Pejuang Literasi

Jumat, 18 Desember 2015

Yasser Arafat dari Palestina dan Mohammad Hatta dari Indonesia merupakan dua tokoh penting perjuangan bangsanya yang memiliki kesamaan pandangan. Kesamaan itu adalah ikrar untuk menunda melangsungkan pernikahan sebelum bangsanya merdeka dari penjajahan. Keduanya memenuhi nazar. 15 November 1988, di Aljir, Aljazair, Arafat mendeklarasikan kemerdekakan Palestina. Dua tahun kemudian saat berusia 61 tahun ia menikahi Suha Tawil yang lebih muda 34 tahun darinya.

Bagaimana dengan Hatta? Ia lebih beruntung. Saat Indonesia merdeka, usianya “baru” 43 tahun. Ia sendiri bersama sahabat dekatnya, Soekarno, mengatasnamakan rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Soekarno pulalah yang mempunyai peran amat penting dalam perjodohan Hatta dengan menjadi mak comblang. Saat ditanya oleh Soekarno tentang siapa kira-kira orang yang diingikan untuk dinikahi, Hatta menjawab, “Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya.” Setelah ditelusuri ternyata gadis pilihan proklamator kelahran Bukittinggi itu adalah Rahmi, putri keluarga Rachim.”

Menjelang tengah malam, Soekarno mendatangi rumah keluarga Rachim di Burgermeester Koops Weg, atau yang sekarang dikenal sebagai Jl. Pajajaran No. 11 Bandung dan melamar Rahmi untuk Hatta. Pada 18 November 1945 atau tiga bulan setelah kemerdekaan, Hatta menikahi Rahmi di Megamendung, Bogor. Nazar pun tertunaikan. Lazimnya mas kawin yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan adalah uang perak atau uang ringgit yang terbuat dari emas. Itu pula yang diharapkan oleh ibunda Hatta pada anak lelaki satu-satunya tersebut. Tapi dasar Hatta si kutu buku. Sebagai mas kawin, Hatta memberikan buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang ditulisnya saat berada di Digul pada masa pengasingan pemerintah kolonial.

Sejak muda Hatta memang tergila-gila dengan buku. Ia telah mengoleksi buku saat Sekolah Dagang di Batavia. Waktu itu usianya baru 17 tahun. Selepas kuliah di negeri Belanda, Hatta pulang ke Indonesia dengan membawa serta buku-bukunya sebanyak 16 peti besi. Masing-masing peti berukuran setengah meter kubik. Sedangkan untuk pakaian ia hanya membawa satu koper saja. Saat diasingkan ke Boven Digul menggunakan kapal yang jauhnya ribuan kilometer, 16 peti berisi buku itu turut dibawanya. Demikian pula saat dipindah-buang ke Banda Neira, kembali lagi ke Jakarta, dan kemudian ke Bangka.


Hatta dan buku memang dua hal yang tak terpisahkan. Sering dalam pidatonya Hatta berseru, “Timbalah ilmu dari buku!” Memang dari bukulah, kita dapat membaca berbagai pengetahuan dari pelosok dunia. Membaca berbagai pemikiran dari para tokoh dunia. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh informasi, selain dengan melihat dan mendengarkan. Di tengah terkekangnya bangsa Indonesia dalam penjajahan kolonial Belanda ternyata ada sisi yang menakjubkan dalam hal aktivitas membaca. Konon pada waktu itu, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya sastra setahun.

Sementara siswa SMA saat ini tidak diwajibkan membaca buku, di luar buku pelajaran. Kita bisa membandingkan dengan para siswa di luar negeri. Siswa SMA di Amerika Serikat misalnya, diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun. Sedangkan siswa Jepang 15 judul, Brunei 7 judul, Singapura dan Malaysia 6 judul, dan Thailand 5 judul. Itu untuk pelajar. Secara umum masyarakat kita memang belum hobi membaca. UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Itu berarti dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat membaca.

