Kita Bikin Ramai

Senin, 23 November 2015

“Hal-hal yang menyangkut kedaulatan, akan kita buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa tegas. Karena tegas menurut saya adalah berani memutuskan dan berani mengambil resiko!” demikian janji tegas Jokowi saat menjawab pertanyaan calon presiden Prabowo Subianto dalam acara debat capres di Hotel Holiday Inn, 22 Juni 2014. Menurutnya, resiko “membuat ramai” tersebut adalah resiko yang ia tempuh jika ada ancaman terhadap kedaulatan.

Takdir telah berkata bahwa Jokowi-lah pemenang dalam pemilihan presiden. Hari berganti hari, sekian bulan menduduki singgasana presiden, kita bersyukur ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak muncul, setidaknya belum muncul, walaupun potensi untuk itu selalu ada. Meski begitu janji tuan presiden untuk “kita buat ramai” saat ini tertunaikan. Ramai dalam bentuk yang lain. Ramai yang tak disangka-sangka. Awalnya, aparat kepolisian dibuat ramai dengan pencalonan Kapolri yang ternyata dijadikan tersangka. Tragisnya, Kapolri yang akan digantikan jabatannya itu sedang tidak menjelang pensiun.

Berikutnya publik disuguhi tontonan keramaian antar menteri yang bersilang pendapat. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan (saat itu Rahmad Gobel) bergesekan mengenai kebijakan impor garam industri yang dinilai merugikan petani garam. Sebagai imbasnya, Menteri Susi yang juga bos maskapai Susi Air mengancam tidak akan melaksanakan tugas yang sudah dicanangkan tuan presiden mengenai pemberdayaan petani garam. Sementara Rahmad Gobel menegaskan bahwa garam yang diimpor beda spesifikasi dengan garam yang diproduksi di dalam negeri yang tidak bisa dimakan.

Setelah itu kita dikejutkan berita Mendagri Tjahjo Kumolo melaporkan menteri yang telah menghina dan menjelekan tuan presiden. Pada saat bersamaan di internal elit PDIP, partai pendukung tuan presiden, beredar teks mirip transkrip percakapan seorang menteri. Teks tersebut berbunyi, “Kalau memang saya harus dicopot, silakan! Yg penting presiden bisa tunjukan apa kesalahan saya dan jelaskan bahwa atas kesalahan itu, saya pantas dicopot!  Belum tentu juga Presiden ngerti, apa tugas saya. Wong presiden juga nggak ngerti apa-apa.”  Sejumlah elit PDIP ada yang gamblang menyebut orang yang merendahkan tuan presiden itu adalah menteri perempuan di sektor ekonomi. Satu-satunya menteri perempuan di sektor ekonomi adalah Menteri BUMN Rini Soemarno.

Negeri Para Pahlawan

Kamis, 19 November 2015

Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya ke dalam sebuah majelis, di mana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Cerita tentang pahlawan sastra dan istrinya tersebut merupakan satu di antara sekian hikmah yang bisa ditemui dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”. Buku tersebut adalah himpunan 76 kolom serial kepahlawanan di majalah Tarbawi yang ditulis oleh Anis Matta. Selama ini kita mengenal Anis sebagai politikus. Ia pernah menjadi ketua partai politik dan wakil ketua parlemen. Politik, dimaklumi sebagai dunia bergetah, juga beranjau. Namun pada sisi yang lain, meminjam ungkapan sastrawan Taufiq Ismail dalam pengantarnya, kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sana-sini, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.

Tulisan-tulisan Anis lahir akibat kegelisahannya akan kelangkaan pahlawan. Dalam bahasa yang puitis, menurutnya, negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur, mereka makin pelit melahirkan pahlawan. “Saya tidak pernah merisaukan benar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab di sini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa,” tulisnya.

Bagi Anis, seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya. Karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya.

