Birokrasi, Hambatan Buruh dan Pengusaha

Selasa, 25 Desember 2012

Kompas 27 September 2012 memberitakan bahwa para buruh mengancam akan melakukan aksi mogok nasional pada 3 Oktober 2012 apabila tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing, menolak upah murah, dan pelaksanaan jaminan kesehatan tidak dikabulkan. Menurut Koordinator Aksi dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Baris Silitongan, aksi mogok bekerja itu direncanakan pada tanggal 3-30 Oktober 2012 kalau tidak ada tanggapan dari pemerintah.

Secara umum masyarakat kita banyak menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Mahasiswa menuntut biaya pendidikan murah, petani menuntut lahan, pedagang pasar menolak kehadiran supermarket, pedagang kaki lima menolak digusur, dan buruh melakukan mogok kerja. Rangkaian gejolak dan protes dari rakyat ini akan semakin banyak jika tidak ditanggapi oleh pemerintah.

Inda Suhendra, Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), dalam opininya di Republika 4 Oktober 2012 dengan judul “Keterasingan Buruh”, mengutip analisis Karl Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, mengatakan bahwa dalam dunia kapitalis, manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, tetapi karena terpaksa hanya untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, tetapi mengasingkan dirinya.

Relevan dengan kondisi buruh di Indonesia, dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya. Hal ini berakibat minimnya interaksi antara buruh dengan keluarga dan lingkungan. Tapi buruh tak punya pilihan lain karena faktor kebutuhan yang mendesak.


Menurut Razali Ritonga, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan  BPS, dalam opininya “Globalisasi dan Upah Minimum” di Republika 11 Februari 2012 menyebutkan sebagai dampak era globalisasi menyebabkan perubahan dalam pasar tenaga kerja hampir di semua negara. Boleh jadi diskursus sistem pengupahan dengan upah minimum yang diterapkan saat ini semakin tidak relevan pada masa yang akan datang. Sebab, perubahan pengupahan akan mengikuti perubahan dalam pasar tenaga kerja.

Mengutip Deeringer dan Piore (1971), Razali membagi pasar tenaga kerja atas empat sektor, yaitu primer, sekunder, informal, dan ilegal. Pembagian tersebut didasarkan pada status pekerjaan, regulasi, upah, dan pajak pendapatan. Tingkat upah di sektor primer merupakan yang tertinggi berdasarkan regulasi yang menjadi acuan usaha dan perusahaan. Tingkat upah kemudian lebih rendah pada sektor sekunder. Meski tingkat upah sektor ini telah ditetapkan berdasarkan regulasi, namun penerapannya kerap tidak sesuai sehingga rawan konflik. Indonesia termasuk dalam kategori ini, termanifestasi dari unjuk rasa yang kerap dilakukan buruh.

Menurut Indrasari Tjandraningsih, Peneliti Perburuhan, dalam opininya di Koran Tempo 11 Februari 2012 dengan judul “Kebijakan Pengupahan dan Investasi”, gejolak di kalangan buruh memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam. Pertama, pengabaian negara terhadap kesejahteraan warga negara. Dan kedua, pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik.

Secara resmi pemerintah Indonesia, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (http://www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara mencolok dinyatakan paling murah di antara negara-negara tersebut, yakni US$ 0,6 per jam (=Rp 5.400). Bandingkan dengan upah di Filipina dan Thailand serta Malaysia, yang masing-masing US$ 1,04, US$ 1,63, dan US$ 2,88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa, dari aspek biaya tenaga kerja,“upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India“.

Kebijakan pemerintah dengan “menjual murah tenaga kerja” perlu dikritisi. Secara langsung upah murah merugikan buruh dan secara tak langsung merugikan pula bagi investasi. Berikut ini kaitannya.

Pertama, upah yang murah mengakibatkan daya beli buruh menurun padahal buruh termasuk sasaran pasar. Penelitian Akatiga di tingkat mikro menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62 persen pengeluaran riil buruh, dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (Akatiga 2009).

