Promosi Koruptor, Pemerintah Mestinya Taat Hukum

Minggu, 25 November 2012


Promosi jabatan atas Azirwan, mantan terpidana kasus korupsi di Pemprov Kepulauan Kepri (Kepri) memantik kontroversi. Di tengah giat-giatnya upaya pemberantasan korupsi dan ucapan manis presiden untuk memimpin sendiri berperang melawan korupsi, promosi tersebut merupakan sebuah tamparan. Pemerintah, dalam hal ini Mendagri dan Pemprov Kepri tidak mempersalahkan karena tidak ada larangan UU bagi mantan narapidana menduduki jabatan struktural.

Terkait dengan tidak adanya peraturan yang dilanggar, pemerintah benar. Dalam PP 100/2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural tidak mencantumkan larangan mantan narapidana menjadi pejabat struktural. Persyaratan untuk diangkat dalam jabatan struktural sebagaimana disebut dalam Pasal 5 adalah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,  serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir,  memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, serta sehat jasmani dan rohani.

Berdasarkan kualifikasi persyaratan di atas, barangkali Pemerintah menilai Azirwan memenuhi semuanya, baik itu status sebagai PNS, kualifikasi pendidikan, kompetensi, maupun kesehatan. Sebagai mantan Sekretaris Daerah yang merupakan jabatan karir tertinggi di kabupaten tentu saja ia memenuhi persyaratan minimal kepangkatan, bahkan lebih dari cukup. Sedangkan penilaian prestasi kerja yang selama ini diwujudkan dalam bentuk DP3 menjadi hak prerogatif atasan langsungnya yang lebih bersifat subyektif. 

Pada titik ini seolah-olah Pemerintah benar. Pemerintah (dalam hal ini Pemprov) melakukan suatu kebijakan dengan argumentasi telah sesuai dengan hukum, atau kalau menurut Mendagri tidak ada aturan undang-undang yang dilarang. Namun sejatinya Pemerintah lalai atau abai dengan aturan hukum itu sendiri. Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural memang legal (berdasarkan PP 100/2000), namun yang menjadi persoalan serius adalah status kepegawaian seorang PNS yang terlanjur menjadi terpidana kasus korupsi.

Permasalahan Pajak

Kamis, 22 November 2012



Salah satu sumber pembiayaan terpenting dan paling aman adalah pajak. Peran pajak dalam pembiayaan pembangunan bagi Indonesia diakui cukup besar (lebih dari 60%), namun demikian dibandingkan dengan dengan negara lain keadaan perpajakan di Indonesia masih relatif belum baik. Di antara 182 negara yang disurvei oleh World Bank dan Price Water House Coopers, Indonesia berada pada urutan ke-127 dalam hal tingkat pembayaran pajak, kemudahan pembayaran pajak, waktu yang diperlukan untuk mengurus perpajakan, dan biaya terkait dengan perpajakannya. 

Pajak merupakan sumber atau pos penerimaan negara yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dbandingkan dengan sumber penerimaan lainnya, penerimaan negara dari aspek pajak adalah sumber penerimaan negara paling aman dan potensial untuk memberikan kontribusi bagi persediaan fiskal negara. Secara umum, negara memperoleh penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan minyak dan gas bumi, penerimaan pajak, dan penerimaan negara bukan pajak. Dari sekian sumber penerimaan tersebut, pajak merupakan sumber potensial dalam memenuhi fiskal negara. (Irianto, 2009).

Lebih lanjut dikatakan oleh Irianto, pajak juga berpotensi menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Pajak memiliki dua fungsi pokok antara lain:
1. Fungsi budgeter, yakni sebagai upaya penghimpunan dana masyarakat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk penyelenggaraan negara.
2. Fungsi pengaturan, yakni sebagai upaya pemerintah mendorong kegiatan perekonomian dan memberikan keadilan kepada masyarakat.

Namun yang menjadi masalah adalah rakyat masih menyangsikan alokasi dana pajak sebab mereka tidak menemukan relevansi antara pajak yang disetorkan kepada negara dengan  program dan kebijakan negara untuk menciptakan keseimbanan sosial yang adil. Apalagi rakyat menyaksikan sendiri betapa besar uang negara yang telah dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Korupsi masih menjadi persoalan amat pelik di negeri ini.