Menurut UNESCO pula, dalam sebuah negara idealnya satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. Pada kenyataannya, merujuk data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Ini artinya para penulis Indonesia hanya mampu menghasilkan kira-kira 72 juta buku. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, berarti rata-rata sebuah buku di Indonesia dibaca 3-4 orang. Tentunya ini jauh dari idealita UNESCO.

Saat ini kita lebih senang menggenggam ponsel cerdas, mengobrol di warung, atau menonton acara televisi yang membuka aib seseorang daripada membawa bacaan yang berkualitas sebagai teman dalam segala aktivitasnya. Di Indonesia membaca buku adalah pilihan nomer ke-100 atau bahkan 101 dari rata-rata kebutuhan. Artinya, aktivitas membaca tidak dianggap penting. Tidak membaca tidak membuat orang mati. Untuk hal yang positif, seperti membaca,seyogyanya kita tak perlu malu mencontoh orang luar. Di Jepang dan Eropa, kabarnya masyarakatnya rajin membawa buku untuk dibaca dalam setiap aktivitasnya sehingga mampu membentuk sebuah masyarakat modern yang berpengetahuan luas. Di kereta, di bus, di halte mereka rajin membaca buku.

Budayawan Taufiq Ismail menekankan, sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa bangsa yang hebat adalah bangsa yang masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Masyarakat tersebut sejak dini sudah terlatih dan terbiasa membaca. Sedangkan pakar pendidikan Darmaningtyas Utomo dari Universitas Paramadina Jakarta mengatakan Indonesia harus segera meningkatkan minat baca di kalangan pemuda jika bangsa ini ingin bersaing dengan negara lain. Kurangnya minat baca ini berasal dari budaya masyarakat Indonesia yang sebagian besar menekankan tradisi lisan. Sayangnya, ketika masyarakat Indonesia belum masuk ke tahap membaca-menulis, masyarakat Indonesia dipaksa untuk mengadopsi era digital, yang benar-benar serba instan.

Namun, di tengah lesunya minat baca masyarakat Indonesia, muncul secercah cahaya terang. Riyan Hamzah dengan sepeda kayuh, Muhammad Ridwan Alimuddin dengan perahu pustaka, dan Ridwan Sururi dengan kuda pustaka berkeliling menyapa anak-anak muda untuk mencintai buku. Koran Jawa Pos bulan Desember 2015 mengangkat kisah mereka, para pejuang literasi.

Riyan Hamzah lahir di Sumedang pada September 1974. Pada tahun 1999, tanpa bekal keterampilan serta pendidikan mencukupi, ia harus bertahan hidup di jalanan dengan menjadi pedagang asongan dan pengamen. Area kerja ayah tiga anak tersebut di sekitar Jakarta Timur sampai Jakarta Pusat. Rasa pedulinya terhadap anak jalanan membuatnya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sanggar Alam Kita. Tak seperti umumnya rumah singgah atau TBM untuk anak jalanan, Riyan tidak menunggu didatangi. Dialah yang menghampiri, menyapa, dan mengajak mereka membaca dan menulis. Dia mengajak anak-anak yang sebagian besar sudah meninggalkan bangku sekolah atau tak pernah bersekolah itu untuk kembali mencintai buku.

Ikhtiarnya itu bermula dengan sepeda kayuh dan sebuah boks plastik. Riyan menyusuri kawasan Salemba, Jakarta Pusat, sembari membawa sekitar 150 buku. Dari sekitar pukul 08.00 sampai 17.00, Riyan menghampiri pengamen, pengasong, atau pengemis. Tak jarang, saking asyiknya mengajarkan membaca dan menulis, dia baru pulang ke rumah di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, jauh malam. Namun, tak jarang pula dia harus berhadapan dengan razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena dikira pedagang asongan. Kendati semuanya itu tak mendatangkan sepeser pun uang, bagi dia, kepuasan karena bisa berbagi ilmu melebihi segalanya. Sebuah pekerjaan yang bagi banyak orang mungkin dianggap absurd.

