Anak-anak Korban Perang

Rabu, 19 April 2017

Thomas Buergenthal belum genap berusia enam tahun ketika dipaksa masuk ke permukiman Yahudi di Polandia bersama kedua orang tuanya. Kakek dan neneknya, bersama mereka yang lanjut usia dan menderita sakit, telah ditembak mati tentara Jerman. Empat tahun berselang, Thomas dan orang tuanya dipindah ke Auschwitz.  “Usiaku sepuluh tahun di pagi bermatahari itu, di hari-hari pertama bulan Agustus 1944, ketika kereta kami semakin mendekati daerah pinggiran kamp konsentrasi di Auschwitz”, tuturnya dalam buku “A Lucky Child”.

“A Lucky Child” adalah memoar yang ditulis oleh Thomas. Ia menceritakan masa anak-anaknya saat berlangsung Perang Dunia Kedua. Ia merasakan sendiri pedih dan perihnya peperangan yang sangat kejam. Mundek Buergenthal, ayah Thomas, pindah dari Jerman ke Slovakia untuk membuka sebuah hotel kecil di Lubochna bersama rekan kerjanya. Sementara ibu Thomas adalah Gerda Silbergleit. Thomas memanggilnya Mutti. Pada akhir 1938 atau awal 1939 hotel milik ayahnya diambil alih secara paksa oleh Hlinka Guard, kelompok fasis Slovakia yang didukung oleh Nazi Jerman. Keluarga kecil ini pun berpindah-pindah tempat, bahkan negara, sampai akhirnya tertawan oleh tentara Jerman. 

Awalnya Thomas dipisahkan dari ibunya, dan akhirnya juga ayahnya. Setiap tahanan harus menjalani kerja paksa. Selain itu, para tahanan di Auschwitz menghadapi terornya sendiri setiap hari, mulai dari siksaan dari Kapo (sesama tahanan Yahudi yang berpihak pada Gestapo, polisi khusus Jerman), penghitungan harian yang dibarengi pemukulan dan hukuman gantung, hingga seleksi maut Dokter Mengele. Mereka yang tidak lolos seleksi akan dibawa ke kamar gas dan krematorium untuk dihabisi.

Thomas dibawa ke kamp rumah sakit Krankenlager. Thomas selalu terbangun dari tidurnya karena teriakan minta tolong dari para tahanan yang dibawa ke krematorium. Ia juga menjadi takut tidur karena selalu bermimpi dirinya dipukuli atau dihukum mati. Thomas lalu mengatasinya dengan meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi hanya mimpi buruk. Suatu ketika seluruh penghuni kamp dibawa untuk dibantai, tetapi Thomas selamat dari maut berkat pertolongan seorang dokter muda Polandia. Hingga akhir perang dan dibebaskan, ia tak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Sedangkan ibunya masih hidup. Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa lagi.


Thomas Buergenthal, meskipun sempat mengalami penderitaan luar biasa, nasibnya lebih beruntung, setidaknya jika dibandingkan dengan Aylan Kurdi. Keduanya sama-sama bocah, saat perang menghancurkan segalanya. Aylan Kurdi, hanyalah lelaki kecil berasal dari Suriah, negeri yang porak peranda dihantam perang. Usianya masih begitu muda. Wajah lucunya membikin gemas orang yang melihatnya. Namun, masa kanak-kanaknya mesti terhenti. Masa depannya terenggut oleh perang dan konflik yang tak berkesudahan. Ia meninggalkan dunia untuk selamanya, dalam usia yang amat belia, tiga tahun.

Pagi itu di tahun 2015. Bulan September baru menjalani hari keduanya saat polisi menemukan Aylan Kurdi dalam kondisi tak bernyawa. Tubuh kakunya terbaring telungkup di tepi pantai. Wajahnya menyentuh pasir basah. Sepasang sepatu masih terpasang di kaki mungilnya. Kaos merah dan celana biru masih melekat di badannya. Jasadnya tersapu ombak hingga berlabuh ke pesisir semenanjung Bodrum di Turki. Ia tak sendiri. Tak jauh dari tempatnya ditemukan, tergeletak jenazah sang kakak, Galip, yang juga terbilang masih bocah. Lima tahun usianya. Kedua bocah ini, bersama ayah bundanya menaiki perahu sarat penumpang. Mereka adalah para pengungsi yang ingin menghindar dari kejamnya peperangan.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Di tengah perjalanan, bahtera yang mereka tumpangi menuju Pulau Kos, Yunani terbalik akibat hantaman ombak tinggi. Para penumpang tak kuasa menghadapi ganasnya lautan, pun kedua bocah malang tersebut. Kapten kapal yang panik memilih terjuh ke laut, menyelamatkan diri. Kendali kapal diambil alih oleh Abdullah, ayah Aylan Kurdi. Abdullah sempat memegangi tangan istrinya, Rehanna, namun anak-anak terlepas darinya. Hari sudah gelap. Semua orang berteriak.

