Keteladanan Pemimpin (Bagian Kedua)

Sabtu, 14 Oktober 2023

Di negeri ini pernah ada cerita seorang ratu yang memimpin kerajaan dengan adil sehingga rakyatnya makmur. Integrasinya menjadi contoh kebaikan. Ratu Shima namanya, seorang perempuan yang menggantikan suaminya yang meninggal untuk memimpin Kerajaan Kalingga, pada tahun 675 masehi. Kalingga adalah suatu wilayah yang terletak di Jawa Tengah. Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Kalingga sehingga membuat raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum, sekaligus penasaran. Rakyat Kalingga terkenal jujur. Barang yang tergeletak di jalan, tak ada yang berani mengambil karena bukan miliknya. 


Tjahjono Widarmanto, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Kalimas, dalam opininya di Jawa Pos, 2 Juni 2014 berjudul “Teks-teks yang Merindu Pemimpin” menulis bahwa di Jawa dan Bali banyak teks yang merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin Gajah Mada dengan bertumpu pada sosok Gajah Mada, mahapatih Majapahit termasyhur, digambarkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era kapujanggan, citra dan gagasan pemimpin menjadi tema sentral dalam teks-teks Jawa. Di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, Serat Wulangreh (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV), Serat Laksita Raja (Mangkunegara VII), dan sebagainya. Bahkan, sebelumnya, di peradaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan citra pemimpin.


Teks Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan. Taj us-Salatin (Mahkota Raja-raja), sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630), merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Dalam teks tersebut diuraikan berbagai sifat pemimpin yang baik, yang sanggup membedakan yang baik dan yang buruk, berilmu, mampu memilih bawahan yang benar, berbudi pekerti baik, berani, tidak berfoya-foya, dan lurus.


Di belahan dunia yang lain, di Eropa, pada tahun 1513 muncul sebuah buku berjudul “II Principe” yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli. Buku ini menjadi sebuah rujukan yang realistis bagi seorang penguasa dan pemimpin. Buku ini berisikan semacam nasihat bagi seorang pemimpin. Untuk melanggengkan kekuasaan, pemimpin harus berani dan tega melibas lawan-lawan politiknya, melipat saingan-saingan politiknya, bahkan harus berani menjadi seorang tiran. Untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus dapat melakukan cara apa pun untuk meraih kekuasaan. Bagi Machiavelli, seorang pemimpin harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia dan sifat binatang. Teori kepemimpinan ala Machiavelli tidak patut untuk ditiru.


Kini, di sini, di negeri yang berlandaskan Pancasila, pendapat dan teori modern tentang kepemimpinan banyak mengadopsi dari barat. Diajarkan kepada mahasiswa di kampus maupun abdi negara saat pendidikan dan pelatihan. Sejatinya guru bangsa kita dan bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara telah merumuskan falsafah kepemimpinan dalam sebaris kalimat penuh makna. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Ing ngarsa sung tuladha artinya di depan pemimpin harus memberikan contoh yang baik kepada anak buah. Ing madya mangun karsa artinya di tengah-tengah pemimpin mesti mampu membangun prakarsa atau kesadaran anak buah untuk berinovasi. Tut wuri handayani artinya di belakang pemimpin wajib mendorong dan memberikan arahan kepada anak buah untuk maju.


Kita sebenarnya memiliki kearifan lokal tentang falsafah kepemimpinan. Salah satunya berupa paribasan (peribahasa dalam bahasa Jawa). Misalnya ”Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi.” Terjemahan bebasnya adalah,”Boleh cepat tapi jangan mendahului, boleh pintar tapi jangan menggurui (sok pintar), boleh bertanya tapi jangan mengganggu.” Iqbal Nurul Azhar dari Universitas Trunojoyo Madura dalam makalah “Falsafah Kepemimpinan Bangsa dalam Paribasan Jawa” pada Kongres Bahasa Jawa V yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 2011 menjelaskan maksud peribahasa tersebut. 


Bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh sok apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Kesimpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus dipahami.


Akirul kalam, bila ada pepatah yang mengatakan bahwa pemimpin itu menderita, itu bermakna menjadi pemimpin harus sanggup berkorban. Menjadi pemimpin itu amanah bukan hadiah. Menjadi pemimpin itu harus mampu menjadi teladan. Contoh keteladanan salah satunya bisa kita lihat dari para pahlawan. Selain itu kearifan lokal berupa budaya kita dalam bentuk falsafah perlu dilestarikan dan dilaksanakan. Menjadi pemimpin harus berjuang mewujudkan janji yang terucapkan. Sebagaimana seruan Sastrawan WS Rendra,”Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)