Korupsi Berdampak “Luar Biasa”

Senin, 19 November 2012


Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Selain dilakukan secara meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu upaya pemberantasannya pun tidak hanya dengan cara yang biasa, namun dengan cara-cara yang luar biasa. Namun pengangkatan seorang mantan narapidana kasus korupsi dalam promosi sebuah jabatan PNS menjadi pertanyaan di tengah-tengah publik. Inikah model perlakuan secara “luar biasa” terhadap pelaku korupsi?

Pertama, “luar biasa” karena dengan diangkatnya seorang koruptor dalam jabatan birokrasi maka selama itu pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS. Pun, ketika ia berada di penjara selama beberapa tahun. Maka konsekuensinya ia tetap menikmati gaji pokok dan tunjangan-tunjangan, termasuk kenakan gaji setiap tahun. Sebagai PNS bergolongan IV, maka paling tidak setiap bulan gaji yang diterima sebesar Rp 3 juta. Selama mendekam di penjara 2,5 tahun itu maka pemerintah mesti menyediakan uang Rp 90 juta. Bahkan selepas mendekam dalam bui, diangkat pula ia menjadi salah satu komisaris BUMD.

Kedua, “luar biasa” karena status sebagai PNS tidak tergoyahkan. Padahal berbagai regulasi memberikan ancaman sanksi pemecatan bagi terpidana korupsi, seperti UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP 4/1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Pegawai Negeri, PP 32/1979 tentang Pemberhentian PNS, dan PP 53//2010 tentang Disiplin PNS. Dalam hal ini Presiden turut mengambil sikap yang “luar biasa”, karena menurut PP 9/2003 tentang Kewenangan Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, sebenarnya Presiden mempunyai kewenangan memberhentikan yang bersangkutan dari PNS. Namun realitanya, Presiden tidak mengacuhkannya.

Ketiga, “luar biasa” karena mendapatkan promosi jabatan. Patut disadari bahwa jabatan dalam birokrasi, apalagi jabatan struktural tidaklah mungkin diberikan kepada pegawai yang biasa saja. Proporsi jumlah pegawai yang berlipat dibandingkan dengan jumlah jabatan yang tersedia mengakibatkan munculnya persaingan/kompetisi di antara pegawai. Tidaklah mungkin semua pegawai mendapatkan jabatan struktural. Maka, pemerintah menyediakan seperangkat regulasi untuk menyeleksinya.

Promosi Jabatan bagi Koruptor

Jumat, 16 November 2012

Di saat tingginya semangat masyarakat menyatakan perang terhadap korupsi (ditandai dengan dukungan kepada KPK atas konfliknya dengan Polri), publik dikejutkan dengan berita dipromosikannya Azirwan, seorang mantan narapidana kasus korupsi menjadi pejabat eselon II di Pemprov Kepulauan Riau (Kepri). Azirwan ini dulu seorang Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan. Sekda merupakan jabatan struktural eselon II, puncak karir PNS di pemerintah kabupaten.

Azirwan bersama seorang anggota DPR ditangkap oleh KPK dalam kasus penyuapan pada tahun 2008. Setelah divonis 2 tahun 6 bulan, tahun 2010 ia bebas. Kabarnya, kemudian ia menduduki posisi salah satu komisaris BUMD di Bintan. Jika pada tahun 2012 ini ia diangkat dalam sebuah jabatan struktural, berarti selama ini pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS, pun ketika berada di dalam penjara. Sebagai konsekuensi menjadi PNS, ia berhak atas gaji pokok dan tunjangan-tunjangan. Maka, betapa “baik hatinya” pemerintah kita ini, menggaji orang yang tidak bertugas bahkan menjadi narapidana selama bertahun-tahun. 

Terkait dengan promosi jabatan mantan narapidana korupsi, Menpan dan RB menyerahkan kepada masing-masing daerah, pemerintah pusat tak bisa membatalkannya dengan alasan otonomi daerah. Sedangkan Mendagri menyatakan kebolehannya karena tidak ada undang-undang yang melarang hal itu. Hal ini senada dengan sikap Pemprov Kepri yang mendasarkan pada tiadanya peraturan yang dilanggar. 

Aturan Mana yang Tidak Ada?
Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman pidana tidak berarti harus dipecat.

Proses Pembangunan

Minggu, 11 November 2012


Definisi Pembangunan
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005, dikutip oleh Badrudin, 2009).

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. (Badrudin, 2009).


Aktor Pembangunan

Aktor pembangunan terdiri dari:
1. Pemerintah
2. Dunia usaha
3. Lembaga keuangan
4. Rumah tangga
5. Sektor luar negeri.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)