Gratifi Perempuan

Rabu, 12 April 2017

Karla Jacinto, baru berusia 12 tahun saat dia ditipu untuk menjadi pekerja prostitusi cilik di Meksiko. Dia mengaku telah diperkosa oleh lelaki hidung belang sebanyak 43.200 kali ketika empat tahun terjerembab di lembah hitam. Itu hitungan kasar Karla saat diwawancara CNN. Seingat dia, setiap hari ada sekitar 30 lelaki yang terpaksa harus dia layani, tujuh hari sepekan, selama empat tahun, maka keluarlah angka 43.200 kali.

Karla diambil dari Zacatelco, sebuah permukiman kecil di Tenancingo. Dia mengatakan, keluarganya bermasalah. Ibunya tidak memedulikannya, dan dia telah menjadi korban pelecehan seksual sejak usia lima tahun oleh kerabatnya sendiri. Saat dia berusia 12 tahun, dia termakan bujuk rayu seorang pria yang 10 tahun lebih dua dari dirinya. Saat itu, kata dia, pria itu mengiminginya dengan mobil besar dan kehidupan yang lebih baik.

Namun kebahagiaan itu ternyata semu. Karla dikirim ke Guadalajara, kota terbesar di Meksiko, untuk menjadi pelacur cilik bersama korban lainnya. Dia mulai bekerja pukul 10 pagi, selesai tengah malam. Seminggu dia berada di kota itu sebelum dipindahkan ke kota-kota lainnya di Meksiko. Karla berpindah ke beberapa kota. Dia ditempatkan di rumah-rumah bordil, motel pinggir jalan, dan menjadi pekerja seks panggilan yang biasa mangkal di trotoar.

Suatu hari, polisi pernah menggerebek hotel tempatnya bekerja. Karla berpikir ini adalah hari baik karena dia akan diselamatkan oleh petugas. Tapi pikiran itu salah. Polisi malah mengambil video anak-anak itu dengan posisi cabul, mengancam akan menyebarkannya ke keluarga mereka jika Karla dan kawan-kawannya tidak menurut. Padahal saat itu Karla baru berusia 13 tahun. Di usia 15 tahun, Karla hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Mucikarinya menjadikan bayi ini sebagai ancaman. Jika Karla berani berulah atau kabur, bayi itu akan dibunuh. Karla tidak bisa menemui bayinya hingga berusia satu tahun.


Kisah Karla menjadi cerminan buramnya penegakan hukum di Meksiko, terutama terkait perdagangan manusia dan pelacuran anak di bawah umur. Puluhan ribu wanita Meksiko diperjualbelikan hingga ke Amerika Serikat, salah satunya di kota Atlanta dan New York. Jika bicara soal perdagangan manusia Meksiko, ada sebuah kota yang menjadi perhatian utama, kota kelahiran Karla, yaitu Tenancingo. Susan Coppedge, Duta Kementerian Luar Negeri AS untuk Pemberantasan Perdagangan Manusia mengatakan, perdagangan manusia, mucikari, dan prostitusi merupakan industri besar di kota berpenduduk 13 ribu orang itu.

Konon, di dunia terdapat lebih dari 40 juta orang yang hidup dari dunia prostitusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prostitusi diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Hal itu berarti organ seksual seseorang diserahkan untuk dinikmati kepada orang lain yang sanggup memberikan uang atau wujud materi berharga lain. Sepertinya hampir setiap negara memandang prostitusi atau pelacuran sebagai hal yang dilarang. Namun ada pula negara yang melegalkannya, misalnya Belanda dan Selandia Baru. Di Amerika Serikat, meskipun prostitusi secara umum ilegal, di beberapa kawasan di negara bagian Nevada dilegalkan. Orang bahkan bisa melamar kerja di sektor prostitusi secara resmi.

Di Indonesia, prostitusi dianggap sebagai kejahatan moral. Tetapi ternyata banyak warganya yang mengeluarkan uang untuk menikmati prostitusi. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Havocsope, sebuah lembaga peneliti yang melakukan riset aktivitas pasar gelap. Havoscope menghimpun data 12 negara teratas yang warganya paling banyak berbelanja prostitusi dalam hitungan per tahun. Indonesia masuk satu di antaranya dengan pengeluaran di bidang esek-esek sebesar 2,25 miliar dolar AS atau sekitar Rp30 triliun per tahun. Jumlah itu hampir setengah anggaran pemerintah untuk revolusi mental dalam setahun.