Pembedaan Golongan

Minggu, 15 November 2015

Pada masa penjajahan kolonial Belanda pembagian kelas penduduk di Indonesia diatur secara hukum oleh Pasal 162 juncto Pasal 131 Indische Staatregeling (IS). Dalam pasal tersebut komposisi penduduk dibagi menjadi 3 golongan yang juga menentukan tingkatan kelas. Kelas yang tinggi tentu saja lebih mendapatkan keistimewaan.

Pertama, Golongan Kulit Putih (Eropa, Amerika, Jepang, warga campuran (indo) dengan kriteria tertentu). Kedua, Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India). Ketiga, Golongan Bumiputera (pribumi/inlander/penduduk asli).

Penduduk pribumi yang dimasukkan sebagai rakyat kelas ketiga atau kelas paling bawah, sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Diskriminasi bisa terjadi pada lapangan pekerjaan, upah, jenis sekolah, tempat duduk dalam acara. Bahkan di sebuah gedung pernah dituliskan, "Anjing dan inlander dilarang masuk".

Politik segregasi peninggalan kolonial ini sekarang sudah dihapus. Indonesia telah merdeka, puluhan tahun usianya. Namun dalam keseharian, pembedaan golongan masyarakat masih dijumpai. Berikut, Kiai Haji Anwar Zahid, mubaligh kondang dari tanah Bojonegoro ini bertutur.

"Wong sugih karo wong melarat kuwi pancen beda, mangkat iring kemanten wae wis ketok beda.

Kekerasan Polisi

Jumat, 13 November 2015

Francesco Vincent Serpico, lahir di kawasan hitam Brooklyin pada tahun 1936 sebagai anak bungsu dari pasangan Vincenzo dan Maria Giovanna Serpico, imigran Italia. Pernah menjadi tentara Amerika Serikat dan ditempatkan dua tahun di Korea Selatan sebagai infanteri hingga akhirnya ia bergabung menjadi anggota kepolisian di New York. Di sinilah kisah Serpico dimulai. Namanya menjadi legenda, tenar, dibukukan, dan dibuatkan film  yang diperankan oleh aktor Al Pacino dengan judul yang sama dengan namanya, “Serpico”.

Awalnya Serpico adalah polisi biasa nan sederhana. Sampai suatu saat ia mulai menyadari bahwa berbagai penyimpangan terjadi di sekitar lingkungannya, sesama rekan polisi. Anggota kepolisian dihinggapi penyakit kronis. Mulai memeras, melindungi praktek perjudian, penyalur narkoba, terlibat penyuapan, dan korupsi. Serpico tak ikut arus, dan akibatnya ia dimusuhi. Pada tanggal 3 Februari 1971, dalam penggrebekan bandar besar narkoba, ia dikhianati. Ia ditembak oleh penjahat yang telah bermain mata dengan rekan-rekannya. Peluru memutuskan syaraf pendengaran, menyebabkan tuli pada salah satu telinga, dan sakit kronis.

Pada Oktober dan Desember 1971, Serpico bersaksi di depan Komisi Knapp, sebuah komisi yang dibentuk untuk mengungkap skandal suap di tubuh kepolisian. Hasilnya, dugaan penyimpangan terbukti benar adanya. Petinggi kepolisian akhirnya menindak mereka yang bersalah dan melakukan reformasi besar-besaran. Atas jasanya, Serpico diganjar penghargaan Medal of Honor. Sebulan kemudian, pada bulan Juni 1972 ia berhenti dari dinas kepolisian.

Kisah Serpico di Amerika Serikat ini mirip dengan Novel di Indonesia. Sama-sama mengungkap kebusukan ulah petinggi sebuah institusi namun akhirnya dimusuhi sendiri sesama anggota korps. Komisaris Polisi Novel Baswedan adalah seorang penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian. Ia sedang memimpin proses penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi dan menengah kepolisian. Hingga tiba-tiba, beberapa saat kemudian Novel berbalik disangka melakukan kejahatan saat bertugas di Bengkulu bertahun-tahun sebelumnya. Secara demonstratif, polisi dalam jumlah banyak berusaha menangkap Novel di kantor KPK. Timbullah selisih paham yang akhirnya membawa konflik antara KPK dan Kepolisian, kedua lembaga yang sama-sama diberi amanah menegakkan hukum. Presiden pun turun tangan.

