Kesan tentang Analisis Isi

Kamis, 02 Mei 2013

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya masih mahasiswa S1 tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Kebetulan saya memiliki seorang teman yang berasal dari jurusan ilmu komunikasi pada kampus yang sama dengan saya. Ia juga sedang melakukan tugas menyelesaikan skripsi. Saya tidak sempat bertanya metode apa yang ia gunakan. Yang saya tahu ia meneliti berita-berita yang muncul pada beberapa surat kabar (seingat saya waktu itu adalah Radar Yogya dan Bernas). Sepintas yang saya baca, ia mengukur frekuensi pemberitaan suatu peristiwa di masing-masing media tersebut, kemudian dibandingkan.

Kemudian sepuluh tahun berselang, ketika saya mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan studi S2 di kampus almamater (tapi beda jurusan, S1 saya di Fakultas Hukum, kini di S2 Fisipol/MAP UGM) saya mendapatkan kuliah Metode Penelitian Administrasi. Salah satu yang diajarkan dalam kuliah ini adalah Analisis Isi. Saat itulah saya merasa, barangkali apa yang dikerjakan oleh teman saya dulu itu adalah melakukan penelitian dengan metode analisis isi.

Saya jadi teringat pernah memiliki buku tentang hasil penelitian berdasarkan analisis isi. Benar saja, setelah dicari-cari ketemulah buku itu,”Pers, Negara, dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru” karya May Lan. Karya ini awalnya tesis yang kemudian dijadikan buku. Benar saja, penelitian pada tesis tersebut menggunakan analis isi, yakni berita-berita tentang perempuan yang termuat di dua media massa yaitu Jawa Pos dan Kompas selama bulan Juli 1996 hingga Juni 1998.

Jujur, penjelasan dosen tentang analisis isi bagi saya merupakan sesuatu yang baru di bangku perkuliahan, namun sekaligus mencerahkan. Analisis isi tidak sekadar menghitung frekuensi keluarnya berita atau munculnya kata-kata tertentu dalam media, namun juga mencoba memahami apa maksud di balik bunyi maupun teks berita.

Sebagai contoh (dan saya baru menyadari kemudian ketika ada yang mencoba membongkar) adalah masalah pemberitaan bencana lumpur Lapindo. Ada media yang kemudian mengubah penyebutan bencana lumpur Lapindo menjadi bencana lumpur Sidoarjo. Ternyata ini bukanlah masalah teknis belaka, tapi merupakan upaya penggiringan opini bahwa penyebab bencana lumpur ini bukanlah Perusahaan Lapindo (seperti yang selama ini diyakini banyak kalangan) melainkan karena bencana alam yang terjadi di daerah Sidoarjo. Keterkaitan antara pemilik Perusahaan Lapindo dan media massa tersebut barangkali bisa menjelaskan. Sulit dinalar jika ini hanyalah faktor kebetulan belaka.

Akhir-akhir ini dengan semakin dekatnya perhelatan nasional, yakni Pemilu 2014, politisi berancang-ancang mempersiapkan segalanya untuk modal “bertempur”. Menarik pula ketika para pemilik media massa, baik cetak, televisi, radio, maupun situs internet kemudian terjun di dunia politik praktis. Maka yang terjadi adalah media massa menjadi alat pemoles citra diri pemilik sekaligus alat penghantam lawan politik.
Saya belum lupa bahwa beberapa bulan silam ada sebagian stasiun televisi yang menayangkan iklan dari salah satu ormas yang kemudian berubah menjadi parpol. Iklan (atau lebih tepatnya kampanye terselubung) itu ditayangkan berkali-kali dalam seharinya. Mudah ditebak, karena pemilik media tersebut menjadi pengurus di parpol. Namun ketika ia keluar dan bergabung dengan parpol lain, maka iklan tentang parpol itu pun turut berhenti, digantikan oleh gambaran parpol yang baru ia masuki. Semua karena ada kepentingan politik. Ini pula yang barangkali menjadi penjelas kenapa Jawa Pos membela mati-matian Dahlan Iskan, atau TV One dan AN TV menjadi alat kampanye Aburizal Bakrie. Selan itu ada Metro TV dan Media Indonesia menjadi pemoles citra diri Surya Paloh, kemudian RCTI, Global TV, MNC TV, dan Seputar Indonesia menjadi alat kampanye Hary Tanoesudibjo, lalu Trans TV, Trans 7, dan detik.com menjadi sarana pencitraan Chairul Tanjung.
Inilah peran metode analisis isi yang menjadi pisau bedah dalam memahami apa yang menjadi kepentingan di balik bunyi teks yang ditampilkan oleh media massa. Pada tataran yang lain bahkan lebih luas bisa pula digunakan untuk membedah kebijakan negara. Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan segenab regulasi hukum lain dapat dibedah maksud dan tujuan sebenarnya, walaupun tidak secara tersurat nampak dalam teks-teks. Saya pernah membaca berita dari seorang mantan petinggi badan intelijen negara, bahwa ada puluhan UU yang ditengarai merupakan pesanan asing. Maka tak heran, menurut para pakar, bila kebijakan negara selama ini lebih mendahulukan kepentingan asing daripada rakyatnya sendiri. Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi kebijakan negara lebih mementingkan dan menguntungkan pasar modern milik pemodal besar asing daripada pasar tradisional.

Menurut Krippendorff (1991: 15; dalam Retnoningsih, 2012: 35) analisis isi adalah suatu teknik untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (repicable) dan sahih, dengan memperhatikan konteksnya. Model analisis isi bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan hingga bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
Kesan saya terhadap analisis isi (jujur) sangat menarik. Dapat dikatakan bahwa ini bisa dijadikan salah satu pilihan metode untuk penelitian. Memang awalnya saya berasumsi metode ini lebih cocok digunakan dalam penelitian komunikasi, terutama karena persinggungannya dengan isi berita di media massa. Namun ternyata metode ini dapat pula digunakan untuk “membedah” kebijakan publik, misalnya dengan menganalisis isi peraturan perundang-undangan. Permasalahan di bidang regulasi tidak sekadar permasalahan teknis pembuatannya (legal drafting), namun bisa dianalisis maksud tersembunyi di balik bunyi teksnya. Demikian.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)