Sementara itu di Sulawesi, Muhammad Ridwan Alimuddin menebarkan kegemaran membaca di pesisir, daratan, sampai pegunungan. Dia juga sedang membangun museum yang sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan. Pria kelahiran Tinambung pada 23 Desember 1978 itulah yang pada Juni 2015 menahkodai Perahu Pustaka Pattingalloang melayari pulau-pulau kecil dan terpencil di pesisir barat Sulawesi. Sekitar empat ribu buku dibawanya kala itu. Separuh di antaranya merupakan koleksi pribadi. Jenisnya beragam, mulai novel, komik, majalah, sampai buku pelajaran.

Dalam pelayaran menggunakan kapal jenis bago sepanjang 10 meter, diameter 2,5 meter, dan layar setinggi 10 meter tersebut, Ridwan dibantu tiga pelaut Mandar. Ia juga dibantu oleh dua rekannya, As’ad dan Urwa. Mereka menyinggahi Polewali, Majene, Pulau Battoa, Pantai Bahari, Malunda, Sendana, Pamboang, hingga Bala Polman. Tiap kali menepi bersama perahunya, rekan Ridwan, As’ad, akan membeber tikar sederhana. Lalu, kotak buku diturunkan, bacaan pun digelar. Anak-anak pesisir dengan penuh semangat menjamah buku-buku koleksi pustaka itu.”Saya percaya, hanya dengan banyak membaca, kita bisa menaruh harapan pada generasi mendatang,” tegasnya.

Penggagas Perahu Pustaka Pattingalloang tersebut adalah Nirwan Ahmad Arsuka, budayawan kelahiran Barru, Sulawesi Selatan. Pelayaran pertamanya bertepatan dengan dimulainya Makassar International Writers Festival pada 3 Juni 2015. Berkat dorongan Nirwan pula, di tempat lain seorang bapak mengikuti sarannya. Ia bernama Ridwan Sururi. Ia juga membuka perpustakaan keliling. Kali ini bukan dengan perahu, namun kuda. Tiga kali dalam seminggu Ridwan berkeliling ke sejumlah sekolah dan TPQ di lereng gunung Slamet, Purbalingga. Si Luna, kuda berwarna putih, menjadi teman setianya. Kotak kecil berisi sekitar 200 buku diletakkan di punggung si Luna. Awalnya Ridwan berkeliling membawa puluhan buku sumbangan Nirwan. Namun lama-kelamaan semakin banyak donatur yang menyumbangkan buku hingga koleksi kuda pustaka mencapai lebih dari 1000 buku.

Pria 40-an tahun ini memang pantas dijuluki pejuang literasi. Tak sepeser pun ia menerima bayaran atas apa yang dilakukannya. Pria lulusan SMP dan Paket C (setara SMA) itu sejak lama memimpikan agar anak-anak muda di desanya bisa lebih pandai dari dirinya. Dengan banyaknya koleksi buku yang terkumpul ia berharap memiliki sebuah perpustakaan mini. Ia mengimpikan perpustakaan mini tersebut bisa dibangun di depan rumah sehingga para peminat buku bisa lebih tenang saat membaca atau meminjam buku.

Semoga perjuangan Riyan Hamzah, Muhammad Ridwan Alimuddin, dan Ridwan Sururi yang rela bersusah payah agar orang lain bisa membaca, tidaklah sia-sia. Kita juga patut bersyukur, Mentari Pendidikan Anies Baswedan memiliki program penumbuhan budi pekerti. Salah satu kegiatannya berupa kewajiban siswa membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum jam pertama dimulai. Mudah-mudahan kegiatan tersebut mampu memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya melalui buku yang dibaca.

1 komentar:

April Hamsa mengatakan...

Jadi membaca itu bener2 penting ya. Dalam agama juga diperintahkan "Iqro".
Kalau saya terus terang semenjak jadi ibu, mengurus baby, susah sekali membaca, yg ada membeli buku lalu ditumpuk hehehe
Tapi, moga2 saat anak2 udah besar bisa bayar timbunan buku2 itu hehe

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)