Kedaulatan Pangan

Selasa, 10 November 2015

“Tempe. Ibu pulang dari pasar. Tidak lupa membawa tempe. Aku suka makan tempe. Karena tempe banyak gizinya”.

Lantang saya teriakkan deklamasi di depan kelas, di hadapan teman-teman. Muka saya masih imut. Rambut saya masih cepak, potongan kuncung. Ruangan kelas, yang memang satu-satunya, masih berlantai tanah. Di samping saya, Bu Titik, guru TK tersenyum geli. Kini, almarhumah menjadi legenda dunia pertamankanak-kanakan. Coba tanya orang-orang di Taman, Madiun, terutama yang berusia 20-an ke atas, siapa yang tak kenal nama beliau. Dari kakak saya yang sekarang berumur 50-an tahun, hingga anaknya yang sekarang punya anak lagi seusia TK, pernah diajar oleh Bu Titik.

Tempe, yang disebutkan di muka tadi, merupakan salah satu makanan favorit saya, barangkali juga seluruh nusantara, terutama Jawa. Penduduk Jawa memang dikenal menyukai dan menyayangi tempe. Sejak jaman kerajaan dulu tempe sudah menjadi santapan. Prof. Mary Astuti, seorang peneliti tempe dari UGM, menyatakan bahwa tempe semula dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada beberapa abad yang lalu. Pada sekitar tahun 1600 telah tercatat bahwa Pangeran Bayat pernah menyuguhi tamunya dengan tempe.

Dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” Sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12, kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”

Presiden RI pertama, Bung Karno dikabarkan sebagai penggemar tempe. Tempe, selain gulai daun singkong adalah dua makanan yang tak pernah absen dari meja makan Bung Karno. Berkat Bung Karno pula, nama tempe menggelegar di seantero negeri memesankan rakyat agar bekerja keras tidak menjadi bangsa kuli. “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”, teriaknya. Karena pembuatan tempe secara tradisional adalah dengan cara diinjak-injak, maka penggambaran bangsa tempe adalah bangsa yang mudah diinjak-injak (harga diri dan kedaulatannya).

Tragedi Tambang

Jumat, 06 November 2015

Di balik peralatan elektronik yang sering kita pergunakan sehari-hari, ternyata ada peluh keringat dan tetes darah ribuan penambang di Afrika, terutama di Kongo. Telepon pintar, laptop, komputer, DVD player, kamera digital termasuk di antaranya. Beberapa produk elektronik menggunakan logam tantalum, yang merupakan hasil pengolahan dari biji coltan. Logam tersebut memiliki kekuatan untuk menahan panas, menahan karat, dan menahan kekuatan listrik tingkat tinggi. Pertambangan coltan terdapat di Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Ethiopia, Mozambique, dan Kongo. Diperkirakan 80 persen dari produksi coltan di dunia dihasilkan di Kongo.

Demikian vitalnya coltan mengakibatkan harganya membumbung tinggi, konon dua sampai tiga kali lipat dari harga emas. Ironisnya, hal tersebut tak sebanding dengan pendapatan para penambang. Upah per hari mereka USD 5 dengan bekerja rata-rata 12 jam setiap hari di bawah tekanan dan kondisi berbahaya. Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif, manual, dan sederhana. Di Kongo, banyak tempat pertambangan yang dikontrol oleh pemberontak selama bertahun-tahun. Hasilnya digunakan membeli senjata untuk berperang. Sekitar 6,9 juta jiwa menjadi korban perang sejak tahun 1998 akibat konflik di Kongo.

Penguasaan tempat pertambangan untuk pembelian senjata digambarkan di dalam film besutan Edward Zwick, berjudul Blood Diamond. Sutradara The Last Samurai ini menyuguhkan cerita tentang pencarian berlian merah muda yang berukuran lebih besar dari lainnya dengan latar kisah nyata konflik etnis yang mengakibatkan terjadinya perang saudara di Sierra Leone, salah satu negara benua hitam Afrika. Di film yang diaktori oleh Leonardo Dicaprio ini kita disuguhi kisah pilu, tentang pembunuhan warga sipil, perbudakan di tambang berlian, dan penculikan para bocah untuk dijadikan tentara pemberontak.

