Pengadilan.

Partnership for Governance Reform (PGR) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) pun mencatat hal yang sama. Dari hasil survey terhadap pejabat publik, pengusaha dan kelompok masyarakat lainnya, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan menempati urutan dengan intensitas korupsi tertinggi.

Sementara temuan BPK pada empat institusi primer penegak hukum di Indonesia memperlihatkan tingkat penyimpangan yang mengkhawatirkan. Kepolisian tetap menduduki peringkat tertinggi dengan temuan penyimpangan anggaran di tahun 2007, yakni 303 temuan, disusul oleh Kejaksaan Agung (108 temuan) dan Mahkamah Agung (24 temuan).

1 komentar:

Obat Tradisional Jantung Koroner mengatakan...

tapi tetap saja masih banyak koruptor di negeri ini...

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)