Promosi Jabatan bagi Koruptor

Jumat, 16 November 2012

Di saat tingginya semangat masyarakat menyatakan perang terhadap korupsi (ditandai dengan dukungan kepada KPK atas konfliknya dengan Polri), publik dikejutkan dengan berita dipromosikannya Azirwan, seorang mantan narapidana kasus korupsi menjadi pejabat eselon II di Pemprov Kepulauan Riau (Kepri). Azirwan ini dulu seorang Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan. Sekda merupakan jabatan struktural eselon II, puncak karir PNS di pemerintah kabupaten.

Azirwan bersama seorang anggota DPR ditangkap oleh KPK dalam kasus penyuapan pada tahun 2008. Setelah divonis 2 tahun 6 bulan, tahun 2010 ia bebas. Kabarnya, kemudian ia menduduki posisi salah satu komisaris BUMD di Bintan. Jika pada tahun 2012 ini ia diangkat dalam sebuah jabatan struktural, berarti selama ini pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS, pun ketika berada di dalam penjara. Sebagai konsekuensi menjadi PNS, ia berhak atas gaji pokok dan tunjangan-tunjangan. Maka, betapa “baik hatinya” pemerintah kita ini, menggaji orang yang tidak bertugas bahkan menjadi narapidana selama bertahun-tahun. 

Terkait dengan promosi jabatan mantan narapidana korupsi, Menpan dan RB menyerahkan kepada masing-masing daerah, pemerintah pusat tak bisa membatalkannya dengan alasan otonomi daerah. Sedangkan Mendagri menyatakan kebolehannya karena tidak ada undang-undang yang melarang hal itu. Hal ini senada dengan sikap Pemprov Kepri yang mendasarkan pada tiadanya peraturan yang dilanggar. 

Aturan Mana yang Tidak Ada?
Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman pidana tidak berarti harus dipecat.

Pemprov Kepri sendiri mengajukan argumentasi bahwa ancaman pidana kasus Azirwan di bawah empat tahun, sehingga meskipun telah divonis ia pun tidak mendapat sanksi pemecatan sebagai PNS. Argumen ini sebenarnya gugur karena dalam kenyataannya ancaman hukuman kasus suap Azirwan adalah maksimal lima tahun penjara (Pasal 5 ayat 1a UU 31/1999 jo UU 20/2001).

Selain itu penerapan Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 juga kurang tepat. Dalam kasus korupsi, landasan hukum yang paling tepat digunakan untuk memecat PNS adalah Pasal 23 ayat 5. Ketentuan ini menyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Maksud dari tindak pidana kejahatan ini adalah termasuk tindak pidana korupsi. Maka dengan demikian tiada ampun lagi bagi PNS yang telah divonis pidana dalam kasus korupsi, selain harus dipecat. 

Senada dengan UU 43/1999, PP 32/1979 tentang Pemberhentian PNS mengatur pula hal itu, yakni dalam Pasal 9. Ditegaskan bahwa pemecatan merupakan keharusan, bukan lagi sekadar kebolehan bagi pejabat yang berwenang. Dijelaskan dalam PP itu pada dasarnya jabatan yang diberikan kepada seorang PNS merupakan kepercayaan dari Negara yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Apabila  seorang PNS dipidana  penjara  atau  kurungan  berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap  karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan atau pekerjaanya, maka PNS yang bersangkutan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. 

Tindak pidana kejahatan jabatan yang dimaksud, antara lain adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 KUHP. Isi dari ketentuan KUHP tersebut mengacu pada tindak pidana korupsi yang sekarang diatur dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor. Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah, maka seharusnya pemerintah konsisten untuk melaksanakannya.

Selama ini berbagai instansi telah konsisten menegakkan aturan ini. Jangankan koruptor, PNS yang melakukan tindak pidana biasa saja mendapatkan sanksi pemecatan. Di beberapa instansi ada yang menggunakan parameter jika PNS dipidana penjara enam bulan atau lebih maka biasanya ia dipecat, namun jika masih di bawah enam bulan masih diberi kesempatan untuk menjadi PNS mengingat jasa-jasa yang pernah dilakukan saat mengabdi. Namun tentunya ia masih mendapatkan sanksi disiplin, misalnya penundaan kenaikan gaji, penurunan pangkat, pemindahan, pembebasan dari jabatan, dan sebagainya.

Kasus promosi terpidana korupsi bisa menjadi “yurisprudensi” baru bagi instansi pemerintah, apalagi menteri terkait pun terkesan membiarkan. Efek jera hukuman menjadi tidak ada lagi. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, melakukan korupsi bukan lagi hal yang perlu ditakuti. Karena, kalaupun toh tertangkap dan dipenjara, selepasnya akan kembali menjadi PNS dan mendapatkan promosi jabatan. Korupsi tidaklah berakibat buruk bagi karir, bahkan menjadi meningkat.

Ini baru menyingkap sisi hukum, yang ternyata tidak konsisten dilaksanakan. Kita belum membincangkan akuntabilitas dan etika birokrasi. Kita belum menyentuh rasa keadilan di masyarakat. Kita juga belum membicarakan rasa kepantasan. Negara ini telah bersepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Maka, mestinya penanganannya tidak dengan cara yang biasa-biasa saja. Atau jangan-jangan keluarbiasaan kejahatan korupsi ini ditafsirkan secara berbeda oleh sebagian kalangan. Karena sebagai mantan terpidana kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa maka promosi jabatan Azirwan pun harus dilakukan secara luar biasa. Luar biasa karena dari seorang PNS tanpa eselon tiba-tiba meloncat menjadi eselon II. Luar biasa karena meskipun argumen hukumnya tidak tepat tetap saja dilaksanakan. Juga luar biasa karena diamini oleh menteri. 

Untuk menyelesaikan masalah ini, tidaklah perlu ada pidato atau instruksi presiden. Cukuplah kepatuhan atas hukum yang diperlukan.   

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)