Dari 23 pengungsi yang ada dalam perahu, hanya 9 yang selamat. Abdullah harus kehilangan istri dan anak-anaknya. Harapannya untuk mencari peluang dan hidup di tanah orang bersama keluarga harus sirna. Mereka sempat mengungsi ke Turki setahun sebelumnya. Namun kemudian memilih pergi menuju Kanada, tempat Teema Kurdi, saudara perempuan Abdullah bermukim. Teema bersama keluarganya telah berusaha mensponsori visa bagi Abdullah, Rehanna, dan dua anaknya agar mereka dapat memasuki Kanada.

Foto jasad Aylan Kurdi yang tertelungkup di tepi pantai menjadi perhatian. Menerbitkan belas kasih sekaligus murka penduduk bumi. Abdullah sangat terpukul atas kejadian ini. "Anak-anak saya sangat luar bisa. Setiap hari, mereka membangunkan saya untuk bermain bersama. Adakah yang lebih indah dari ini? Sekarang, semuanya hilang," katanya. Merujuk lembaga perlindungan anak sedunia, Unicef, saat ini tidak kurang dari 5 juta anak-anak terperangkap dalam medan perang di Suriah.

Perang selalu mendatangkan penderitaan, tak peduli anak-anak. Di tahun 2014 Israel melancarkan operasi militer yang diberi nama sandi Operation Protective Edge di Jalur Gaza, Palestina. Akibatnya hampir 2.000 orang Palestina yang sebagian besar penduduk sipil tewas. 448 orang di antaranya adalah anak-anak. Sebelumnya, ketika pecah Perang Gaza akhir 2008 hingga awal 2009, yang oleh Israel disebut Operation Cast Lead, 1.400 orang Palestina tewas, 345 orang adalah anak-anak. Saat berkobar Intifada Kedua antara tahun 2000 hingga 2007, 854 anak-anak Palestina meregang nyawa.

Selain rentan terhadap serangan senjata, anak-anak juga terancam dengan kejahatan seksual. Laporan kelompok Save The Children, 10 April 2013, mengungkapkan fakta bahwa lebih dari setengah korban kekerasan seksual di daerah konflik adalah anak-anak. Di Liberia, misalnya, 80 persen korban kekerasan seksual adalah anak-anak di bawah usia 17 tahun. Di Sierra Leone dikabarkan seperlima anak-anak perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual berusia di bawah 11 tahun.

Masa kanak-kanak mestinya dinikmati dengan keceriaan. Mereka sedang tumbuh berkembang. Mereka haus akan kasih sayang. Anak-anak seharusnya hidup dalam keluarga yang bahagia serta lingkungan yang aman. Jaman yang semakin modern dan diklaim semakin beradab, menunjukkan sisi sebaliknya dengan wajah perang yang bengis dan biadab. Seusai lepas dari ancaman nyawa, bahaya lain senatiasa mengancam. Mengalami luka dan trauma. Mengalami kelaparan. Tidak bisa melanjutkan pendidikan. Terpisah dari orang tua dan kerabat. Perang adalah mimpi buruk yang menakutkan.

Perang memang telah menjadi bagian sejarah umat manusia. Dari dulu sampai sekarang, di mana-mana, sejarah dunia tak pernah sepi dengan tradisi perang. Perang adalah kerusakan. Perang selalu dan pasti membuahkan pembunuhan. Bagi orang tua, anak, saudara, keluarga, atau sahabatnya yang mati, sangat mungkin melahirkan dendam berkepanjangan. Rasa benci dan ingin membalas pun muncul. Sekali lagi, perang mendatangkan penderitaan, termasuk nyawa anak-anak yang bahkan tidak terlibat langsung di dalamnya.

Sekian tahun lalu, musisi Iwan Fals menggambarkan derita perang dalam lagunya yang bertajuk Puing, “… Mayat-mayat bergeletakan, tak terkubur dengan layak. Dan burung burung bangkai menatap liar. Dan burung burung bangkai berdansa senang. Banyak jatuh korban dari mereka, yang tak mengerti apa-apa. Di ujung sana banyak orang kelaparan. Di ujung lainnya wabah busung menyerang. Di sudut sana banyak orang kehilangan. Di sudut lainnya bayi bertanya bimbang: Mama, kapan ayah pulang? Mama, sebab apa perang?”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)