Korupsi Berdampak “Luar Biasa”

Senin, 19 November 2012


Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Selain dilakukan secara meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu upaya pemberantasannya pun tidak hanya dengan cara yang biasa, namun dengan cara-cara yang luar biasa. Namun pengangkatan seorang mantan narapidana kasus korupsi dalam promosi sebuah jabatan PNS menjadi pertanyaan di tengah-tengah publik. Inikah model perlakuan secara “luar biasa” terhadap pelaku korupsi?

Pertama, “luar biasa” karena dengan diangkatnya seorang koruptor dalam jabatan birokrasi maka selama itu pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS. Pun, ketika ia berada di penjara selama beberapa tahun. Maka konsekuensinya ia tetap menikmati gaji pokok dan tunjangan-tunjangan, termasuk kenakan gaji setiap tahun. Sebagai PNS bergolongan IV, maka paling tidak setiap bulan gaji yang diterima sebesar Rp 3 juta. Selama mendekam di penjara 2,5 tahun itu maka pemerintah mesti menyediakan uang Rp 90 juta. Bahkan selepas mendekam dalam bui, diangkat pula ia menjadi salah satu komisaris BUMD.

Kedua, “luar biasa” karena status sebagai PNS tidak tergoyahkan. Padahal berbagai regulasi memberikan ancaman sanksi pemecatan bagi terpidana korupsi, seperti UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP 4/1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Pegawai Negeri, PP 32/1979 tentang Pemberhentian PNS, dan PP 53//2010 tentang Disiplin PNS. Dalam hal ini Presiden turut mengambil sikap yang “luar biasa”, karena menurut PP 9/2003 tentang Kewenangan Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, sebenarnya Presiden mempunyai kewenangan memberhentikan yang bersangkutan dari PNS. Namun realitanya, Presiden tidak mengacuhkannya.

Ketiga, “luar biasa” karena mendapatkan promosi jabatan. Patut disadari bahwa jabatan dalam birokrasi, apalagi jabatan struktural tidaklah mungkin diberikan kepada pegawai yang biasa saja. Proporsi jumlah pegawai yang berlipat dibandingkan dengan jumlah jabatan yang tersedia mengakibatkan munculnya persaingan/kompetisi di antara pegawai. Tidaklah mungkin semua pegawai mendapatkan jabatan struktural. Maka, pemerintah menyediakan seperangkat regulasi untuk menyeleksinya.


Jabatan kepala dinas dalam pemerintah provinsi merupakan jabatan struktural eselon II a. Ini setingkat lebih rendah daripada jabatan sekretaris daerah provinsi (eselon I b), puncak jabatan tertinggi dalam karir PNS di Pemprov. Jabatan struktural merupakan jenis jabatan bagi PNS yang benar-benar terpilih. Ia harus memenuhi standar kualifikasi, baik itu kualifikasi pendidikan, kompetensi, kepangkatan, prestasi kerja, maupun kesehatan. Tapi, sayangnya moralitas tidak menjadi ukuran.

Keempat, “luar biasa” karena pemerintah sendiri tidak mempersoalkan mantan narapidana korupsi dipromosikan dalam jabatan. Dengan berlindung pada aturan hukum, Mendagri dan Pemerintah Provinsi berkilah tidak ada UU yang dilanggar. Pemerintah sepertinya lupa bahwa hukum tidak sekadar bunyi dan tulisan dalam peraturan perundang-undangan. Semestinya hukum tidaklah sesempit itu. Sejatinya, hukum bukan hanya UU, melainkan juga living law, kearifan lokal seperti adanya rasa malu, tidak patut, dan tidak pantas. Benar memang, dalam UU dan peraturan hukum lain tak ditemui satu pasal pun yang melarang mantan narapidana korupsi menduduki jabatan tertentu di jajaran pemerintahan. Namun, ini tidak patut, tak pantas, dan memalukan (Suteki, 2012).

Akuntabilitas 
UU 28/1999 mencantumkan asas umum pemerintahan yang baik yang diartikan sebagai asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satu asasnya adalah akuntabilitas, artinya setiap apa yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan.

Ditinjau dari teori akuntabilitas, promosi jabatan bagi mantan narapidana korupsi dipandang sebagai tindakan yang tidak akuntabel meski tidak ada peraturan yang dilanggar. Teori modern accountability menilai ketepatan tindakan pemerintah tidak hanya dalam lingkup sempit semata seperti legal accountability ataupun financial accountability, namun juga public accountability (Wibowo, 2012). Maka rasa keadilan yang terusik di masyarakat semestinya menjadi pertimbangan dan renungan setiap penyelenggara negara dalam membuat keputusan. 

Promosi jabatan mantan narapidana korupsi di salah satu pemprov di Sumatera merupakan satu kasus yang terkuak secara luas di media massa, sehingga publik pun mampu berteriak. Bisa jadi masih ada kasus-kasus serupa yang muncul di berbagai daerah maupun instansi namun tidak sempat terekspos khalayak. Dalam catatan KPK saja selama 2004 hingga 2011 pejabat eselon I, II, dan III yang ditanganinya berjumlah 91 orang. Jumlah kasus korupsi yang melibatkan PNS yang ditangani Polri dan Kejaksaan tentunya lebih banyak lagi. Dan, tidak ada jaminan mereka semua diperlakukan luar biasa sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Mungkin saja, mereka diperlakukan “luar biasa” sebagai antitesis pemberantasan korupsi.

Solusi
Lalu solusi apa yang bisa ditawarkan kepada Pemerintah? Semua solusi ini bisa dirujuk pada PP 9/2003. Peraturan pemerintah ini dibuat oleh pemeritah maka semestinya pemerintah taat dengan aturan yang telah dibuatnya sendiri. 

Pertama, Pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur dengan kewenangannya mencabut keputusan promosi atau dengan kata lain memberhentikan yang bersangkutan dari jabatan struktural (Pasal 13 ayat 1). Dia-lah yang menetapkan maka dia-lah pula yang harus membatalkan sebuah keputusan. Cara ini memang sulit karena sepertinya Gubernur menganggap tidak ada yang salah dengan keputusannya, bahkan merasa tidak ada UU yang dilanggarnya.

Kedua, Kepala BKN dengan kewenangannya dapat melakukan tindakan administratif dengan adanya pelanggaran atas pelaksanaan peraturan kepegawaian (Pasal 30). Tindakan administratif itu bisa berupa pencabutan keputusan.

Ketiga, Presiden dengan kewenangannya memberhentikan yang bersangkutan sebagai PNS (Pasal 22). Alasan pemberhentian adalah karena telah terpenuhinya unsur sebagaimana disebutkan dalam UU 43/1999, PP 4/1966, dan PP 32/1979 yakni menjadi terpidana dalam kasus korupsi. Dengan tidak lagi menjadi PNS maka gugur pula persyaratan menduduki jabatan struktural. 

Mari kita tunggu komitmen Pemerintah. Untuk hal seperti ini mestinya tak usah menunggu Presiden berpidato.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)