Polri Versus KPK (Bagian 3): Ada Apa?

Minggu, 16 Desember 2012

Konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus korupsi simulator SIM merupakan konflik antar lembaga yang sama-sama berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh UU, baik Polri dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 (UU Polri) dan UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) maupun KPK dengan UU Nomor 30 Tahun 2011 (UU KPK) dapat melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Permasalahan terjadi ketika kedua lembaga melakukan penyidikan pada kasus yang sama, dan tersangka yang ditetapkan pun ternyata ada juga yang sama.

Dugaan kasus korupsi simulator SIM sebenarnya menggunakan modus yang jamak dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yakni mark up. Pengadaan simulator SIM ini terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453 miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu kontrak Rp 142,415 miliar. Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83 miliar atau mark up sampai 137,19 persen (Subiyanto, 2012).

Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo dan kedua rekanan dari pihak swasta yakni Abadi Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.

Sedangkan di pihak Polri pada tanggal 31 Juli 2012 menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. Pada 1 Agustus 2012 Polri mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Tanggal itu juga  Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersanga dan menahannya di Bareskrim Polri. Polri tidak menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka, hanya beberapa pejabat Polri di bawah Irjen Pol Djoko Susilo yang ditetapkan sebagai tersangka.


Saat dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan, Irjen Pol Djoko Susilo menolak hadir dengan alasan menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA) atas permohonan fatwa mengenai lembaga apa yang pantas memeriksanya, Polri atau KPK. MA akhirnya menolak memberikan fatwa karena hanya institusi yang boleh mengajukan permohonan tersebut, bukan individu, apalagi individu yang terkait tindak pidana korupsi.

Menurut Taufik (2012), sengketa KPK dan Polri bukan merupakan insiden terisolasi, namun merupakan persoalan sistemik yang mengungkapkan cacat mendasar dari desain KUHAP yang berlaku saat ini sebagai inti pengaturan sistem peradilan pidana. Cacat itu terletak pada lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan kewenangan pra penuntutan (penyelidikan dan penyidikan). Lemahnya kontrol terhadap proses pra penuntutan, selama puluhan tahun, telah membentuk perilaku sewenang-wenang dan arogan yang kerapkali ditunjukkan oleh Polri. Kehadiran KPK dengan kewenangan pra penuntutan yang lebih tinggi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tampaknya telah menganggu kemapanan dan kenyamanan Polri sebagai institusi yang selama ini mendominasi proses pra penuntutan dalam sistem peradilan pidana.

Menurut Daming (2012) sebenarnya Polri sudah lama kehilangan kepercayaan publik dalam penanganan perkara korupsi. Sudah sering terjadi penanganan perkara seperti itu menguap begitu saja, apalagi jika perkara itu melibatkan pejabat internal masing-masing lembaga. Bagaimanapun, nuansa conflict of interest kental sekali dalam perkara itu. Dengan demikian, tidak mungkin Polri dapat berlaku adil dalam penanganan suatu perkara yang melibatkan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Potensi solidaritas korps membawa konsekuensi pada kenyataan bahwa tak ada orang yang mau membakar rumahnya sendiri.

Belakangan ini memang terkuak kembali penggunaan semangat jiwa korsa secara salah. Jiwa korsa yang lebih menekankan right or wrong it is my institution dapat saja menjerumuskan institusi Polri ke perlindungan terhadap kalangan dalam Polri yang melakukan korupsi. Selama ini mereka yang diperiksa, diadili, dan dimasukkan penjara ialah para anggota Polri berpangkat perwira menengah ke bawah, dan baru kali ini jenderal Polri aktif diperiksa (Bhakti, 2012).

Konflik KPK dan Polri semakin memanas ketika Polri bermaksud menarik 20 personilnya di KPK dengan alasan masa tugas para penyidik itu berakhir. Penarikan yang massif terbukti bisa mengganggu ritme kerja KPK. Polri memang menyiapkan pengganti, tetapi KPK tak bisa langsung menerima semua kandidat karena ada kriteria yang harus dipenuhi.

