Kapasitas Birokrasi, Antara Profesionalitas dan Moralitas

Minggu, 28 Oktober 2012


Permasalahan birokrasi merupakan permasalahan yang tak kunjung usai di negeri ini. Berbagai catatan buruk menghiasi pemberitaan media, diskusi publik, jurnal penelitian, maupun percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Aparat pemerintah sebagai pelayan masyarakat dituding sebagai biang keladi. Hal ini mungkin saja terjadi karena mulai dari rekrutmen, manajemen, dan promosi jabatan kurang memperhitungkan profesionalitas.

Regulasi, lepas dari segala kelemahannya, sebenarnya telah menyediakan perangkatnya, namun realita di lapangan jauh dari idealita. Penerimaan pegawai negeri misalnya, masih saja ditemui permainan kolutif dan manipulatif. Selain itu, pengangkatan dalam sebuah jabatan tidak jarang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi, orang menjadi pegawai atau pejabat dalam birokrasi bukan karena kualitasnya, tapi lebih karena mampu membayar mahal untuk menembusnya. Urusan kemampuan menjadi urusan nomor terakhir. Hal itu tentu saja menimbulkan dampak negatif seperti lemahnya pelayanan kepada publik.

Beberapa kelemahan pelayanan publik di Indonesia antara lain kurang responsif, kurang informatif, dan kurang koordinatif. Kekurangan responsif bisa saja terjadi di unsur pelayanan langsung kepada masyarakat hingga ke level penanggung jawab instansi. Sementara itu antar intansi juga kurang koordinasi sehingga acapkali terjadi ketumpangtindihan bahkan pertentangan kebijakan. Masyarakat juga kurang mendapatkan informasi tentang pelayanan publik. Ada yang terlambat bahkan ada yang tidak diinformasikan sama sekali.

Peningkatan kualitas pegawai negeri bukannya tidak ada sama sekali. Sekali lagi regulasi telah mengaturnya, misalnya dengan kewajiban mengikuti pendidikan dan latihan pra jabatan bagi Calon PNS sebagai salah satu persyaratan pengangkatan menjadi PNS, kewajiban mengikuti diklat kepemimpinan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural, dan berbagai diklat fungsional sesuai dengan jabatan masing-masing. Di beberapa instansi malah tersedia anggaran untuk tugas belajar mulai dari jenjang diploma hingga pasca sarjana kepada para pegawainya. Tujuannya semata untuk meningkatkan profesionalitas.

Yang menggembirakan di tengah banyaknya sorotan miring terhadap pelayanan birokrasi, beberapa pemerintah daerah memberikan teladan kepada rakyatnya. Bahkan banyak instansi dan pemda lain yang datang berkunjung untuk studi banding dan memperhatikan model pelayanan yang berhasil untuk kemudian dicoba diaplikasikan di instansi masing-masing. Kabupaten Sragen di Jawa Tengah dan Kabupaten Jembrana di Bali menjadi contoh model itu. Reformasi birokrasi di kedua daerah itu dianggap paling berhasil. Ini tak lepas dari peran penting pemimpin kedua daerah tersebut yang disokong oleh SDM (pegawai) yang berkualitas. Membaiknya pelayanan publik berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini terbukti dengan terpilihnya mereka pada pemilu kepala daerah untuk kedua kalinya.

Namun ironinya, kedua pemimpin yang dianggap membawa reformasi birokrasi di daerah masing-masing tersebut tersandung masalah hukum. Bupati Sragen dan Bupati Jembrana menjadi terpidana kasus korupsi yang dilakukan di era kepemimpinan mereka. Padahal kita paham bahwa korupsi merupakan masalah akut di dalam birokrasi selain kurang profesionalnya sumber aparatur.

Kita harus peduli dengan kualitas pelaksana birokrasi sekaligus prihatin dengan moralitasnya. Maka, penguatan kapasitas aparatur birokrasi tidak saja dimaknai sebagai peningkatan profesionalitas semata namun perlu juga diimbagi dengan etika birokrasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)