Catatan Kelam Amerika

Rabu, 26 April 2017

Suatu hari yang mencekam. Para pengendara motor dihadang kerumunan massa, tak ayal tubuhnya pun dipukuli. Di bagian lain, mobil-mobil dibalik dan dibakar. Saat itu, kalender menunjuk akhir bulan. Tanggal 29 April 1992 tepatnya. Kota Los Angeles, Amerika Serikat, membara. Gubernur negara bagian California, Pete Wilson, menyatakan status keadaan darurat di wilayahnya. Dalam pernyataan singkat di televisi, Presiden AS meminta perusakan dan pembunuhan di jalanan kota harus dihentikan.

Cerita bermula pada setahun sebelumnya. Adalah seorang pemuda berkulit hitam, Rodney King. Kendaraannya dihentikan oleh polisi. Entah musabab apa, Rodney King dipukuli dan ditendang oleh para polisi. Fatalnya, ada kameramen amatir yang merekam adegan tadi. Rekaman berdurasi 81 detik ini pun kemudian jatuh di tangan jaringan televisi. Bisa ditebak, jutaan pasang mata menontonnya. Para polisi, yang berkulit putih itu, dicap melakukan kebrutalan rasis.

Sidang digelar. Empat polisi berdalih membela diri. Mereka mengklaim King agresif dan menolak penangkapan. Dan, inilah yang membuat warga kulit hitam mendidih: keputusan juri pengadilan membebaskan para polisi. Massa yang marah berteriak, "Bersalah! Bersalah!" dan mencoba menyerang kantor pusat kepolisian di kawasan bisnis, sebelum membakar pertokoan dan kendaraan. Sedikitnya lima orang ditembak mati. Kemarahan warga kulit hitam diakibatkan ketidakadilan yang sering mereka alami. Mereka mengalami diskriminasi. Peristiwa King hanyalah pemantik.

Perlakuan diskriminasi pernah dialami oleh Jesse Owens, pahlawan atletik Amerika Serikat dalam Olimpiade Berlin tahun 1936. Empat medali emas diraihnya, masing-masing dalam ajang lari 100 meter, lari 200 meter, lari estafet 4x100 meter, dan lompat jauh. Raihan itu seakan menampar tuan rumah, Jerman, yang mengagungkan kedigdayaan ras Arya. Apalagi Owens adalah atlet berkulit hitam. Di hadapan Adolf Hitler, dengan kekuatannya, ia sanggup berdiri setara bahkan mengalahkan ras Arya dan kulit putih. Konon, Hitler menolak menjabat tangannya.


Kembali ke Amerika, Owens tetap mengalami diskriminasi sebagaimana warga kulit hitam waktu itu. Saat di dalam bis, ia masih dilarang duduk di bagian depan. Tempat bagi kulit hitam adalah bagian belakang. Para sebuah pesta yang dirancang untuk merayakan kemenangannya, Owens diharuskan menggunakan lift yang berbeda dengan lift tamu, yang hanya digunakan bagi orang berkulit putih.

“Saya tidak dapat hidup di tempat yang saya inginkan. Di mana perbedaannya?" kecamnya. Presiden Amerika juga tidak pernah memberi selamat ataupun mengundang Owens ke gedung putih. Akhirnya, Owens cenderung bersikap skeptis terhadap perjuangan kaum kulit hitam untuk mendapatkan tempat di masyarakat Amerika.

Perlakuan diskriminatif terhadap warga kulit hitam di Amerika bisa pula dilihat dalam film “42”. Film ini diadaptasi dari kisah nyata Jackie Robinson, seorang pemain bisbol legendaris. Kemampuan Robinson menarik perhatian Branch Rickey yang merupakan Direktur Eksekutif klub bisbol Brooklyn Dodgers untuk merekrutnya. Tapi, kendalanya adalah kulit Robinson yang hitam. Selama ini, warga kulit hitam Amerika dilarang tampil bersama kulit putih. Seluruh pemain bisbol kulit hitam hanya diperkenankan bermain di liga yang bernama Negro Leagues. Tidak ada regulasi tertulis, hanya isu rasial yang menjadi penyebabnya.

