Sistem Pekerja Rumahan

Senin, 13 April 2015

Perlawanan buruh atas sistem kerja fleksibilitas: buruh alih daya, kontrak kerja dengan melanggar hukum, dan tidak ada hubungan kerja, telah memasuki rentang waktu 12 tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimulai.

Sejauh ini kelompok kapitalis nakal memenangi pertarungan, terbukti dengan terus meningkatnya eskalasi buruh alih daya yang menggusur pekerja tetap. Saya jadi teringat ungkapan pakar strategi militer Jerman Jenderal Carl Von Clausewitz tentang strategi perang, ”never engage the same enemy for too long or they will adapt your strategy (jangan pernah menghadapi musuh yang sama untuk waktu panjang karena mereka akan beradaptasi dengan strategimu).” Kelihatannya ini yang telah berhasil dilakukan kaum kapitalis. Akibat gerakan buruh terlalu lama melawan sistem fleksibilitas dengan pola sama, kaum kapitalis sudah bisa beradaptasi menghadapi perlawanan buruh.

Praktik yang saat ini sedang gencar terjadi adalah pemborongan pekerjaan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Atau yang populer disebut pekerja rumahan (putting out system). Modusnya, menawarkan pekerjaan ke kaum ibu rumah tangga dengan kesepakatan lisan. Sistem seperti ini sebenarnya sudah lama ada, khususnya untuk bisnis makanan dan industri mikro, tetapi berkembang marak akibat tekanan kompetisi global dan absennya pengawasan hukum.

Pelakunya pun tidak lagi sebatas industri mikro, tetapi sudah melibatkan perusahaan multinasional besar, seperti Nike, Samsung, Ripcurl (merek sport dari Australia), Cressida, Jeans, produk celana dalam GT Man, sepatu sport Alaska, dan sepatu merek ARA dari perusahaan Jerman. Kegiatan bisnis ini berlangsung di permukiman kawasan industri. Sistem ini melengkapi keberhasilan kaum kapitalis yang berhasil mempraktikkan sistem kerja buruh alih daya, kontrak kerja lisan, kerja magang ilegal, bekerja dengan periode sangat pendek, dan sebagainya.


Dibandingkan dengan gerakan buruh, kalangan kapitalis selalu lebih cepat beradaptasi dengan sistem. Apalagi, melalui operasi perusahaan multinasional (MNC), yang didukung modal besar, tenaga ahli, dan pengaruh lobi ke pemerintah, mereka selalu bisa memaksakan keinginannya agar dipatuhi negara. Kadang dengan cara mensponsori lahirnya UU baru sesuai kepentingan MNC atau beroperasi dengan mengabaikan aturan hukum, tanpa takut dikenai sanksi. Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, banyak perusahaan MNC lebih besar dan lebih berkuasa ketimbang sebuah negara. Dan, tak seperti sebuah negara, mereka tak bertanggung jawab ke siapa pun, kecuali dirinya sendiri.

Pengingkaran Pekerjaan Layak
Pekerja rumahan marak karena ditengarai bisa mengurangi biaya pembuatan produk sampai 30-40 persen. Angka ini didapat dari penghitungan: pengusaha tak perlu memiliki tenaga kerja resmi, tak harus membayar upah sesuai ketentuan upah minimum, tak bayar iuran jaminan sosial, tak bayar kerja lembur, tak bayar listrik, tak bayar pajak, tak perlu bayar biaya kecelakaan kerja, tak perlu membayar manajer SDM, tak takut didemo buruh, tak ada biaya rekrutmen dan PHK, serta selaksa keuntungan lain.

Situasi ini mengingatkan penulis pada bentuk hubungan kerja di masa pra-industri saat kalangan kapitalis berlomba-lomba mengeksploitasi buruh tanpa ada perlindungan negara. Fenomena pekerja rumahan ini sangat kontradiktif dengan konsep hidup layak (decent work) yang sudah diadopsi Indonesia di ILO dan G-20. Padahal, Indonesia dipuji dunia karena menjadi negara pertama di Asia yang mengadopsi konsep Pakta Lapangan Kerja tentang penciptaan pekerjaan yang layak. Sampai mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didaulat pidato di konferensi ILO tahun 2011 di Geneva, Swiss.

Modus operandi pekerja rumahan yang dilakukan kaum ibu akhirnya ikut melibatkan buruh anak. Ini mudah terjadi karena umumnya perempuan dan anak lebih sering di rumah ketimbang pria. Selain itu, ada pula tekanan ekonomi yang mengharuskan perempuan perlu mencari penghasilan tambahan untuk menambah pendapatan keluarga. Beban ganda perempuan bertambah dengan agresivitas perusahaan menawarkan berbagai peluang kerja ke rumah-rumah penduduk, yang berlangsung tanpa pengawasan aparat pemerintah atau Kementerian Tenaga Kerja, tidak ada perjanjian kerja, batas jam kerja, upah minimum, dan seterusnya.