Kedua, upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian Akatiga bersama ILO akhir tahun 2011 menemukan para buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp 2,5 juta per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negatif terhadap produktivitas, karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan, hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.

Agus Pakpahan dalam tulisannya “Indikator Kegagalan Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi Makro” di Koran Tempo 1 Februari 2012 mengungkapkan bahwa upah buruh di Denmark US$ 20 per jam. Dengan jumlah jam kerja selama 8 jam maka upah per hari menjadi 8x US$ 20 = US$ 160 per hari. Suatu jumlah yang besar sekali. Tapi pajak yang harus dibayarkan oleh buruh itu adalah 80 persen. Tapi ada satu catatan penting, mereka gratis mendapatkan rumah sakit, sekolah, kesehatan, rekreasi di taman-taman. Ini merupakan ciri ideologi dan praktek di negara-negara welfare states. Negara menjalankan fungsinya secara produktif dalam membela harkat-derajat warganya.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa ekonomi harus efisien dan produktif, itu benar. Tetapi tidak berarti “harga manusia” dijadikan murah. Sebab, tidak mungkin “ikan membangun kolam”. Yang logis adalah “karena ada kolam maka ada ikan”. Ini adalah analogi antara “buruh=ikan” dan “ekonomi=kolam”. Jadi, kalau buruh kita murah, karena memang ekonomi yang dibangun juga “murah”.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung menyebutkan bahwa tiga hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapa pun yang ditetapkan pemerintah asalkan peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha.

Jelaslah bahwa persoalan utama terletak pada pemerintah. Menurut Dinna Wisnu, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina dalam tulisannya “Memaknai Protes Pekerja” di Sindo 2 Mei 2012, mengutip Kadin, ada 15 instansi dan lembaga yang terbebani dengan biaya tinggi, suap-menyuap, atau biaya siluman. Biaya siluman seperti itu besarnya mencapai 25% dari biaya produksi. Angka ini jauh lebih besar dari persentase biaya upah pekerja yang besarnya hanya 20% dari biaya produksi. Biro Pusat Statistik menilai bahwa porsi bagi pekerja idealnya 40%. Meningkatkan porsi alokasi dana bagi pekerja akan dapat meningkatkan output produksi, sedangkan mempertahankan biaya korupsi justru semakin melemahkan kompetisi.

Ada tiga kesimpulan yang bisa ditarik dari paparan di atas. Pertama, terjadinya gejolak di kalangan buruh, yang di antaranya diwujudkan dalam bentuk demonstrasi, karena kecilnya upah yang mereka terima. Di sisi lain kebutuhan hidup para buruh semakin bertambah. Hal ini menjadi ironis ketika pemerintah berupaya menarik investasi justru dengan mempromosikan murahnya tenaga kerja di dalam negeri.

Kedua, rendahnya upah buruh justru menjadikan disinsentif dalam investasi karena dua alasan. Pertama, upah yang murah mengakibatkan daya beli buruh menurun padahal buruh termasuk sasaran pasar. Kedua, upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja.

Ketiga, hambatan utama investasi di Indonesia sebenarnya bukan masalah tuntutan upah buruh, tapi karena hambatan birokrasi, korupsi, dan infrastruktur.

Menurut saya, masalah upah buruh harus dicari sumbernya. Upah buruh merupakan masalah hilir. Buruh dibayar murah karena pengusaha memperhitungkan biaya produksi dan di luar produksi (pungli untuk birokrasi), dan celakanya biaya di luar produksi ternyata cukup besar (yakni 25%, dibandingkan biaya upah buruh yang 20%). Bila komponen itu digabungkan maka menjadi 45%, artinya melebihi porsi ideal 40% menurut BPS. Maka, kuncinya pemerintah harus bersih dari korupsi. Inilah hulu masalahnya.
 

1 komentar:

Obat Penyakit Kanker Serviks mengatakan...

memang birokrasi yang berbelit biasanya malah bisa menjadi timbul permasalahan.....

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)