Saat itu sedang musim panas tahun 1945. Amerika baru saja menyelesaikan perang bersama para sekutunya di Eropa dan Asia. Robinson, masih berusia 26 tahun, akhirnya menerima tawaran Rickey, meskipun benar-benar sadar konsekuensi apa yang bakal dialaminya. "Saya ingin seorang pemain yang punya cukup nyali untuk tidak melawan (hinaan)," kata Rickey kepada Robinson. “Berikan kepadaku seragam. Berikan kepadaku nomor. Dan aku akan memberikan kepadamu nyali itu,” jawab Robinson.

Rickey akhirnya berhasil mengontrak Robinson pada 25 Oktober 1945. Robinson  mendapat nomor punggung 42. Keputusan Rickey membuat geger masyarakat AS. Belum pernah ada sebelumnya pemain kulit hitam yang bermain di Liga Profesional Bisbol AS (MLB). Robinson pemain kulit hitam pertama di liga itu. Musim pertama bersama Dodgers dilalui Robinson dengan susah payah. Kehadiran Robinson di lapangan bisbol justru ditolak rekan-rekan satu timnya. Bahkan, para pemain Dodgers membuat petisi penolakan Robinson dan memberikannya kepada pelatih.

Tantangan berikutnya adalah dari tim-tim lawan Dodgers. Dodgers sering mendapatkan penolakan bermain di laga tandang. Banyak tim MLB ketika itu yang menolak melawan Dodgers jika Robinson datang ke kota mereka dan bermain. Bahkan hotel tempat menginap para pemain dan kru tim Dodgers menolak menyediakan kamar jika Robinson ada bersama mereka. Saat di lapangan, teror tak kalah kejamnya. Para penonton memaki dan pemain lawan sengaja mencelakai Robinson.

Hingga di tahun 1960-an, warga kulit hitam dan minoritas non kulit putih masih mengalami diskriminasi rasial. Di kantor-kantor, termasuk instansi pemerintah, ruang makan dan toilet dibedakan, padahal air kencing yang dikeluarkan pun sama warnanya. Akses perpustakaan dan pendidikan diberikan terbatas, tidak sebebas seperti halnya kulit putih. Namun berangsur-angsur kondisi di Amerika berubah. Diskriminasi rasial semakin menghilang. Hanya kadang-kadang masih muncul gejolak di sana-sini seperti kasus King di Los Angeles.

Sejatinya, Amerika adalah negara imigran. Siapa pun tahu dan bukan menjadi sebuah rahasia. Mereka yang berkulit putih dan sekarang mendiami tanah Amerika, pada mulanya berasal dari kaum pendatang. Kakek moyang mereka pada umumnya melarikan diri dari daratan Eropa karena kesulitan yang mereka hadapi. Kedatangan para imigran ini menjadikan penduduk asli terusir dari tempat kelahirannya sendiri. Suku Indian, misalnya, jutaan jiwa manusianya dibunuh dan jutaan hektar tanahnya dirampas.

Menurut Shamsi Ali, Imam Islamic Center New York, kebutaan sejarah atau pembutaan sejarah Amerika memang kuat. Warga Amerika kulit putih yang sejatinya adalah pendatang juga atau keturunan imigran Eropa tiba-tiba terbalik dan seolah mereka adalah warga Amerika asli (pribumi). Sebaliknya, siapapun yang berkulit non putih mereka seolah adalah pendatang, non pribumi, atau imigran.

Pembalikan sejarah, lanjut Presiden Nusantara Foundation kelahiran Bulukumba ini, menjadikan warga kulit putih, selain didukung oleh sistem, juga semakin berada di atas angin dan melakukan apa saja untuk menjadikan non putih seolah bukan warga Amerika yang punya hak kesetaraan dengan mereka. Pergolakan sosial antara kulit hitam dan warga kulit putih di tahun 60-an menjadi catatan sejarah kelam Amerika. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)