Sebagai sebuah bentuk bisnis di ”wilayah abu-abu”, sistem ini merusak upaya pemerintah dalam memberikan kesempatan kerja layak kepada buruh. Hal ini karena secara langsung merugikan pekerja di sektor formal yang pekerjaannya ”dicuri” pekerja rumahan, memperluas pengangguran, dan meningkatkan pekerja informal. Padahal, Indonesia salah satu pelopor yang mendukung proyek transformasi pekerja informal ke formal agar buruh dapat akses ke perlindungan hukum, jaminan sosial, kredit, dan kesempatan hidup layak.

Masalah lain akibat sistem ini adalah hilangnya pendapatan pajak pemerintah karena hampir semua transaksi pekerjaan rumahan tak tersentuh pajak. Dampak lainnya, peningkatan penggunaan buruh anak yang tak bisa diawasi pemerintah. Sebab, untuk mencapai target kaum ibu sering melibatkan anak-anak dalam penyelesaian kerja borongan. Tekanan terhadap beban ganda perempuan juga meningkat sebagai akibat keharusan mendapatkan pendapatan dan penyelesaian kerja borongan secara tepat waktu. Praktik kerja paksa terselubung menjadi bagian yang melekat pada bisnis ini.

Dari hasil investigasi yang dilakukan serikat buruh garmen dan tekstil KSBSI ditemukan, praktik buruh rumahan marak hampir di semua kawasan industri. Maraknya praktik ini karena tak ada pengawasan dari pemerintah. Pengawas dinas tenaga kerja sendiri menganggap hal itu di luar kewenangan mereka karena tak ada hubungan kerja resmi antara majikan dan buruh. Akibat keterbatasan definisi hubungan kerja, negara juga tak mengakui jenis hubungan kerja ini sehingga buruh tidak mendapatkan hak-hak normatif.

Definisi hubungan kerja dalam UU No 13/2003 dianggap sah apabila ada tiga unsur: ada pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Dalam kasus buruh rumahan, hanya ada unsur pekerjaan, sementara perintah kerja yang seharusnya dituangkan secara tertulis tak ada. Ketentuan upah pun tak sesuai aturan perundangan. Akhirnya, pengusaha/perusahaan bebas meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa dibebani membayar hak-hak normatif pekerja, pajak, dan lain-lain. Sementara itu, gerakan buruh belum mampu menyentuh mereka

Pendekatan Komprehensif
Fenomena bisnis black economy biasanya muncul sebagai akibat tekanan biaya ekonomi tinggi yang mengharuskan perusahaan mencari segala upaya untuk bertahan hidup. Juga, akibat lemahnya aturan dan pengawasan hukum ketenagakerjaan. Inilah masalah yang harus dipecahkan pemerintah secara menyeluruh. Sebab, apabila pendekatannya hanya melalui penegakan hukum, bisa saja praktiknya habis, tetapi tak menjawab kebutuhan rakyat atas kesempatan kerja. Peningkatan ”ongkos buruh” yang tinggi dengan produktivitas rendah juga akan memicu eskalasi praktik ini. Yang perlu dilakukan, praktik ini jangan dibiarkan berlangsung tanpa hubungan kerja formal, sesuai aturan hukum berlaku. Jika masih terdapat kekosongan hukum, pemerintah bisa menciptakan aturan baru untuk memastikan hubungan kerja itu tercakup dalam aturan yang jelas.

Pemerintah harus mencegah agar praktik fleksibilitas tenaga kerja di luar hubungan kerja tak dibiarkan terus membesar dengan cara memberikan pengakuan dan perlindungan hukum legal bagi pekerja rumahan, tak membolehkan penggunaan buruh anak, memperketat pengawasan, tercakup dalam BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, terbuka dalam mekanisme pengadilan hubungan industrial. Kementerian Tenaga Kerja juga bisa mengeluarkan peraturan menteri untuk menjelaskan hubungan kerja pekerja rumahan ini karena UU No 13/2013 tak secara tegas mengatur soal ini. Perjanjian kerja pekerja rumahan dibuat secara tertulis untuk mengatur hak dan kewajiban pekerja rumahan dan pemberi kerja secara jelas.


Ditulis Oleh Rekson Silaban, Direktur Indonesia Labor Institute. Dimuat dalam KOMPAS, 14 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)