Sudah bukan rahasia lagi bila dunia esek-esek merambah pula di pusaran politisi maupun para pejabat. Misalnya ketika ada pejabat yang tertangkap oleh aparat penegak hukum dalam kasus penyuapan. Selama ini yang jamak dijadikan bahan penyuapan adalah uang atau barang berharga lainnya. Namun, yang mengejutkan ternyata ada pula penyuapan yang berwujud perempuan muda nan cantik. Tentu saja perempuan tersebut dijadikan teman tidur sang pejabat tadi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah gratifikasi seks.

Profesor Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi, pernah didatangi seorang pengacara. ”Bapak mengatakan bahwa saling sandera antar politisi, pejabat, dan penegak hukum itu dilatarbelakangi oleh korupsi jabatan dan penyuapan dalam bentuk uang atau promosi jabatan. Padahal ada juga yang tak kalah canggih dari itu, yaitu penyuapan dalam bentuk layanan seks,” kata pengacara itu.

Berceritalah sang pengacara bahwa dalam banyak pengurusan proyek dan kasus hukum di negeri ini, tak jarang orang menggunakan jasa perempuan selingkuhan pejabat atau perempuan nakal yang pernah dinakali oleh pejabat. Perempuan nakal itu, dengan imbalan tertentu, diminta menghubungi pejabat yang pernah mengencaninya atau pernah menjadikannya sebagai istri gelap agar menyelesaikan masalah dan meloloskan kasus sesuai dengan kehendak sang peminat proyek atau sang pengacara.

”Bayarnya tak mahal-mahal juga, paling mahal hanya Rp 500 juta, urusan beres dan kita mendapat untung lebih banyak,” katanya sambil tertawa cekakakan. Cerita teknis operasionalnya lebih seru.”Perempuan nakal” itu cukup menelepon sang pejabat atau aparat agar suatu proyek diloloskan ke pihak tertentu atau agar suatu kasus hukum ditutup, diambangkan, dan dibelokkan. Ada yang menelepon dengan suara genit merayu-rayu dicampuri rangsangan dengan cerita porno, ada yang mengancam akan membongkar perselingkuhannya kepada publik, ada juga yang mengancam akan membongkar kepada istri aslinya.

Menghadapi itu biasanya pejabat atau oknum aparat yang bersangkutan tak berkutik. Ada yang langsung menyanggupi meloloskan proyek untuk seseorang sekaligus menjegal orang-orang lain. Ada yang langsung memerintahkan anak buahnya agar membebaskan seseorang dari tahanan atau membelokkan kasus dan mengambangkannya.

Adakalanya si perempuan nakal itu tidak langsung memerintah pejabat yang bertanggung jawab langsung untuk melakukan sesuatu, melainkan menelepon atasan yang bersangkutan agar memerintahkan petugas langsung di lapangan untuk melakukannya. Atasan itulah yang sebenarnya menyelingkuhi perempuan nakal tadi. Misalnya, seorang yang sangat penting di sebuah departemen menelepon bupati atau seorang berbintang di institusi penegak hukum memerintahkan petugas lapangan agar melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak perempuan nakal.

Memalukan sekaligus memilukan, tapi itulah yang terjadi di negara kita. Cerita sang pengacara tersebut mendapatkan pembuktian saat seorang hakim tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus penyuapan. Dalam persidangan, tak hanya barang bukti suap uang ratusan juta rupiah dan ribuan dolar AS yang menjadi barang bukti. Ternyata pengacara tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi mengatakan kliennya kerap diminta menyediakan jasa layanan seksual oleh hakim itu. Konon, jatah perempuan itu dinikmati sang pengadil tiap Kamis atau Jumat.

Kenapa para pejabat yang sudah bergaji besar dan bergelimang fasilitas masih menghinakan diri dengan menerima penyuapan, termasuk layanan seks? Mengapa para aparat yang diberi mandat kekuasaaan mengkhianati amanat?  Menilik Lord Acton, kekuasaan itu memang cenderung korup.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)