Bangsa Yang Sakit

Senin, 07 Desember 2015

Keluarga Nyonya Siami hanyalah keluarga penjahit biasa saja yang tinggal di Surabaya. Tak tampak tanda-tanda kalau keluarganya vokalis anti korupsi layaknya aktivis mahasiswa. Namun, tahun 2011 itu menjadi tahun yang tak terlupakan bagi Siami. Ia tak pernah membayangkan niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya akan menuai petaka. Ia diusir oleh ratusan warga yang notabene tetangganya sendiri setelah melaporkan guru SD yang memaksa anaknya, sebut saja Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional.

Beberapa bulan sebelum pelaksanaan ujian, Al dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Oknum guru itu juga diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan. Al pun bimbang. Anak yang belum dewasa ini mesti menghadapi persoalan pelik. Karena tertekan, saat hari H, Al tetap memberikan contekan namun dengan cerdiknya, ia plesetkan jawabannya.

Siami baru mengetahui kasus itu beberapa hari seusai ujian. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al diplot untuk memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan taktik kotor itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al mengaku. Siami kemudian menemui kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah hanya menyampaikan permohonan maaf. Ini tidak memuaskan Siami. Dia penasaran, apakah skenario contek-mencontek itu memang didesain pihak sekolah atau hanya dilakukan secara pribadi oleh guru kelas 6.

Setelah itu, dia mengadu pada Komite Sekolah, namun tidak mendapat respon memuaskan, sehingga akhirnya dia melaporkan masalah ini ke Dinas Pendidikan serta berbicara kepada media, sehingga kasus itu menjadi perhatian publik. Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami. Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan Siami. Miris, di negeri ini orang yang melaporkan kecurangan, malah hendak diusir dari kampungnya.


Sementara itu, di Tangerang Selatan pada tahun 2015 Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi menggrebek prosesi wisuda yang digelar oleh sebuah yayasan di gedung Universitas Terbuka. Jumlah peserta yang bakal diwisuda adalah 978 yang berasal dari 4 perguruan tinggi, yakni Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ganesha, serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa. Pejabat pada kementerian terkait mengatakan bahwa acara wisuda tersebut tanpa izin dari Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dan tidak melapor ke pangkalan data pendidikan tinggi.

Kementerian mengungkapkan praktek wisuda abal-abal yang digelar oleh Yayasan Aldiana Nusantara telah berlangsung selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu pula Yayasan Aldiana seolah-olah membuka kelas jauh sampai ke luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Setelah ditelusuri ternyata tidak ada pembelajaran. Jadi seperti jual beli ijazah. Untuk mengikuti wisuda, mahasiswa mesti datang ke Jakarta dan membayar Rp 15 juta. Mudah, murah, instan, praktis, tidak repot mengikuti perkuliahan. Tidak usah memikirkan tugas-tugas perkuliahan yang diberikan oleh para dosen. Apalagi mengerjakan skripsi seperti jamaknya para mahasiswa calon peraih gelar sarjana. Mirisnya, praktek seperti ini sudah sering terjadi di banyak tempat.

Masyarakat kita memang sedang sakit keras, demikian yang diprihatinkan seorang Tere Liye, novelis terkenal yang buku-bukunya sering laris terjual. Menurutnya, obatnya adalah masa depan. “Ketahuilah, masa depan itu akan semakin keras bagi siapapun. Sangat keras. Barangsiapa yang masih saja berpikir menang lewat menyuap, jalan pintas, nyontek, maka hadapilah masa depanmu. Kita asyik berebut menjadi PNS dengan menyuap, sementara anak-anak terbaik justru melanglang buana ke luar negeri menjadi inventor, kreator, inovator dunia. Orang-orang kalah, terlahir dari keluarga kalah, dan akan berakhir di keluarga kalah. Tapi para pemenang, mereka boleh jadi terlahir dari keluarga pecundang, tapi dengan kerja keras, kejujuran, integritas, mereka akan berakhir di keluarga pemenang”, tuturnya.

Kasus contek di Surabaya dan wisuda abal-abal di Tangerang di atas sekelumit menunjukkan bahwa bangsa kita memang sedang sakit. Sangat sakit mungkin. Tapi yang mengkhawatirkan apabila kita tidak menyadari bahwa kita sedang sakit. Lebih menyedihkan lagi bila kita merasa bahwa kita tidak sedang sakit, yang dalam dunia kedokteran disebut denial. Masa denial adalah masa penyangkalan yang biasanya muncul di awal ketika seseorang didiagnosis terkena penyakit. Menjalani masa mengakui kondisi sakit memang kadang tidak mudah. Orang yang didiagnosis terkena penyakit jiwa pada umumnya menolak disebut sakit jiwa. Begitu juga penderita sakit kanker. Hal ini wajar dan bisa menimpa siapa saja. Namun seyogyanya masa denial tidak perlu lama-lama agar proses kesembuhan segera terwujud.

Dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia, Anis Matta menuliskan tentang Amerika yang mengalami depresi ekonomi terbesar dalam sejarah dari tahun 1929 hingga 1937. Bangsa Amerika sedang sakit, bahkan mungkin lagi sekarat hampir menemui ajalnya. Selang lima tahun setelah itu, tepatnya tahun 1942, mereka memasuki Perang Dunia Kedua. Dan, ajaib, mereka menang. Selama masa itu, mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang lumpuh, dan satu-satunya presiden yang pernah terpilih sebanyak empat kali, FD. Rosevelt. Tapi krisis itu telah membesarkan Bangsa Amerika. Selama masa depresi mereka menemukan teori-teori makro ekonomi yang sekarang banyak dipelajari di bangku kuliah dan menjadi pegangan perekonomian jagat raya. Mereka juga memenangkan Perang Dunia Kedua dan berkuasa penuh di muka bumi hingga saat ini.

Menurut Anis, itulah yang terjadi ketika kritis dikelola oleh tangan-tangan dingin para pahlawan. Mereka mengubah tantangan menjadi peluang, kelemahan menjadi kekuatan, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah. Lorong kecil yang menyalurkan udara pada ruang kehidupan sebuah bangsa yang tertutup oleh krisis adalah harapan. Inilah inti kehidupan ketika tak ada lagi kehidupan. Inilah benteng pertahanan terakhir bangsa itu. Tapi benteng itu dibangun dan diciptakan para pahlawan. Mungkin mereka tidak membawa janji pasti tentang jalan keluar yang instan dan menyelesaikan masalah. Tapi mereka membangun inti kehidupan, mereka membangunkan daya hidup dan kekuatan yang tertidur di sana, di atas alas ketakutan dan ketidakberdayaan. Itulah yang dilakukan Rosevell. Bangsa yang sedang mengalami krisis, kata Rosevelt, hanya membutuhkan satu hal: motivasi. Sebab, bangsa itu sendiri, pada dasamya, mengetahui jalan keluar yang mereka cari.

Saya jadi teringat dengan cuitan mantan aktivis mahasiswa yang kritis di jaman Orde Baru dan tetap kritis di jaman presiden SBY, Fadjroel Rachman, “Januari 2014, utang pemerintah Indonesia Rp2.465,45 triliun. Ngotot beli pesawat, mercy, bagi2 uang utk SBY-Boediono. Kita ini bangsa apa?” Tentu saja saya akan mengatakan bahwa kita ini bangsa sakit. Masih banyak orang yang kesusahan, bencana di mana-mana, pengangguran bermunculan, utang bertambah besar, pemerintah ngotot mau membel pesawat. Itu di tahun 2014. Kini di tahun 2015, dengan utang yang bertambah besar, dengan pemerintah yang sudah berganti, dengan presiden yang didukung oleh Fadjroel Rachman sendiri, pemerintah ngotot beli helikopter. Kita ini bangsa apa?

Bukannya tidak menyadari, ketika kampanye pilpres, tuan presiden meneriakkan jargon revolusi mental untuk mengatasi sakitnya bangsa ini. Ketika terpilih, tuan presiden pun memasukkan revolusi mental menjadi salah satu acuan kerjanya. Revolusi mental itu, sependek pengetahuan saya, mewujud dalam bentuk penempelan spanduk berisi Nawa Cita pada dinding segenab perkantoran pemerintah. Juga program bela negara yang isinya seperti tentara sedang berlatih, minimal baris-berbaris, yang kata Menteri Pertahanan wajib diikuti setiap warga negara dari usia TK sampai usia 50 tahun. Kalau tak mau ikut, silakan meninggalkan bumi Indonesia katanya.

Revolusi mental itu dianggarkan dalam rupiah yang jumlahnya fantastis. Revolusi mental itu juga mewujud dalam website yang sempat membuat heboh. Revolusi mental itu juga berisi perintah menteri dalam negeri agar setiap Senin para pelajar, guru, dan aparat pamong praja berpanas ria berjemur sinar mentari mengadakan upacara bendera. Revolusi mental itu juga berisi instruksi agar para pegawai pemerintah memakai baju putih berlengan panjang seperti yang sering dikenakan tuan presiden.

Menurut saya, revolusi mental itu cukuplah dengan perjuangan mewujudkan kata-kata. Sederhana. Ringan. Seringan mengucapkan janji kampanye. Namun, tampaknya berat dilaksanakan. Karena kita memang sedang sakit. Sekian. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)