Masalah muncul ketika ada penyidik yang memilih bertahan di KPK. Sejauh ini ada lima penyidik yang dipanggil pulang, lebih memilih bertahan di KPK. Oleh KPK, mereka yang bertahan diangkat menjadi pegawai tetap KPK. Sebaliknya, Polri mengultimatum mereka untuk kembali sekaligus mengancam akan membawa para penyidik itu ke sidang kode etik.

Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Polri adalah melakukan penangkapan terhadap salah satu penyidik Polri yang memilih bertahan di KPK, yaitu Kompol Pol Novel Baswedan. Alasan penangkapan adalah yang bersangkutan terlibat kasus penganiayaan saat bertugas di Polda Bengkulu pada tahun 2004. Selama hampir 8 tahun terakhir polisi tak mengutak atik kasus ini sampai akhirnya Novel menjadi ketua satgas yang menangani dan menyidik kasus simulator SIM. Kesan bahwa Polri ingin balas dendam terhadap Novel tak bisa dihindari. Tetapi Polri berkilah ada pengaduan pengacara keluarga korban, dan selalu mencari dalih atas kejanggalan penanganan kasus Novel.

Polri seharusnya mengambil kesempatan untuk secara cepat menjadi institusi yang mampu mengondisikan diri sebagai institusi yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat, sehingga ketika KPK nanti sudah tidak ada lagi, Polri bisa dipercaya masyarakat untuk mengambil peran dalam melakukan pemberantasan korupsi. Namun, dengan insiden konflik tersebut, akan semakin sulit bagi Polri untuk mendapatkan lagi kepercayaan masyarakat (Nasih, 2012).

Langkah kontra produktif Polri ini, yakni melakukan penyidikan terhadap kasus yang juga ditangani KPK, penarikan penyidik dari KPK, dan penangkapan penyidik KPK menimbulkan pertanyaan ada apakah di balik semua itu.

Permainan kekuasaan dan rekayasa yang dilakukan institusi kepolisian dalam mengkriminalisasikan KPK secara kasatmata memperlihatkan bahwa para petinggi Polri merasa tersudut dengan proses pemeriksaan kasus korupsi pengadaan alat driving simulator pembuatan SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Pemeriksaan tersebut oleh KPK bisa dijadikan pintu masuk untuk membongkar kasus-kasus serupa di lingkungan institusi yang menjadi garda depan dalam proses penegakan hukum dalam criminal justice system ini (Tjandra, 2012).

Kesan kuat resistansi Polri terhadap manuver KPK bahkan justru mengonstruksi persepsi publik dari ''(dugaan) korupsi DS dan bawahan dekatnya'' ke ''(dugaan) korupsi Polri''. Korupsi individual, karena penanganannya diperumit lewat rivalitas antar lembaga penegak hukum, tak pelak menjadi bola salju bernama korupsi institusional (Amriel, 2012).

Dengan terkuaknya indikasi korupsi dalam kasus driving simulator, dapat dipastikan banyak pihak internal kepolisian berkepentingan agar proses penyelesaian tetap dalam “gugus kendali” kepolisian. Bagaimanapun, membiarkan proses hukum kasus ini di wilayah KPK berpotensi menghadirkan tsunami maha dahsyat di tubuh kepolisian. Sekiranya itu terjadi, bukan tidak mungkin proses hukum akan membongkar borok kepolisian. Karena itu, apabila dibandingkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, ketegangan kepolisian dengan KPK yang terjadi saat ini jauh lebih serius.  Melihat perkembangan sampai sejauh ini, bagi kepolisian, berjuang mempertahankan penyelesaian kasus Korlantas di lingkungan kepolisian menjadi semacam harga mati. Dengan posisi demikian, sejak awal kepolisian berupaya membangun argumentasi bahwa KPK tidak memiliki kewenangan menangani kasus korupsi driving simulator (Isra, 2012).

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)