Film lain tentang konflik tambang adalah Fire Down Below yang dibintangi oleh Steven Seagel sebagai Jack Taggart yang merupakan agen EPA. EPA adalah Environmental Protection Agency, sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Taggart menyamar sebagai relawan pada gereja setempat di kota Jackson, Kentucky untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan perusahaan pertambangan. Masyarakat tidak banyak memberikan keterangan karena didera ketakutan. Gereja tempatnya bekerja dibakar, pendetanya dibunuh. Taggart sendiri beberapa kali mendapat ancaman fisik pembunuhan. Namun berkat keahlian bela dirinya, ia selamat. Aparat keamanan dan pejabat lokal yang seharusnya melindungi kotanya dari kerusakan, tragisnya bersekongkol dengan pemilik tambang yang dikawal preman.

Lelucon Presiden

Senin, 02 November 2015

Jayanagara adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah di kala masih berusia belia. Ayahnya, Raden Wijaya, merupakan pendiri kerajaan sekaligus raja pertamanya. Pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan atau kudeta, misalnya yang dilakukan oleh Juru Demung, Gajah Biru, Nambi, dan Ra Kuti. Bahkan Ra Kuti sempat berhasil menduduki istana sebelum akhirnya upaya kudetanya digagalkan oleh Gajah Mada, komandan Bayangkara, pengawal khusus raja. Nama terakhir ini di kemudian hari menjadi mahapatih Kerajaan Majapahit. Dan beratus tahun kemudian namanya diabadikan menjadi sebuah perguruan tinggi yang salah satu produknya saat ini menjadi tuan presiden.

Kisah tentang Jayanagara ini dulu banyak didengar oleh generasi tahun 1990-an yang konon kabarnya diklaim sebagai generasi yang amat menyenangkan. Pada era tersebut muncul sandiwara radio berjudul Mahkota Mayangkara yang berarti sebuah kekuasaan semu atau bersifat sementara yang dicapai dengan penuh angkara dan pertumpahan darah. Mahkota Mayangkara merupakan sekuel dari Tutur Tinular, sebuah sandirawa radio  legendaris karya S. Tidjab yang menceritakan perjalanan hidup ksatria Arya Kamandanu dengan latar belakang sejarah berdirinya kerajaan Majapahit. Sedangkan Mahkota Mayangkara sendiri berkisah tentang sejarah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanagara.

Dalam sandirawa tersebut Jayanagara dikisahkan sebagai raja yang dipenuhi perilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul di masanya. Ia juga dilanda rasa takut kehilangan tahta. Kedua adik perempuan dari lain ibu ia larang untuk menikah, bahkan hendak ia nikahi sendiri. Dalam kitab Pararaton nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet. Nama tersebut bernada ejekan, karena Kalagemet bermakna jahat dan lemah, mungkin juga suka bermain perempuan. Ia terkena penyakit kelamin. Kehidupannya berakhir tragis. Seorang tabib istana, Ra Tanca, yang istrinya diganggu, akhirnya membunuh sang raja dengan cara ditikam saat mengobati sakit bisul.

Bermain api dengan perempuan, di jaman modern pun dilakoni oleh sebagian pemimpin negara. Bill Clinton salah satunya. Presiden Amerika Serikat ke-42 ini tersandung skandal dengan seorang perempuan bernama Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih dan Pentagon. Akibat kejadian ini sang presiden musti terseok-seok dan hampir dipecat dari jabatannya (pemakzulan). Ternyata di negara seperti Amerika Serikat, hal seperti ini bisa membuat seorang pemimpin negara menjadi perhatian publik dan nyaris berakhir karirnya. Negara yang terkenal dengan seks bebasnya, namun tak rela jika presidennya menjalin hubungan terlarang dengan perempuan yang bukan istrinya. Sekali lagi urusan moral membawa peran penting.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)